BRICS dan Kepentingan Indonesia
loading...
A
A
A
Apakah Indonesia benar-benar akan menjadi anggota baru BRICS? Pertanyaan ini mengemuka seiring dengan santernya negeri ini bergabung komunitas perekenomian negara-negara yang terdiri dari Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan –yang kemudian dijadikan akronim BRICS . Selain Indonesia, negara lain yang dianggap paling berpeluang Mesir, Iran, Argentina, Kazakhstan, Aljazair, Turki, Thailand, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
baca juga: Apakah BRICS Ancaman Bagi NATO?
Wacana bergabungnya beberapa negara baru dalam BRICS bergulir usai pertemuan di Cape Town, Afrika Selatan, pada Kamis 1 Juni 2023. Pertemuan itu sendiri turut mengundang 14 negara, yakni Arab Saudi, Argentina, Bangladesh, Burundi, Komoro, Gabon, Guinea-Bissau, Iran, Kazahstan, Kuba, Mesir, Republik Demokratik Kongo, Uni Emirat Arab, Uruguay, dan Indonesia.
Jika negara-negara yang kaya akan sumber daya alam itu masuk ke BRICS, sudah barang tentu kehadiran mereka bakal memperkokoh posisi BRICS vis a vis Amerika Serikat (AS) dengan gengnya, seperti G7 dan Uni Eropa. Bahkan, penambahan amunisi ini akan mengakselerasi BRICS (plus) menjadi kekuatan ekonomi dunia baru seperti pernah diprediksi Goldman Sachs pada 2001 lalu, yaitu pada 2050.
Visi BRICS untuk memperluas keanggotaan sebenarnya sudah ditanamkan China pada 2022 lalu. Pada pidato di forum bisnis BRICS (22/6/2024), Presiden Tiongkok Xi Jinping mengungkapkan ada tiga prasyarat untuk memperbaiki ekonomi dunia. Prasyarat dimaksud yakni, pertama, dunia membutuhkan perdamaian. Hal ini bisa tercapai jika antar negara saling merangkul untuk berdialog dan konsultasi, serta mengatakan tidak pada hegemonisme, politik kelompok dan konfrontasi.
baca juga: Selain BRICS, Indonesia juga Sudah Kurangi Kecanduan terhadap Dolar
Selanjutnya kedua, dunia membutuhkan pembangunan. Tujuan ini bisa diraih jika antar negara harus merangkul semua upaya untuk mencapai tujuan UN-SDG pada 2030, dan mengatakan tidak pada marginalisasi agenda pembangunan. Ketiga, dunia membutuhkan keterbukaan. Caranya, antarnegara harus merangkul satu sama lain, mengatakan tidak pada pembangunan blok eksklusif karena dunia membutuhkan kerja sama. Selain itu, Xi juga meminta para pemimpin negara berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi dasar keunggulan komparatif, dan mengatakan tidak untuk menjadi ideologis, memisahkan diri, dan memotong rantai pasokan.
Muara pemikiran Xi ini adalah dunia kembali ke multilateralisme, kembali ke perekonomian terbuka, menentang sanksi unilateral, memperkuat kerja sama ekonomi digital, inovasi teknologi, rantai pasok dan industri, ketahanan pangan dan energi, serta mendorong pemulihan ekonomi dunia. Dengan demikian BRICS harus fokus pada pembangunan, terbuka pada kerja sama dengan siapa pun, memperluas keanggotaan, memperkokoh kerja sama BRICS, serta memperkuat peran dan pengaruh BRICS sebagai pemain penting di dunia.
Visi Xi untuk memperkuat multilateralisme dunia dan memperkuat peran BRICS dunia kembali ditegaskan dalam KTT di Afrika Selatan yang bertema bertema ”Foster High-quality BRICS Partnership, Usher in a New Era for Global Development”. Hal ini sekaligus merespons mkecenderungan AS dan sekutunya untuk memperluas aliansi militer untuk mencari keamanan mutlak, memicu konfrontasi berbasis blok dengan memaksa negara lain untuk memihak, serta mengejar dominasi sepihak dengan mengorbankan hak dan kepentingan orang lain. China menegaskan pentingnya negara-negara BRICS mempraktikkan multilateralisme, menjaga keadilan, solidaritas, serta menolak hegemoni, intimidasi dan perpecahan.
baca juga: Mengapa BRICS Sangat Penting untuk Rusia?
China juga mengusulkan kerangka Inisiatif Pembangunan Global sebagai bentuk nyata dari kerja sama BRICS. Salah satunya dengan meningkatkan Dana Bantuan Kerja Sama Selatan-Selatan Tiongkok menjadi Dana Pembangunan Global dan Kerja Sama Selatan Selatan, dengan tambahan masukan USD1 miliar dari USD3 miliar yang sudah ada. Selain itu, China juga mendorong BRICS menambah dukungan untuk Dana Perwalian Perdamaian dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dibuat China, menerbitkan Laporan Pembangunan Global, dan mendirikan Pusat Promosi Pembangunan Global dan Jaringan Pengetahuan Global untuk Pembangunan.
Visi Selaras?
Walapun secara formal tidak didirikan sebagai pesaing hegemoni blok barat, terutama yang tergabung dalam G-7, kelahiran BRIC pada 2006 memang diarahkan untuk menjadi kekuatan alternatif, baik secara politik maupun ekonomi di dunia. Apalagi. BRIC melibatkan kekuatan ekonomi baru dunia, dalam hal ini China dan India. Realitas ini bisa dilihat dari visi yang akan mereka capai, seperti reformasi insitusi keuangan dunia, diversifikasi sistem moneter internasional, dan masuknya anggota baru anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Target demikian ditelurkan pada KTT BRIC kedua yang berlangsung di ibu kota Brazil, Brasilia pada 15 April 2010. Pada momen tersebut BRIC menyatakan posisinya pada berbagai isu global. Posisi dimaksud antara lain reformasi institusi keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia agar dapat lebih menampung aspirasi negara-negara berkembang; perlunya diversifikasi sistem moneter internasional, tidak terfokus lagi pada US Dollar sebagai mata uang internasional; mendorong PBB memainkan peran yang lebih penting dalam diplomasi multilateral; serta mendorong peran lebih besar untuk Brazil dan India di PBB agar kedua negara tersebut juga bisa menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
baca juga: Perbedaan BRICS dan NATO
Kebijakan politik BRICS sebagai antidot AS dan kekuatan barat semakin mengeras seiring dengan dinamika perang Ukraina Rusia. Selain menunjukkan soliditas di antara negara-negara BRIS -dalam hal di antara mereka ini tidak ada yang turut menjatuhkan sanksi untuk Rusia seperti dilakukan AS dan sekutunya-, dinamika tersebut justru terlihat memperkuat tekad Rusia dan China untuk menggusur hegemoni barat. Penegasan sikap dihasilkan dalam dalam pertemuan Presiden Rusia Vladimir Putin dengan Presiden Xi Jinping di Moskwa, Rusia (20-22/03/ 2023).
Sebagai informasi, pertemuan menghasilkan dua dokumen pernyataan bersama yang diteken kedua pemimpin negara tersebut. Dokumen pertama tentang pernyataan bersama China-Rusia tentang pendalaman koordinasi kemitraan strategis untuk Era Baru. Sedangkan dokumen kedua berisi pernyataan bersama kedua negara tentang rencana pembangunan pra-2030 pada prioritas kerjasama ekonomi China-Rusia. Kedua pernyataan bersama itu menggambarkan komitmen kedua negara untuk memperdalam kerja sama di bidang ekonomi seperti industrialisasi, pembangunan megaproyek, penguatan rantai pasok, energi, dan inovasi teknologi.
Presiden Asia Pasific Research Center di Moskow, Sergey Sanakoev, melihat kesepakatan tersebut sebagai pertanda munculnya era baru dunia atau bergesernya tatanan multilateralisme global yang selama ini didominasi AS dan negara-negara barat, yang menjadi biang ketimpangan dunia. Menurut dia, China dan Rusia ingin membentuk dunia yang lebih multipolar, adil dan aman.
Bagaimana peran Indonesia di BRICS dalam menghadapi dinamika global? Saat menyampaikan pidatonya secara virtual pada High-level Dialogue on Global Development dari Istana Merdeka, Jakarta (24/06/2022), Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta BRICS bisa menjadi katalis bagi penguatan investasi di negara-negara berkembang. Jokowi juga berharap kerja sama BRICS dengan negara mitra harus mendukung untuk transformasi digital yang inklusif, pengembangan industri hijau dan infrastruktur hijau, serta penguatan akses negara-negara berkembang pada rantai pasok global. Dalam kesempatan tersebut, Jokowi mengajak semua pihak saling bekerjasama.
Untuk diketahui, pertemuan virtual pada High-level Dialogue on Global Development tersebut diinisiasi China dan melibatkan anggota-anggota BRICS. Momen tersebut banyak ditafsirkan sebagai tanda kesamaan visi Indonesia dan BRICS, serta bergabungnya dalam kelompok tersebut.
Perlu Pertimbangan Matang
Isu-isu seperti multilateralisme, menjaga keadilan, keterbukaan ekonomi, solidaritas, ketahanan pangan dan energi, pemulihan ekonomi, menolak hegemoni, dan kepentingan lain yang menjadi komitmen negara-negara BRICS secara subtansial juga menjadi kepentingan utama Indonesia. Dalam perspektif negeri ini, BRICS merupakan komunitas penting yang bisa mewujudkan visi dan misinya.
Realitas ini seperti disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan pernyataan secara virtual pada pertemuan para menteri luar negeri negara-negara BRICS dengan negara-negara mitra di Cape Town, Afrika Selatan (2/6/2023), lalu mengajak negara-negara BRICS untuk memperjuangkan hak pembangunan setiap negara dan memperkuat multilateralisme.Urgensi ini berdasar fakta saat ini dunia semakin terbelah ke dalam blok-blok yang saling berlawanan. Tatanan dunia yang berdasarkan peraturan kehilangan makna karena setiap negara mengejar kepentingan pribadi masing-masing.
Di sisi lain, Indonesia melihat kerja sama internasional gagal mengatasi tantangan-tantangan global, dan kepercayaan terhadap efektivitas multilateralisme makin surut. Bila kondisi ini dibiarkan terus berlanjut, maka negara berkembang akan menjadi korban. Ditegaskan Retno Marsudi, semua negara memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki tatanan global yang tidak sehat ini, dan BRICS berpotensi menjadi kekukatan yang positif untuk itu.
Indonesia juga menyampaikan apresiasinya atas inisiatif BRICS membentuk bank pembangunan baru yang menghadirkan perspektif segar dalam sistem keuangan global yang sudah kadaluwarsa. Sebagai penutup, Retno Marsudi menegaskan multilateralisme hanya dapat berkembang jika semua pihak menghormati hukum internasional secara konsisten tanpa standar ganda sebagai fondasi tatanan global. Dia pun mengajak BRICS bekerja bersama untuk membangun masa depan dunia yang lebih cerah.
Keselarasan kepentingan Indonesia dengan BRICS terlihat sangat kuat, termasuk pada isu-isu sensitif seperti sistem keuangan global, pun penggunaan sistem moneter internasional yang berpangku pada mata uang dollar karena Indonesia dengan beberapa negara dan dengan ASEAN sudah mulai meninggalkan mata uang Amerika Serikat tersebut. Kesamaan kepentingan kepentingan semakin kuat karena negara-negara barat, terutama Uni Eropa, seringkali mengambil sikap yang sangat merugikan kepentingan ekonomi Indonesia seperti pada isu komoditas kelapa sawit, hilirisasi nikel, dan aturan deforestasi yang diskriminatif.
Namun untuk serta-merta Indonesia bergabung membutuhkan pertimbangan masak-masak karena hegemoni barat masih sangat kuat, termasuk pada Indonesia. Lazimnya, mereka akan menggunakan berbagai instrumen -bukan hanya ekonomi tapi juga politik dan militer- untuk menekan negara-negara yang akan bergabung dengan kelompok yang dianggap musuhnya dan mengancam kepentingan globalnya. Apalagi di belakang BRICS ada China dan Rusia yang merupakan kompetitor bebuyutan, baik secara ekonomi, politik, hingga militer.
Namun di sisi lain, bila menjadi kenyataan, bergabungnya beberapa negara kaya akan sumber daya alam ke dalam BRICS bisa menjadi momentum perubahan dunia menjadi era baru. Dominasi barat akan semakin pudar, dan di sisi lain China akan mengambil alih posisi nomor wahid sebagai negara dengan perekonomian terbesar dunia pada 2035 seperti diramal Goldman Sachs, dan India akan menyodok di posisi ketiga membuntuti Amerika Serikat. Kerja sama dengan negara-negara kuat akan mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.(*)
baca juga: Apakah BRICS Ancaman Bagi NATO?
Wacana bergabungnya beberapa negara baru dalam BRICS bergulir usai pertemuan di Cape Town, Afrika Selatan, pada Kamis 1 Juni 2023. Pertemuan itu sendiri turut mengundang 14 negara, yakni Arab Saudi, Argentina, Bangladesh, Burundi, Komoro, Gabon, Guinea-Bissau, Iran, Kazahstan, Kuba, Mesir, Republik Demokratik Kongo, Uni Emirat Arab, Uruguay, dan Indonesia.
Jika negara-negara yang kaya akan sumber daya alam itu masuk ke BRICS, sudah barang tentu kehadiran mereka bakal memperkokoh posisi BRICS vis a vis Amerika Serikat (AS) dengan gengnya, seperti G7 dan Uni Eropa. Bahkan, penambahan amunisi ini akan mengakselerasi BRICS (plus) menjadi kekuatan ekonomi dunia baru seperti pernah diprediksi Goldman Sachs pada 2001 lalu, yaitu pada 2050.
Visi BRICS untuk memperluas keanggotaan sebenarnya sudah ditanamkan China pada 2022 lalu. Pada pidato di forum bisnis BRICS (22/6/2024), Presiden Tiongkok Xi Jinping mengungkapkan ada tiga prasyarat untuk memperbaiki ekonomi dunia. Prasyarat dimaksud yakni, pertama, dunia membutuhkan perdamaian. Hal ini bisa tercapai jika antar negara saling merangkul untuk berdialog dan konsultasi, serta mengatakan tidak pada hegemonisme, politik kelompok dan konfrontasi.
baca juga: Selain BRICS, Indonesia juga Sudah Kurangi Kecanduan terhadap Dolar
Selanjutnya kedua, dunia membutuhkan pembangunan. Tujuan ini bisa diraih jika antar negara harus merangkul semua upaya untuk mencapai tujuan UN-SDG pada 2030, dan mengatakan tidak pada marginalisasi agenda pembangunan. Ketiga, dunia membutuhkan keterbukaan. Caranya, antarnegara harus merangkul satu sama lain, mengatakan tidak pada pembangunan blok eksklusif karena dunia membutuhkan kerja sama. Selain itu, Xi juga meminta para pemimpin negara berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi dasar keunggulan komparatif, dan mengatakan tidak untuk menjadi ideologis, memisahkan diri, dan memotong rantai pasokan.
Muara pemikiran Xi ini adalah dunia kembali ke multilateralisme, kembali ke perekonomian terbuka, menentang sanksi unilateral, memperkuat kerja sama ekonomi digital, inovasi teknologi, rantai pasok dan industri, ketahanan pangan dan energi, serta mendorong pemulihan ekonomi dunia. Dengan demikian BRICS harus fokus pada pembangunan, terbuka pada kerja sama dengan siapa pun, memperluas keanggotaan, memperkokoh kerja sama BRICS, serta memperkuat peran dan pengaruh BRICS sebagai pemain penting di dunia.
Visi Xi untuk memperkuat multilateralisme dunia dan memperkuat peran BRICS dunia kembali ditegaskan dalam KTT di Afrika Selatan yang bertema bertema ”Foster High-quality BRICS Partnership, Usher in a New Era for Global Development”. Hal ini sekaligus merespons mkecenderungan AS dan sekutunya untuk memperluas aliansi militer untuk mencari keamanan mutlak, memicu konfrontasi berbasis blok dengan memaksa negara lain untuk memihak, serta mengejar dominasi sepihak dengan mengorbankan hak dan kepentingan orang lain. China menegaskan pentingnya negara-negara BRICS mempraktikkan multilateralisme, menjaga keadilan, solidaritas, serta menolak hegemoni, intimidasi dan perpecahan.
baca juga: Mengapa BRICS Sangat Penting untuk Rusia?
China juga mengusulkan kerangka Inisiatif Pembangunan Global sebagai bentuk nyata dari kerja sama BRICS. Salah satunya dengan meningkatkan Dana Bantuan Kerja Sama Selatan-Selatan Tiongkok menjadi Dana Pembangunan Global dan Kerja Sama Selatan Selatan, dengan tambahan masukan USD1 miliar dari USD3 miliar yang sudah ada. Selain itu, China juga mendorong BRICS menambah dukungan untuk Dana Perwalian Perdamaian dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dibuat China, menerbitkan Laporan Pembangunan Global, dan mendirikan Pusat Promosi Pembangunan Global dan Jaringan Pengetahuan Global untuk Pembangunan.
Visi Selaras?
Walapun secara formal tidak didirikan sebagai pesaing hegemoni blok barat, terutama yang tergabung dalam G-7, kelahiran BRIC pada 2006 memang diarahkan untuk menjadi kekuatan alternatif, baik secara politik maupun ekonomi di dunia. Apalagi. BRIC melibatkan kekuatan ekonomi baru dunia, dalam hal ini China dan India. Realitas ini bisa dilihat dari visi yang akan mereka capai, seperti reformasi insitusi keuangan dunia, diversifikasi sistem moneter internasional, dan masuknya anggota baru anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Target demikian ditelurkan pada KTT BRIC kedua yang berlangsung di ibu kota Brazil, Brasilia pada 15 April 2010. Pada momen tersebut BRIC menyatakan posisinya pada berbagai isu global. Posisi dimaksud antara lain reformasi institusi keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia agar dapat lebih menampung aspirasi negara-negara berkembang; perlunya diversifikasi sistem moneter internasional, tidak terfokus lagi pada US Dollar sebagai mata uang internasional; mendorong PBB memainkan peran yang lebih penting dalam diplomasi multilateral; serta mendorong peran lebih besar untuk Brazil dan India di PBB agar kedua negara tersebut juga bisa menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
baca juga: Perbedaan BRICS dan NATO
Kebijakan politik BRICS sebagai antidot AS dan kekuatan barat semakin mengeras seiring dengan dinamika perang Ukraina Rusia. Selain menunjukkan soliditas di antara negara-negara BRIS -dalam hal di antara mereka ini tidak ada yang turut menjatuhkan sanksi untuk Rusia seperti dilakukan AS dan sekutunya-, dinamika tersebut justru terlihat memperkuat tekad Rusia dan China untuk menggusur hegemoni barat. Penegasan sikap dihasilkan dalam dalam pertemuan Presiden Rusia Vladimir Putin dengan Presiden Xi Jinping di Moskwa, Rusia (20-22/03/ 2023).
Sebagai informasi, pertemuan menghasilkan dua dokumen pernyataan bersama yang diteken kedua pemimpin negara tersebut. Dokumen pertama tentang pernyataan bersama China-Rusia tentang pendalaman koordinasi kemitraan strategis untuk Era Baru. Sedangkan dokumen kedua berisi pernyataan bersama kedua negara tentang rencana pembangunan pra-2030 pada prioritas kerjasama ekonomi China-Rusia. Kedua pernyataan bersama itu menggambarkan komitmen kedua negara untuk memperdalam kerja sama di bidang ekonomi seperti industrialisasi, pembangunan megaproyek, penguatan rantai pasok, energi, dan inovasi teknologi.
Presiden Asia Pasific Research Center di Moskow, Sergey Sanakoev, melihat kesepakatan tersebut sebagai pertanda munculnya era baru dunia atau bergesernya tatanan multilateralisme global yang selama ini didominasi AS dan negara-negara barat, yang menjadi biang ketimpangan dunia. Menurut dia, China dan Rusia ingin membentuk dunia yang lebih multipolar, adil dan aman.
Bagaimana peran Indonesia di BRICS dalam menghadapi dinamika global? Saat menyampaikan pidatonya secara virtual pada High-level Dialogue on Global Development dari Istana Merdeka, Jakarta (24/06/2022), Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta BRICS bisa menjadi katalis bagi penguatan investasi di negara-negara berkembang. Jokowi juga berharap kerja sama BRICS dengan negara mitra harus mendukung untuk transformasi digital yang inklusif, pengembangan industri hijau dan infrastruktur hijau, serta penguatan akses negara-negara berkembang pada rantai pasok global. Dalam kesempatan tersebut, Jokowi mengajak semua pihak saling bekerjasama.
Untuk diketahui, pertemuan virtual pada High-level Dialogue on Global Development tersebut diinisiasi China dan melibatkan anggota-anggota BRICS. Momen tersebut banyak ditafsirkan sebagai tanda kesamaan visi Indonesia dan BRICS, serta bergabungnya dalam kelompok tersebut.
Perlu Pertimbangan Matang
Isu-isu seperti multilateralisme, menjaga keadilan, keterbukaan ekonomi, solidaritas, ketahanan pangan dan energi, pemulihan ekonomi, menolak hegemoni, dan kepentingan lain yang menjadi komitmen negara-negara BRICS secara subtansial juga menjadi kepentingan utama Indonesia. Dalam perspektif negeri ini, BRICS merupakan komunitas penting yang bisa mewujudkan visi dan misinya.
Realitas ini seperti disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan pernyataan secara virtual pada pertemuan para menteri luar negeri negara-negara BRICS dengan negara-negara mitra di Cape Town, Afrika Selatan (2/6/2023), lalu mengajak negara-negara BRICS untuk memperjuangkan hak pembangunan setiap negara dan memperkuat multilateralisme.Urgensi ini berdasar fakta saat ini dunia semakin terbelah ke dalam blok-blok yang saling berlawanan. Tatanan dunia yang berdasarkan peraturan kehilangan makna karena setiap negara mengejar kepentingan pribadi masing-masing.
Di sisi lain, Indonesia melihat kerja sama internasional gagal mengatasi tantangan-tantangan global, dan kepercayaan terhadap efektivitas multilateralisme makin surut. Bila kondisi ini dibiarkan terus berlanjut, maka negara berkembang akan menjadi korban. Ditegaskan Retno Marsudi, semua negara memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki tatanan global yang tidak sehat ini, dan BRICS berpotensi menjadi kekukatan yang positif untuk itu.
Indonesia juga menyampaikan apresiasinya atas inisiatif BRICS membentuk bank pembangunan baru yang menghadirkan perspektif segar dalam sistem keuangan global yang sudah kadaluwarsa. Sebagai penutup, Retno Marsudi menegaskan multilateralisme hanya dapat berkembang jika semua pihak menghormati hukum internasional secara konsisten tanpa standar ganda sebagai fondasi tatanan global. Dia pun mengajak BRICS bekerja bersama untuk membangun masa depan dunia yang lebih cerah.
Keselarasan kepentingan Indonesia dengan BRICS terlihat sangat kuat, termasuk pada isu-isu sensitif seperti sistem keuangan global, pun penggunaan sistem moneter internasional yang berpangku pada mata uang dollar karena Indonesia dengan beberapa negara dan dengan ASEAN sudah mulai meninggalkan mata uang Amerika Serikat tersebut. Kesamaan kepentingan kepentingan semakin kuat karena negara-negara barat, terutama Uni Eropa, seringkali mengambil sikap yang sangat merugikan kepentingan ekonomi Indonesia seperti pada isu komoditas kelapa sawit, hilirisasi nikel, dan aturan deforestasi yang diskriminatif.
Namun untuk serta-merta Indonesia bergabung membutuhkan pertimbangan masak-masak karena hegemoni barat masih sangat kuat, termasuk pada Indonesia. Lazimnya, mereka akan menggunakan berbagai instrumen -bukan hanya ekonomi tapi juga politik dan militer- untuk menekan negara-negara yang akan bergabung dengan kelompok yang dianggap musuhnya dan mengancam kepentingan globalnya. Apalagi di belakang BRICS ada China dan Rusia yang merupakan kompetitor bebuyutan, baik secara ekonomi, politik, hingga militer.
Namun di sisi lain, bila menjadi kenyataan, bergabungnya beberapa negara kaya akan sumber daya alam ke dalam BRICS bisa menjadi momentum perubahan dunia menjadi era baru. Dominasi barat akan semakin pudar, dan di sisi lain China akan mengambil alih posisi nomor wahid sebagai negara dengan perekonomian terbesar dunia pada 2035 seperti diramal Goldman Sachs, dan India akan menyodok di posisi ketiga membuntuti Amerika Serikat. Kerja sama dengan negara-negara kuat akan mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.(*)
(hdr)