Menagih Tanggung Jawab Pengembang Platform Digital
loading...
A
A
A
Pembelajaran kolaboratif yang memperkuat ide atau gagasan sejenis, intensif terjadi. Hampir tak terjadi persilangan pendapat, malah terjadi penguatan pemahaman awal. Sehingga adanya pendapat yang cenderung beda, akan tersingkir. Komunitas berkembang hanya menampung pendapat yang koherens. Makin yakin dan intoleran, terhadap perbedaan.
Sehingga dalam kasus adanya percakapan yang bersifat self-harm maupun kecenderungan bunuh diri dari pertanyaan di atas, dapat dipahami sebagai akumulasi pendapat sejenis tanpa tandingan. Ini melahirkan sikap: "kalau salah akan terjerumus makin salah dan jika benar akan fanatik diyakini".
Suatu keadaan yang berujung pada terjebaknya seseorang pada situasi filter bubble dan echo chamber, sebagaimana diuraikan oleh Cathy O’ Neil 2016 dalam Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy, maupun oleh Ethan Zuckerman, 2013 dalam Digital Cosmopolitan.
Tentu ini jadi dilema yang sulit dicari jalan keluarnya.
Pengembang FB maupun WA, tak ingin putar arah jarum jam, kembalikan media digital ke editor mediated media.Maka, ketika terjadi penyimpangan penggunaan media digital, yang kemudian ditengok adalah literasi penggunannya. Dalam hal kemunculan sikap ekstrem, intoleran, self harm hingga bunuh diri yang sifatnya structural, pengembang bertumpu pada literasi penggunanya.
Pengguna diharapkan lebih melek media baru. Selalukah literasi pengguna? Dalam banyak kasus, literasi tidak ada korelasinya dengan penyimpangan penggunaan. Platform, yang justru harus diperiksa. Tak bisa diasumsikan bahwa platform yang telah melewati serangkaian uji coba, serta merta sempurna ketika diluncurkan. Sehingga pengembang telah punya sikap pasti, saat terjadi penyimpangan penggunaan.
Sesungguhnya yang disebut "sikap pasti" pengembang platform, lebih berciri teknis utilitas kesempurnaan perangkat, ketimbang pemahaman pada implikasi sosial budayanya. Bahwa penggunaan platform di masing-masing perbedaan ruang dan waktu dapat menimbulkan penyimpangan sosial budaya, belum tentu dipahami.
Misalnya, pengembang mana yang telah mengantispasi, platform yang diluncurkannya bisa dipakai untuk menculik manusia lain, mengelabui anak di bawah umur dalam transaksi cyber sex, juga platform yang justru jadi tempat interaksi kaum pedofilia? Para pengembang melakukan uji coba pra-peluncuran sesuai tujuan utama, secara teknis utilitas. Ketika dalam pemanfaatannya melenceng dari tujuan pengembangan, belum tentu mereka paham. Adanya tuntutan tanggung jawab, tak jarang melahirkan sikap gagap, dan bingung berbuat.
Maka harapannya, community standard yang dikembangkan seiring literasi para pengguna, dapat digunakan sebagai kendali.
Platform dapat berkembang tanpa moderasi, namun tetap aman digunakan. Ini tercapai jika pengembang tak lepas tangan, anggap platform-nya telah sempurna dan pengguna menerima apa adanya. Mutlak adanya sistematika dialog terus menerus, antara pengembang dengan pengguna.
Ini bertujuan mengawasi adanya penyimpangan penggunaan. Dengan pernyataaan lain, sikap tepat para pengembang justru baru muncul, ketika melakukan dialog terus menerus dengan komunitas pengguna platform-nya. Bukan semata mengembalikan ke posisi editor mediated media. Apalagi melulu menyalahkan literasi penggunanya.
Sehingga dalam kasus adanya percakapan yang bersifat self-harm maupun kecenderungan bunuh diri dari pertanyaan di atas, dapat dipahami sebagai akumulasi pendapat sejenis tanpa tandingan. Ini melahirkan sikap: "kalau salah akan terjerumus makin salah dan jika benar akan fanatik diyakini".
Suatu keadaan yang berujung pada terjebaknya seseorang pada situasi filter bubble dan echo chamber, sebagaimana diuraikan oleh Cathy O’ Neil 2016 dalam Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy, maupun oleh Ethan Zuckerman, 2013 dalam Digital Cosmopolitan.
Tentu ini jadi dilema yang sulit dicari jalan keluarnya.
Pengembang FB maupun WA, tak ingin putar arah jarum jam, kembalikan media digital ke editor mediated media.Maka, ketika terjadi penyimpangan penggunaan media digital, yang kemudian ditengok adalah literasi penggunannya. Dalam hal kemunculan sikap ekstrem, intoleran, self harm hingga bunuh diri yang sifatnya structural, pengembang bertumpu pada literasi penggunanya.
Pengguna diharapkan lebih melek media baru. Selalukah literasi pengguna? Dalam banyak kasus, literasi tidak ada korelasinya dengan penyimpangan penggunaan. Platform, yang justru harus diperiksa. Tak bisa diasumsikan bahwa platform yang telah melewati serangkaian uji coba, serta merta sempurna ketika diluncurkan. Sehingga pengembang telah punya sikap pasti, saat terjadi penyimpangan penggunaan.
Sesungguhnya yang disebut "sikap pasti" pengembang platform, lebih berciri teknis utilitas kesempurnaan perangkat, ketimbang pemahaman pada implikasi sosial budayanya. Bahwa penggunaan platform di masing-masing perbedaan ruang dan waktu dapat menimbulkan penyimpangan sosial budaya, belum tentu dipahami.
Misalnya, pengembang mana yang telah mengantispasi, platform yang diluncurkannya bisa dipakai untuk menculik manusia lain, mengelabui anak di bawah umur dalam transaksi cyber sex, juga platform yang justru jadi tempat interaksi kaum pedofilia? Para pengembang melakukan uji coba pra-peluncuran sesuai tujuan utama, secara teknis utilitas. Ketika dalam pemanfaatannya melenceng dari tujuan pengembangan, belum tentu mereka paham. Adanya tuntutan tanggung jawab, tak jarang melahirkan sikap gagap, dan bingung berbuat.
Maka harapannya, community standard yang dikembangkan seiring literasi para pengguna, dapat digunakan sebagai kendali.
Platform dapat berkembang tanpa moderasi, namun tetap aman digunakan. Ini tercapai jika pengembang tak lepas tangan, anggap platform-nya telah sempurna dan pengguna menerima apa adanya. Mutlak adanya sistematika dialog terus menerus, antara pengembang dengan pengguna.
Ini bertujuan mengawasi adanya penyimpangan penggunaan. Dengan pernyataaan lain, sikap tepat para pengembang justru baru muncul, ketika melakukan dialog terus menerus dengan komunitas pengguna platform-nya. Bukan semata mengembalikan ke posisi editor mediated media. Apalagi melulu menyalahkan literasi penggunanya.