Menagih Tanggung Jawab Pengembang Platform Digital

Sabtu, 25 Juli 2020 - 12:36 WIB
loading...
Menagih Tanggung Jawab...
Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, Dr Firman Kurniawan S. Foto/Istimewa
A A A
Dr Firman Kurniawan S
Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org

SATU
di antara sepuluh pergeseran paradima dari media analog ke digital, yang disebut oleh Jose Luis Orihuela, 2017 adalah hadirnya media tanpa moderasi editorial.

Setiap konten dapat langsung diunggah ke media dan dinikmati publik. Tanpa dimoderasi editor. Ini disebutnya sebagai pergeseran paradigma dari editor mediated media ke non editor mediated media.

Kenyataan Ini bukan barang baru. Sebagai implikasi lahirnya Web 2.0 yang membuka peluang user generated content (UGC), tak bakal ada editor yang sanggup memoderasi konten-konten yang hendak diunggah ke media digital.

Terlebih jika tantanganya adalah real time. Orang yang punya akses ke media digital berpeluang memproduksi konten apa pun dan kapan pun. Maka selain kecepatan, jumlah yang sangat berlimpah jadi tantangan. Hari ini, media digital berkembang bebas, tanpa moderasi.

Atas implikasi pergeseran paradigma tersebut, yang gejalanya di tengah pandemi Covid-19 banyak platform digital justru digunakan untuk membahas hal yang sifatnya self-harm bahkan bunuh diri, beberapa hari lalu datang pertanyaan teman jurnalis: bagaimana ketika FB dan Whatsapps (WA) akhirnya berkembang jadi tempat membicarakan tindakan non standard community di antara penggunanya ? Ini tanggung jawab pengguna, atau dapat menuntu pengembang aplikasi ?

Saya tak ingin langsung menjawab, adanya pengguna FB maupun WA yang memanfaatkan platform untuk tindakan yang berujung pada tindakan non community standard. Sekitar lima tahun lalu, saya terlibat pada sebuah penelitian yang hendak mengkaji munculnya sikap ekstrem, eksklusif dan cenderung intoleran dari pengguna media digital, terutama FB.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan, lewat platform, ketika pembicaraan yang dilangsungkan secara tatap muka tak memuaskan, peserta percakapan akan mencari jawaban untuk topik yang tak dipahaminya lewat mesin pencari. Hasil yang diperoleh kemudian diinteraksikan dengan komunitas yang punya minat sejenis.

Komunitas itu, apa pun tema pembahasannya telah tersedia di FB. Untuk bergabung pada komunitas FB relatif mudah. Cukup klik tombol follow, interaksi antar anggota sudah bisa dilangsungkan. Memang ada beberapa komunitas FB yang dimoderasi.

Moderator punya kuasa mengizinkan atau tak mengizinkan masuknya calon peserta. Keanggotaan komunitas macam ini lebih tertutup, dan perlu langkah tambahan untuk diizinkan. Hari ini, aneka komunitas tampak berkembang pada platform WA.

Hal penting yang diperoleh dari penelitian itu, karena anggota komunitas cenderung punya minat dan keprihatinan yang terhubung, senada dan searah, kolaborasi terbentuk cepat.

Pembelajaran kolaboratif yang memperkuat ide atau gagasan sejenis, intensif terjadi. Hampir tak terjadi persilangan pendapat, malah terjadi penguatan pemahaman awal. Sehingga adanya pendapat yang cenderung beda, akan tersingkir. Komunitas berkembang hanya menampung pendapat yang koherens. Makin yakin dan intoleran, terhadap perbedaan.

Sehingga dalam kasus adanya percakapan yang bersifat self-harm maupun kecenderungan bunuh diri dari pertanyaan di atas, dapat dipahami sebagai akumulasi pendapat sejenis tanpa tandingan. Ini melahirkan sikap: "kalau salah akan terjerumus makin salah dan jika benar akan fanatik diyakini".

Suatu keadaan yang berujung pada terjebaknya seseorang pada situasi filter bubble dan echo chamber, sebagaimana diuraikan oleh Cathy O’ Neil 2016 dalam Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy, maupun oleh Ethan Zuckerman, 2013 dalam Digital Cosmopolitan.
Tentu ini jadi dilema yang sulit dicari jalan keluarnya.

Pengembang FB maupun WA, tak ingin putar arah jarum jam, kembalikan media digital ke editor mediated media.Maka, ketika terjadi penyimpangan penggunaan media digital, yang kemudian ditengok adalah literasi penggunannya. Dalam hal kemunculan sikap ekstrem, intoleran, self harm hingga bunuh diri yang sifatnya structural, pengembang bertumpu pada literasi penggunanya.

Pengguna diharapkan lebih melek media baru. Selalukah literasi pengguna? Dalam banyak kasus, literasi tidak ada korelasinya dengan penyimpangan penggunaan. Platform, yang justru harus diperiksa. Tak bisa diasumsikan bahwa platform yang telah melewati serangkaian uji coba, serta merta sempurna ketika diluncurkan. Sehingga pengembang telah punya sikap pasti, saat terjadi penyimpangan penggunaan.

Sesungguhnya yang disebut "sikap pasti" pengembang platform, lebih berciri teknis utilitas kesempurnaan perangkat, ketimbang pemahaman pada implikasi sosial budayanya. Bahwa penggunaan platform di masing-masing perbedaan ruang dan waktu dapat menimbulkan penyimpangan sosial budaya, belum tentu dipahami.

Misalnya, pengembang mana yang telah mengantispasi, platform yang diluncurkannya bisa dipakai untuk menculik manusia lain, mengelabui anak di bawah umur dalam transaksi cyber sex, juga platform yang justru jadi tempat interaksi kaum pedofilia? Para pengembang melakukan uji coba pra-peluncuran sesuai tujuan utama, secara teknis utilitas. Ketika dalam pemanfaatannya melenceng dari tujuan pengembangan, belum tentu mereka paham. Adanya tuntutan tanggung jawab, tak jarang melahirkan sikap gagap, dan bingung berbuat.

Maka harapannya, community standard yang dikembangkan seiring literasi para pengguna, dapat digunakan sebagai kendali.

Platform dapat berkembang tanpa moderasi, namun tetap aman digunakan. Ini tercapai jika pengembang tak lepas tangan, anggap platform-nya telah sempurna dan pengguna menerima apa adanya. Mutlak adanya sistematika dialog terus menerus, antara pengembang dengan pengguna.

Ini bertujuan mengawasi adanya penyimpangan penggunaan. Dengan pernyataaan lain, sikap tepat para pengembang justru baru muncul, ketika melakukan dialog terus menerus dengan komunitas pengguna platform-nya. Bukan semata mengembalikan ke posisi editor mediated media. Apalagi melulu menyalahkan literasi penggunanya.
(dam)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Lanjut Baca Berita Terkait Lainnya
Berita Terkait
Paradoks Pendidikan:...
Paradoks Pendidikan: Melahirkan Cendekia, Menumbuhkan Koruptor
Pope Francis dan Dialog...
Pope Francis dan Dialog Antaragama untuk Perdamaian
Mitigasi Daerah dalam...
Mitigasi Daerah dalam Efisiensi APBN
Memotret Kebijakan Palestina...
Memotret Kebijakan Palestina dan Urgensi Harmoni Sosial dalam Perspektif Global
Komunikasi Etnografi...
Komunikasi Etnografi Kritikal dalam Menunjang DEI dan CSR Perusahaan
Kemhan Pastikan Pengendara...
Kemhan Pastikan Pengendara Mobil yang Diduga Sewa PSK di Pinggir Jalan Bukan Pegawainya
X Dilaporkan Blokir...
X Dilaporkan Blokir Akun-akun Pengkritik Elon Musk
Kementerian BUMN Dorong...
Kementerian BUMN Dorong Penguatan Komunikasi Digital Lewat Workshop Media Sosial Berbasis AI
Yuke Bassist Dewa 19...
Yuke Bassist Dewa 19 Diduga Tabrak Anak Kecil hingga Tak Sadarkan Diri
Rekomendasi
Serapan Beras Bulog...
Serapan Beras Bulog April Capai 1,3 Juta Ton, Kalahkan Serapan Tahunan Tujuh Tahun Terakhir
Elon Musk Samakan Dirinya...
Elon Musk Samakan Dirinya dengan Buddha
Pangeran Harry Takut...
Pangeran Harry Takut Berpisah dengan Meghan Markle, Khawatir Rumah Tangganya Berakhir
Berita Terkini
Prabowo Minta Garuda...
Prabowo Minta Garuda Indonesia Turunkan Lagi Biaya Penerbangan Haji: Kita Harus yang Termurah
Prabowo Ingin Bangun...
Prabowo Ingin Bangun Perkampungan Indonesia di Arab Saudi Dekat Masjidil Haram
Prabowo: Pemerintah...
Prabowo: Pemerintah Sekuat Tenaga Akan Turunkan Biaya Haji
Lepas Womens Day Run...
Lepas Women's Day Run di DPR, Cak Imin Ajak Masyarakat Budayakan Olahraga
Anggota DPR Muazzim...
Anggota DPR Muazzim Akbar: Program MBG Lahirkan Kebiasaan Baru Hidup Sehat
Menag Lantik Gus Jazil...
Menag Lantik Gus Jazil Jadi Ketua IKAPTIQ 2025-2028
Infografis
13 Jenis Cyber Crime...
13 Jenis Cyber Crime yang Perlu Diwaspadai di Era Digital
Copyright ©2025 SINDOnews.com All Rights Reserved