Wamenkumham soal Delik Santet di KUHP Baru: Bukan Buktikan Ilmu tapi Pengakuan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan, delik santet dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru tidak ditujukan untuk mencari pembuktian ihwal praktik gaib. Sebab membuktikan ilmu gaib bukan perkara yang mudah.
"Yang kita atur itu bukan pasal soal santet. Kita paham betul, ilmu gaib itu tidak mungkin bisa dibuktikan secara ilmiah secara rasional," tutur Edward saat memberikan materi dalam acara Goes To Campus di Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, Kamis (8/6/2023).
Eddy, sapaan akrabnya, menegaskan, KUHP baru itu akan mengenakan sanksi kepada pelaku yang mengaku memikiki kekuatan gaib.
"Yang dilarang dalam pasal itu adalah orang yang mengaku punya kekuatan gaib. Jadi yang dibuktikan itu pengakuan dia punya kekuatan gaib. Tetapi apakah dia memiliki kekuatan gaib atau tidak, tidak perlu dibuktikan," terang Eddy.
Menurutnya, pengakuan memiliki ilmu gaib itu perlu dilarang guna mencegah praktik tindak pidana lain seperti penipuan, pemerkosaan hingga pembunuhan.
"Mengapa ini kita larang? Kan kita sering lihat, kasus-kasus seperti Kanjeng Dimas yang bisa mengandakan uang dan sebagainya. Pada ujungnya kan ada tindak pidana lain yang dia lakukan. Ada pembunuhan, penipuan, pemerkosaan," tutur Eddy.
"Jadi jangan sampai keliru, bukan karena persoalan kandungan santetnya yang dibuktikan, tidak. Tetapi ketika dia mengaku, bisa kena pasal itu," tambahnya
Sebagai informasi, pasal santet tertuang dalam Pasal 252 KUHP terbaru. Diktum itu memiliki dua kandugan ayat.
"Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi ayat 1.
Lalu, pada ayat kedua tertulis "Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga)."
"Yang kita atur itu bukan pasal soal santet. Kita paham betul, ilmu gaib itu tidak mungkin bisa dibuktikan secara ilmiah secara rasional," tutur Edward saat memberikan materi dalam acara Goes To Campus di Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, Kamis (8/6/2023).
Eddy, sapaan akrabnya, menegaskan, KUHP baru itu akan mengenakan sanksi kepada pelaku yang mengaku memikiki kekuatan gaib.
"Yang dilarang dalam pasal itu adalah orang yang mengaku punya kekuatan gaib. Jadi yang dibuktikan itu pengakuan dia punya kekuatan gaib. Tetapi apakah dia memiliki kekuatan gaib atau tidak, tidak perlu dibuktikan," terang Eddy.
Menurutnya, pengakuan memiliki ilmu gaib itu perlu dilarang guna mencegah praktik tindak pidana lain seperti penipuan, pemerkosaan hingga pembunuhan.
"Mengapa ini kita larang? Kan kita sering lihat, kasus-kasus seperti Kanjeng Dimas yang bisa mengandakan uang dan sebagainya. Pada ujungnya kan ada tindak pidana lain yang dia lakukan. Ada pembunuhan, penipuan, pemerkosaan," tutur Eddy.
"Jadi jangan sampai keliru, bukan karena persoalan kandungan santetnya yang dibuktikan, tidak. Tetapi ketika dia mengaku, bisa kena pasal itu," tambahnya
Sebagai informasi, pasal santet tertuang dalam Pasal 252 KUHP terbaru. Diktum itu memiliki dua kandugan ayat.
"Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi ayat 1.
Lalu, pada ayat kedua tertulis "Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga)."
(muh)