MPR: Kendala Proses Hukum Kasus Kekerasan Seksual dan KDRT Harus Segera Diatasi
loading...
A
A
A
"UU TPKS cukup rumit dalam memahaminya sehingga perlu pendidikan dan pelatihan lebih lanjut bagi para aparat penegak hukum," katanya.
Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan, Siti Mazumah mengungkapkan dalam penanganan kasus-kasus tindak kekerasan seksual menghadapi sejumlah kendala, antara lain dalam bentuk keterbatasan sumber daya dan dana dalam proses hukum, yang dialami korban. "Selain itu juga kompetensi pendamping dan aparat penegak hukum yang belum sesuai dengan yang diamanatkan UU PKDRT dan UU TPKS," ujarnya.
Sehingga, kata dia, ada kasus kekerasan seksual berbasis elektronik diselesaikan dengan menggunakan UU ITE. Dalam sejumlah kasus tindak kekerasan seksual dan KDRT, tutur Siti, bahkan tidak sedikit korban diadukan balik oleh terdakwa. Ironisnya proses hukum pengaduan dari terdakwa bisa lebih cepat daripada proses hukum yang diajukan korban.
"Fenomena itu menyebabkan banyak korban KDRT dan tindak kekerasan seksual memilih jalan pengadilan perdata untuk melakukan perceraian, demi memutus mata rantai kekerasan yang dialaminya," katanya.
Direktur Institut Sarinah Eva Kusuma Sundari berpendapat kemampuan para penegak hukum merupakan kunci dari pelaksanaan UU PDKT dan UU TPKS. Semangat pro terhadap korban, tegas Eva, harus dimiliki oleh setiap aparat penegak hukum.
Karena dalam beberapa kasus tindak kekerasan seksual dan KDRT, ada aparat hukum yang malah mengedepankan upaya damai. "Akhirnya, korban kekerasan seksual dan KDRT tidak sampai pengadilan sehingga tidak mendapat keadilan," katanya.
Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan, Siti Mazumah mengungkapkan dalam penanganan kasus-kasus tindak kekerasan seksual menghadapi sejumlah kendala, antara lain dalam bentuk keterbatasan sumber daya dan dana dalam proses hukum, yang dialami korban. "Selain itu juga kompetensi pendamping dan aparat penegak hukum yang belum sesuai dengan yang diamanatkan UU PKDRT dan UU TPKS," ujarnya.
Sehingga, kata dia, ada kasus kekerasan seksual berbasis elektronik diselesaikan dengan menggunakan UU ITE. Dalam sejumlah kasus tindak kekerasan seksual dan KDRT, tutur Siti, bahkan tidak sedikit korban diadukan balik oleh terdakwa. Ironisnya proses hukum pengaduan dari terdakwa bisa lebih cepat daripada proses hukum yang diajukan korban.
"Fenomena itu menyebabkan banyak korban KDRT dan tindak kekerasan seksual memilih jalan pengadilan perdata untuk melakukan perceraian, demi memutus mata rantai kekerasan yang dialaminya," katanya.
Direktur Institut Sarinah Eva Kusuma Sundari berpendapat kemampuan para penegak hukum merupakan kunci dari pelaksanaan UU PDKT dan UU TPKS. Semangat pro terhadap korban, tegas Eva, harus dimiliki oleh setiap aparat penegak hukum.
Karena dalam beberapa kasus tindak kekerasan seksual dan KDRT, ada aparat hukum yang malah mengedepankan upaya damai. "Akhirnya, korban kekerasan seksual dan KDRT tidak sampai pengadilan sehingga tidak mendapat keadilan," katanya.
(kri)