MPR: Kendala Proses Hukum Kasus Kekerasan Seksual dan KDRT Harus Segera Diatasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kendala dalam proses hukum berbagai kasus kekerasan harus segera diatasi. Hal itu agar para korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan tindak kekerasan seksual di Tanah Air mendapatkan hak perlindungannya sebagai warga negara.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat saat diskusi daring bertema Apa Masalah Krusial dalam Penerapan UU PKDRT dan UU TPKS? yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (31/5/2023).
"Kendala belum adanya aturan pelaksana dan masih lemahnya pemahaman serta kapasitas aparat penegak hukum dalam menjalankan amanat UU harus segera diatasi," sambungnya.
Menurut Lestari, UU 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan UU 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU
TPKS) sejatinya merupakan dasar hukum perlindungan bagi korban kekerasan di Indonesia.
"Belum bisa diterapkannya secara maksimal UU TPKS dan UU PKDRT hingga saat ini, apakah merupakan pembiaran atau ada konstruksi berpikir yang salah dipahami?" kata Rerie sapaan akrab Lestari.
Rerie yang juga Legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu berpendapat pemahaman menyeluruh terkait substansi UU tersebut menjadi faktor penentu untuk merealisasikan aspek perlindungan yang diamanatkan UU tersebut.
Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu menilai tanpa perubahan paradigma berpikir dan kekuatan intensi sosial dalam memberi perlindungan kepada seluruh warga negara, efek kehadiran UU PKDRT dan UU TPKS akan melemah karena ketidakmampuan sejumlah elemen dalam memaknai esensi perlindungan.
Analis Kebijakan Madya Bidang Pidum Bareskrim Polri, Kombes Pol Ciceu Cahyati Dwimeilawati mengungkapkan selama ini kepolisian sudah memiliki sejumlah dasar hukum untuk menangani kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan.
"Dalam rentang 2018-2022 tindak kekerasan yang menimpa perempuan terbanyak dalam bentuk KDRT, perkosaan dan pencabulan," ujarnya.
Keterbatasan jumlah SDM penyidik, ahli, dan biaya pemeriksaan untuk pembuktian ilmiah yang relatif mahal, kata dia, menjadi kendala dalam penanganan kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, anak, dan penyandang disabilitas.
Ciceu merekomendasikan sejumlah upaya agar implementasi UU PKDRT dapat dilakukan dengan baik antara lain dalam bentuk sistem monitoring dan evaluasi terpadu untuk membenahi kekurangan dalam implementasi UU PKDRT sehingga bisa menjadi edukasi masyarakat agar tidak terjadi pengulangan kasus dengan modus dan motif yang sama.
"Perlu ada pedoman kesepahaman bersama mengenai substansi UU PKDRT antara aparat penegak hukum dan kerja sama kelompok kerja perempuan anak terpadu antar aparat penegak hukum yang ber prespektif HAM dan gender," jelasnya.
Jaksa Ahli Madya pada Jampidum Kejaksaan Agung (Kejagung) Erni Mustikasari mengungkapkan UU PKDRT yang sudah berlaku sejak diundangkan 20 tahun lalu, cukup menghadapi banyak kendala dalam penerapannya.
"Karena kehadiran UU tersebut bertujuan selain untuk mencegah terjadinya kekerasan dan melindungi korban KDRT, sekaligus untuk memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis," ucapnya.
Tujuan UU PKDRT tersebut, menurut Erni, menyebabkan aparat penegak hukum kesulitan dalam penyelesaian sejumlah kasus KDRT. Dalam proses hukum, saksi-saksi yang hadir bisa dipastikan memiliki kedekatan dengan terdakwa sehingga pembuktiannya cukup sulit.
"Setelah diundangkannya UU TPKS harus segera dilakukan harmonisasi antara KUHP yang baru serta UU PKDRT, agar sejumlah aturan terkait perlindungan dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan itu dapat diaplikasikan dengan baik," paparnya.
Anggota Dewan Kehormatan DPD KAI, Jawa Barat, Melani mengungkapkan harapan utama diberlakukannya UU PKDRT sejatinya untuk mengakhiri budaya kekerasan sejak dari rumah tangga, tercapainya kesetaraan gender dan zero tolerance terhadap kekerasan.
"Namun kasus KDRT cenderung meningkat saat ini. Kurangnya sosialisasi sehingga masyarakat dan aparat penegak hukum seringkali salah persepsi terkait kehadiran UU tersebut," katanya.
Bahkan, ungkap Melani, ada putusan pengadilan, pascahadirnya UU TPKS yang membebaskan terdakwa tindak kekerasan seksual karena sejumlah bukti kekerasan seksual tidak dihadirkan oleh hakim.
"UU TPKS cukup rumit dalam memahaminya sehingga perlu pendidikan dan pelatihan lebih lanjut bagi para aparat penegak hukum," katanya.
Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan, Siti Mazumah mengungkapkan dalam penanganan kasus-kasus tindak kekerasan seksual menghadapi sejumlah kendala, antara lain dalam bentuk keterbatasan sumber daya dan dana dalam proses hukum, yang dialami korban. "Selain itu juga kompetensi pendamping dan aparat penegak hukum yang belum sesuai dengan yang diamanatkan UU PKDRT dan UU TPKS," ujarnya.
Sehingga, kata dia, ada kasus kekerasan seksual berbasis elektronik diselesaikan dengan menggunakan UU ITE. Dalam sejumlah kasus tindak kekerasan seksual dan KDRT, tutur Siti, bahkan tidak sedikit korban diadukan balik oleh terdakwa. Ironisnya proses hukum pengaduan dari terdakwa bisa lebih cepat daripada proses hukum yang diajukan korban.
"Fenomena itu menyebabkan banyak korban KDRT dan tindak kekerasan seksual memilih jalan pengadilan perdata untuk melakukan perceraian, demi memutus mata rantai kekerasan yang dialaminya," katanya.
Direktur Institut Sarinah Eva Kusuma Sundari berpendapat kemampuan para penegak hukum merupakan kunci dari pelaksanaan UU PDKT dan UU TPKS. Semangat pro terhadap korban, tegas Eva, harus dimiliki oleh setiap aparat penegak hukum.
Karena dalam beberapa kasus tindak kekerasan seksual dan KDRT, ada aparat hukum yang malah mengedepankan upaya damai. "Akhirnya, korban kekerasan seksual dan KDRT tidak sampai pengadilan sehingga tidak mendapat keadilan," katanya.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat saat diskusi daring bertema Apa Masalah Krusial dalam Penerapan UU PKDRT dan UU TPKS? yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (31/5/2023).
"Kendala belum adanya aturan pelaksana dan masih lemahnya pemahaman serta kapasitas aparat penegak hukum dalam menjalankan amanat UU harus segera diatasi," sambungnya.
Menurut Lestari, UU 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan UU 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU
TPKS) sejatinya merupakan dasar hukum perlindungan bagi korban kekerasan di Indonesia.
"Belum bisa diterapkannya secara maksimal UU TPKS dan UU PKDRT hingga saat ini, apakah merupakan pembiaran atau ada konstruksi berpikir yang salah dipahami?" kata Rerie sapaan akrab Lestari.
Rerie yang juga Legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu berpendapat pemahaman menyeluruh terkait substansi UU tersebut menjadi faktor penentu untuk merealisasikan aspek perlindungan yang diamanatkan UU tersebut.
Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu menilai tanpa perubahan paradigma berpikir dan kekuatan intensi sosial dalam memberi perlindungan kepada seluruh warga negara, efek kehadiran UU PKDRT dan UU TPKS akan melemah karena ketidakmampuan sejumlah elemen dalam memaknai esensi perlindungan.
Analis Kebijakan Madya Bidang Pidum Bareskrim Polri, Kombes Pol Ciceu Cahyati Dwimeilawati mengungkapkan selama ini kepolisian sudah memiliki sejumlah dasar hukum untuk menangani kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan.
"Dalam rentang 2018-2022 tindak kekerasan yang menimpa perempuan terbanyak dalam bentuk KDRT, perkosaan dan pencabulan," ujarnya.
Keterbatasan jumlah SDM penyidik, ahli, dan biaya pemeriksaan untuk pembuktian ilmiah yang relatif mahal, kata dia, menjadi kendala dalam penanganan kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, anak, dan penyandang disabilitas.
Ciceu merekomendasikan sejumlah upaya agar implementasi UU PKDRT dapat dilakukan dengan baik antara lain dalam bentuk sistem monitoring dan evaluasi terpadu untuk membenahi kekurangan dalam implementasi UU PKDRT sehingga bisa menjadi edukasi masyarakat agar tidak terjadi pengulangan kasus dengan modus dan motif yang sama.
"Perlu ada pedoman kesepahaman bersama mengenai substansi UU PKDRT antara aparat penegak hukum dan kerja sama kelompok kerja perempuan anak terpadu antar aparat penegak hukum yang ber prespektif HAM dan gender," jelasnya.
Jaksa Ahli Madya pada Jampidum Kejaksaan Agung (Kejagung) Erni Mustikasari mengungkapkan UU PKDRT yang sudah berlaku sejak diundangkan 20 tahun lalu, cukup menghadapi banyak kendala dalam penerapannya.
"Karena kehadiran UU tersebut bertujuan selain untuk mencegah terjadinya kekerasan dan melindungi korban KDRT, sekaligus untuk memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis," ucapnya.
Tujuan UU PKDRT tersebut, menurut Erni, menyebabkan aparat penegak hukum kesulitan dalam penyelesaian sejumlah kasus KDRT. Dalam proses hukum, saksi-saksi yang hadir bisa dipastikan memiliki kedekatan dengan terdakwa sehingga pembuktiannya cukup sulit.
"Setelah diundangkannya UU TPKS harus segera dilakukan harmonisasi antara KUHP yang baru serta UU PKDRT, agar sejumlah aturan terkait perlindungan dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan itu dapat diaplikasikan dengan baik," paparnya.
Anggota Dewan Kehormatan DPD KAI, Jawa Barat, Melani mengungkapkan harapan utama diberlakukannya UU PKDRT sejatinya untuk mengakhiri budaya kekerasan sejak dari rumah tangga, tercapainya kesetaraan gender dan zero tolerance terhadap kekerasan.
"Namun kasus KDRT cenderung meningkat saat ini. Kurangnya sosialisasi sehingga masyarakat dan aparat penegak hukum seringkali salah persepsi terkait kehadiran UU tersebut," katanya.
Bahkan, ungkap Melani, ada putusan pengadilan, pascahadirnya UU TPKS yang membebaskan terdakwa tindak kekerasan seksual karena sejumlah bukti kekerasan seksual tidak dihadirkan oleh hakim.
"UU TPKS cukup rumit dalam memahaminya sehingga perlu pendidikan dan pelatihan lebih lanjut bagi para aparat penegak hukum," katanya.
Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan, Siti Mazumah mengungkapkan dalam penanganan kasus-kasus tindak kekerasan seksual menghadapi sejumlah kendala, antara lain dalam bentuk keterbatasan sumber daya dan dana dalam proses hukum, yang dialami korban. "Selain itu juga kompetensi pendamping dan aparat penegak hukum yang belum sesuai dengan yang diamanatkan UU PKDRT dan UU TPKS," ujarnya.
Sehingga, kata dia, ada kasus kekerasan seksual berbasis elektronik diselesaikan dengan menggunakan UU ITE. Dalam sejumlah kasus tindak kekerasan seksual dan KDRT, tutur Siti, bahkan tidak sedikit korban diadukan balik oleh terdakwa. Ironisnya proses hukum pengaduan dari terdakwa bisa lebih cepat daripada proses hukum yang diajukan korban.
"Fenomena itu menyebabkan banyak korban KDRT dan tindak kekerasan seksual memilih jalan pengadilan perdata untuk melakukan perceraian, demi memutus mata rantai kekerasan yang dialaminya," katanya.
Direktur Institut Sarinah Eva Kusuma Sundari berpendapat kemampuan para penegak hukum merupakan kunci dari pelaksanaan UU PDKT dan UU TPKS. Semangat pro terhadap korban, tegas Eva, harus dimiliki oleh setiap aparat penegak hukum.
Karena dalam beberapa kasus tindak kekerasan seksual dan KDRT, ada aparat hukum yang malah mengedepankan upaya damai. "Akhirnya, korban kekerasan seksual dan KDRT tidak sampai pengadilan sehingga tidak mendapat keadilan," katanya.
(kri)