Aliansi Kebangsaan: Indonesia Terperangkap Praktik Demokrasi Elektoral

Minggu, 21 Mei 2023 - 06:11 WIB
loading...
Aliansi Kebangsaan:...
Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo. Foto/Tangkapan Layar/Istimewa
A A A
JAKARTA - Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo menilai proses demokratisasi di Indonesia sejak Reformasi 1998, belum menghadirkan demokrasi substansial yang terkonsolidasi. Bahkan, banyak pihak menilai bangsa Indonesia masih terperangkap praktik demokrasi elektoral dan elitis yang bersifat prosedural.

Salah satu indikatornya, kekuasaan cenderung terkonsentrasi pada pemerintah tanpa kontrol yang memadai dari publik. Situasi ini juga dibuktikan dari laporan berbagai lembaga pemantau demokrasi.

"The Economist Intelligence Unit (EIU) misalnya, melaporkan bahwa pada tahun 2022 Indonesia masih masuk dalam kategori negara demokrasi cacat (flawed democracy) dengan skor indeks demokrasi 6,71," kata Pontjo Sutowo dalam Diskusi Aliansi Kebangsaan dengan tema Kepercayaan Publik terhadap Institusi-Institusi Negara Produk Reformasi" padaJumat (19/5/2023).

Skor tersebut, lanjut Pontjo, menununjukkan Indonesia berada di peringkat ke-54 dari 167 negara. Sedangkan kajian Aspinal dan Eva Warbutton serta Ward Berenschot menunjukkan telah terjadi kemandegan demokrasi di Indonesia, bahkan dinilai tidak hanya mandeg tapi juga semakin mundur (from stagnation to regression).

"Tidak maksimalnya peran dan kinerja lembaga-lembaga reformasi dan meningkatnya praktik penyimpangan yang dilakukan para pejabat negara dan aparat penegak hukum. Hal ini menjadi penyebab menurunnya kepercayaan rakyat atas lembaga-lembaga tersebut," katanya.

Padahal, menurut dia,faktor kepercayaan (trust) justru sangat mendasar dalam demokrasi karena dengannya negara memperoleh legitimasi dalam menjalankan tugas-tugasnya secara efektif.

Respons publik terhadap lembaga-lembaga produk Reformasi 1998 yang cukup berkembang belakangan ini antara lain terkait dengan peran Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dua lembaga yang sebelumnya sangat diharapkan dan mendapatkan kepercayaan tinggi dari publik.

"Muncul kritik atas kinerja dan peran dari MK dan KPK, yang akhir-akhir ini dinilai semakin melemah, tidak independen, dan cenderung dikooptasi oleh kekuasaan," ujarnya.


KPK yang semula begitu kuat dan berada di garda terdepan pemberantasan korupsi, kini dilemahkan melalui revisi UU KPK Tahun 2019, di samping pemilihan komisionernya yang mengindikasikan adanya campur tangan kekuasaan.

Demikian juga dengan Mahkamah Konstitusi (MK). Kasus Hakim MK Aswanto yang diberhentikan oleh DPR karena membatalkan Undang-Undang Inisiatif DPR dan terakhir adalah kasus Hakim MK Guntur Hamzah yang terbukti mengubah frasa Putusan MK tapi hanya dikenakan sanksi etik dan administratif, menujukkan kelemahan dalam tubuh lembaga yang semula didesain sebagai special tribunal.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1284 seconds (0.1#10.140)