Tukar Guling RUU HIP, Jalan Pintas Redam Emosi Massa

Kamis, 23 Juli 2020 - 07:29 WIB
loading...
Tukar Guling RUU HIP, Jalan Pintas Redam Emosi Massa
Aksi demo menolak RUU HIP di depan gedung DPR RI beberapa aktu lalu. Foto/SINDOnews/Yulianto
A A A
JAKARTA - Di tengah desakan publik yang begitu kuat agar pemerintah dan DPR mencabut Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020, tiba-tiba pemerintah menyodorkan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ke DPR. Tukar guling kedua RUU ini dinilai sebagai jalan pintas meredam emosi massa.

Penolakan terhadap RUU HIP datang dari berbagai kalangan. Untuk kesekian kalinya aksi massa menolak RUU HIP terjadi di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (16/7/2020). Bahkan dalam aksi demonstrasi tersebut polisi sampai harus menutup jalanan di depan gerbang utama Gedung DPR. Dari pagi hingga petang, aksi yang dilakukan berbagai elemen masyarakat untuk mendesak pencabutan RUU HIP dari Prolegnas Prioritas 2020 terjadi. Polisi bahkan terpaksa mengamankan 20 perusuh setelah sempat terjadi aksi lempar botol ke arah polisi.

Di tengah panasnya aksi menolak RUU HIP tersebut, di dalam Gedung DPR Menko Polhukam Mahfud MD menemui Ketua DPR Puan Maharani dengan membawa surpres (surat presiden). Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu datang bersama Mensesneg Pramono Anung, Menkumham Yasonna Laoly, Menpan-RB Tjahjo Kumolo, dan Mendagri Tito Karnavian. Surpres tersebut berisi tiga dokumen. Satu dokumen surat resmi dari Presiden kepada Ketua DPR serta dua lampiran lain yang terkait dengan RUU BPIP sebagai ganti RUU HIP yang menjadi polemik panjang. (Baca: Anis Matta: Konten dan dan Konteks RUU HIP Tak Bisa Dibenarkan)

Langkah ini dipandang sebagai upaya pemerintah untuk menyelamatkan diri dari bulan-bulanan publik. Pemerintah hanya akan melakukan “bunuh diri” jika tetap memaksakan diri mendukung RUU HIP usulan sejumlah fraksi DPR yang dimotori PDI Perjuangan. Apalagi beberapa ormas keagamaan besar seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah terang-terangan menolak RUU HIP.

”Kita tahu pada periode kedua Pak Jokowi ini masyarakat kecewa terhadap kepemimpinannya terkait misalnya revisi UU KPK, revisi UU Minerba, kenaikan iuran BPJS. Ini sebenarnya yang memicu masyarakat memendam kekecewaan mendalam. RUU HIP ini adalah ujian berikutnya pemerintahan Jokowi,” ujar pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin kepada KORAN SINDO.

Di level nasional sebenarnya sudah ada kesepakatan bahwa Pancasila merupakan rumusan final sebagai dasar negara. Maka agak aneh jika kemudian dasar negara harus diatur dalam produk hukum sekelas undang-undang. Sikap pemerintah yang tidak segera merespons RUU HIP tersebut dinilai sudah tepat.

Apalagi isu itu telah ditunggangi berbagai narasi yang bisa memecah belah bangsa seperti RUU HIP menjadi pintu masuk berkembangnya ideologi komunis, RUU HIP tidak pro-umat Islam hingga RUU HIP terlalu Soekarno-sentris. ”Kalau isu ini diikuti atas kemauan PDIP maka makin hancurlah kredibilitas pemerintahan di mata publik. Oleh karena itu DPR hari ini hancur-hancuran ketika ingin memaksakan RUU HIP itu disahkan,” kata Ujang.

Resistensi terhadap RUU HIP memang begitu tinggi. Ketakutan akan munculnya polarisasi kaum agamais di satu sisi dan kaum nasionalis di sisi lain seperti di masa lalu dengan mudah terbayang. Apalagi ada kabar bahwa RUU HIP memperbolehkan adanya pemerasan Pancasila menjadi trisila dan kemudian menjadi ekasila begitu kencang di masyarakat. (Baca juga: Januari, Warga Hong Kong Bisa Jadi Warga Negara Inggris)

"Pemerintah akan memperdalam citra buruknya di tengah masyarakat jika membiarkan kondisi ini terus terjadi. Oleh karena itu sangat wajar ketika sekarang pemerintah mengubah judul dan pasal-pasal kontroversial di dalamnya," katanya.

Kendati begitu persoalan yang harus disoroti bukan hanya mengenai pergantian judul atau pasal-pasalnya saja. Lebih penting dari itu, kata Ujang, jangan sampai pemerintah mengubah judul dan pasal-pasalnya saja, tetapi tidak mengubah isi substansinya karena hal itu akan menambah penolakan dari publik.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2574 seconds (0.1#10.140)