Budaya Baca di Tengah Gempuran Media Sosial
loading...
A
A
A
Arief Rosyid Hasan
Ketum PB HMI 2013-2015
Founder Menteng Podcast
HARI Buku Nasional tidak sekedar sebagai pengingat betapa pentingnya buku dalam kehidupan, juga sebagai penanda bahwa kita harus mengabadikannya dalam sebuah gerakan mendaras buku bersama generasi muda di Menteng. Ini juga sekaligus menjawab sebuah pertanyaan di tengah zaman yang serba digital hari ini, yaitu apakah kehadiran buku masih relevan di saat perkembangan tekhnologi telah mampu mendigitalisasi teks-teks?
Kehadiran buku memberikan pengaruh yang besar dalam tradisi perkembangan ilmu pengetahuan. Munculnya perpustakaan besar di beberapa zaman menandai warisan ilmu pengetahuan dari masa ke masa. Bahkan, dalam buku Fernando Baez berjudul “Penghancuran Buku Dari masa Ke Masa” (2015) mengungkap sejarah kelam bagaimana buku dibakar dan ilmu pengetahuan dihancurkan.
Bagi Baez, orang-orang yang menghancurkan buku tidak lain bertujuan menghabisi memori penyimpannya, artinya warisan gagasan-gagasan dari suatu kebudayaan secara keseluruhan. Dalam catatan sejarah, penghancuran buku dimulai pada tahun 4000-an sebelum masehi (SM), yang dibuktikan dengan temuan arkeologis berupa banyaknya tablet yang ditemukan pecah atau hancur. Selain itu, ada perpustakaan terkenal bernama perpustakaan Alexandria yang berada di Mesir Selatan, menjadi perpustakaan pertama yang penuh dengan tragedi-tragedi penghancuran akibat berbagai perang.
Di belahan dunia lain, pada masa kekhalifahan Abbasiyah berdiri perpustakaan terbesar yang bernama Darul Hikmah (Rumah Kebijakan). Buku-buku yang merupakan salinan dan hasil terjemahan buku-buku kuno dari berbagai bahasa dikumpulkan di perpustakaan tersebut. Namun, perpustakaan itu juga berakhir tragis. Sejarawan mencatat sungai tigris berwarna hitam karena begitu banyak buku yang dibakar saat serangan spektakuler tentara Hulagu Khan.
Sejarah penghancuran buku dari masa ke masa menunjukkan bahwa kehadiran buku dan perpustakaan tidak hanya penanda kemajuan ilmu pengetahuan di suatu tempat atau masa, tapi juga menunjukan peradaban yang unggul. Sebab, mereka yang menguasai ilmu pengetahuan, yang memiliki adab pada akhirnya mengantarkan manusia mencapai keunggulannya. Kualitas itu yang membentuk peradaban besar di dunia.
Jika kita cermati, kehadiran sosial media seperti Tiktok, Facebook, Instagram, bahkan Whatsapp, yang telah dilengkapi dengan fitur story dengan durasi yang pendek menjadikan atensi penggunanya semakin pendek. Selain itu, orang-orang lebih mudah membaca sosial media dibandingkan harus bertahan membaca buku: mencermati kalimat-kalimat yang statis dan monoton, tanpa suara, warna, dan gerakan. Masalahnya, potongan-potongan informasi yang pendek itulah seringkali memunculkan bias informasi, implusifitasi, dan kegaduhan dalam memandang suatu peristiwa. Kebiasaan membaca lebih panjang dan tuntas semkin susah diwujudkan. Kita tidak lagi mampu membaca lebih banyak dalam beragam prespektif.
Ketum PB HMI 2013-2015
Founder Menteng Podcast
HARI Buku Nasional tidak sekedar sebagai pengingat betapa pentingnya buku dalam kehidupan, juga sebagai penanda bahwa kita harus mengabadikannya dalam sebuah gerakan mendaras buku bersama generasi muda di Menteng. Ini juga sekaligus menjawab sebuah pertanyaan di tengah zaman yang serba digital hari ini, yaitu apakah kehadiran buku masih relevan di saat perkembangan tekhnologi telah mampu mendigitalisasi teks-teks?
Kehadiran buku memberikan pengaruh yang besar dalam tradisi perkembangan ilmu pengetahuan. Munculnya perpustakaan besar di beberapa zaman menandai warisan ilmu pengetahuan dari masa ke masa. Bahkan, dalam buku Fernando Baez berjudul “Penghancuran Buku Dari masa Ke Masa” (2015) mengungkap sejarah kelam bagaimana buku dibakar dan ilmu pengetahuan dihancurkan.
Bagi Baez, orang-orang yang menghancurkan buku tidak lain bertujuan menghabisi memori penyimpannya, artinya warisan gagasan-gagasan dari suatu kebudayaan secara keseluruhan. Dalam catatan sejarah, penghancuran buku dimulai pada tahun 4000-an sebelum masehi (SM), yang dibuktikan dengan temuan arkeologis berupa banyaknya tablet yang ditemukan pecah atau hancur. Selain itu, ada perpustakaan terkenal bernama perpustakaan Alexandria yang berada di Mesir Selatan, menjadi perpustakaan pertama yang penuh dengan tragedi-tragedi penghancuran akibat berbagai perang.
Di belahan dunia lain, pada masa kekhalifahan Abbasiyah berdiri perpustakaan terbesar yang bernama Darul Hikmah (Rumah Kebijakan). Buku-buku yang merupakan salinan dan hasil terjemahan buku-buku kuno dari berbagai bahasa dikumpulkan di perpustakaan tersebut. Namun, perpustakaan itu juga berakhir tragis. Sejarawan mencatat sungai tigris berwarna hitam karena begitu banyak buku yang dibakar saat serangan spektakuler tentara Hulagu Khan.
Sejarah penghancuran buku dari masa ke masa menunjukkan bahwa kehadiran buku dan perpustakaan tidak hanya penanda kemajuan ilmu pengetahuan di suatu tempat atau masa, tapi juga menunjukan peradaban yang unggul. Sebab, mereka yang menguasai ilmu pengetahuan, yang memiliki adab pada akhirnya mengantarkan manusia mencapai keunggulannya. Kualitas itu yang membentuk peradaban besar di dunia.
Membaca Buku dalam Geliat Modernisasi
Dalam perkembangannya, teknologi semakin canggih. Mesin-mesin offset raksasa yang mampu mencetak ratusan ribu eksemplar buku dalam waktu singkat telah dibuat. Hal itu diikuti pula dengan penemuan mesin komputer sehingga memudahkan untuk setting (menyusun huruf) dan lay out (tata letak halaman). Diikuti pula penemuan mesin penjilidan, mesin pemotong kertas, scanner, dll. Dengan kata lain, saat ini buku dapat dengan mudah diterbitkan. Namun, pertanyaan selanjutnya, apakah orang-orang masih mau membaca buku di tengah gempuran sosial media yang semakin memperpendek atensi kita?Jika kita cermati, kehadiran sosial media seperti Tiktok, Facebook, Instagram, bahkan Whatsapp, yang telah dilengkapi dengan fitur story dengan durasi yang pendek menjadikan atensi penggunanya semakin pendek. Selain itu, orang-orang lebih mudah membaca sosial media dibandingkan harus bertahan membaca buku: mencermati kalimat-kalimat yang statis dan monoton, tanpa suara, warna, dan gerakan. Masalahnya, potongan-potongan informasi yang pendek itulah seringkali memunculkan bias informasi, implusifitasi, dan kegaduhan dalam memandang suatu peristiwa. Kebiasaan membaca lebih panjang dan tuntas semkin susah diwujudkan. Kita tidak lagi mampu membaca lebih banyak dalam beragam prespektif.