Pada Mulanya Adalah Ide
loading...
A
A
A
Keadilan restoratif itu dimengerti sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku dan/atau korban, serta pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Keadilan restoratif memahami perbuatan pidana ringan tidak semata sebagai pelanggaran terhadap hukum negara, tapi lebih sebagai pelanggaran terhadap keadilan yang berlaku di masyarakat. Maka fokus penyelesaianannya tidak diarahkan untuk menghukum pelaku kejahatan, melainkan pada upaya-upaya untuk memulihkan hubungan sosial dan keadilan masyarakat yang rusak akibat kejahatan itu. Metode keadilan restoratif menekankan keterlibatan aktif pihak-pihak yang terdampak baik langsung maupun tidak langsung dari kejahatan yang terjadi untuk menemukan jalan penyelesaian.
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan asas keadilan; kepentingan umum; proporsionalitas; cepat; sederhana; biaya ringan; dan pidana sebagai jalan terakhir. Hasilnya, sejak 2020 itu, sudah ratusan kasus pidana yang berhenti, dihentikan, atau dapat diselesaikan di kejaksaan dan tidak berlanjut ke pengadilan.
Kebijakan penegakan hukum berdasarkan keadilan restoratif ini dianggap dapat memberikan kepastian sekaligus keadilan dan kemanfaatan. Unsur hati nurani tampak memainkan peran penting dalam mewujudkan tujuan hukum itu. Penerapan peraturan kejaksaan itu tentu saja ada syarat-syaratnya, ada tata caranya. Jadi tidak semua kasus pidana bisa dihentikan atau diselesaikan begitu saja di kejaksaan.
Sebelumnya, meski tidak semenonjol apa yang dilakukan di kejaksaan, kepolisian kita juga sudah mulai mempraktekkan keadilan restoratif. Pada 2003, misalnya, Kapolri menerbitkan Peraturan Kapolri Nomor 15 tahun 2003 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas, khusunya bagian kedua yang menyangkut penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas ringan. Selanjutnya, Kapolri mengeluarkan kebijakan yang dituangkan dalam Surat Keputusan Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, tentang penyelesaian penanganan kasus melalui Alternatif Dispute Resolusion (ADR).
Dan yang agak mutakhir adalah Peraturan Kapolri (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tanggal 19 Agustus 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.. Dalam Perpol ini ditentukan syarat-syarat agar bisa dilakukan keadilan restoratifr, cara penangannannya, pengawasannya, dan lain-lain. Juga ada Surat Edaran Kapolri No. SE/2/2021 terkait pencemaran nama baik di media sosial.
Mahkamah Agung Republik Indonesia juga sudah lama merintisnya. Ada beberapa Peraturan Mahkahamah Agung (Perma) dan Surat Edaran Mahkamah Agung yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan penerapan keadilan restoratif ini. Misalnya, Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalagunaan, Korban Penyalaguanaan dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
Lalu Perma No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Perma No. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum juga bisa dibaca sebagai salah satu rintisan menuju keadilan restoratif.
Beberapa kebijakan lain juga muncul hingga pada 2012 ada Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung-Menteri Hukum dan HAM-Jaksa Agung-Kepala Kepolisian tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Keadilan Restoratif. Kesepakatn ini disusul dengan Peraturan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung dengan banyak lembaga lain tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalagunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi pada 2014.
Mahkamah Agung memahami keadilan restoratif merupakan penyelesaian perkara tindak pidana melalui proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.
Keadilan restoratif memahami perbuatan pidana ringan tidak semata sebagai pelanggaran terhadap hukum negara, tapi lebih sebagai pelanggaran terhadap keadilan yang berlaku di masyarakat. Maka fokus penyelesaianannya tidak diarahkan untuk menghukum pelaku kejahatan, melainkan pada upaya-upaya untuk memulihkan hubungan sosial dan keadilan masyarakat yang rusak akibat kejahatan itu. Metode keadilan restoratif menekankan keterlibatan aktif pihak-pihak yang terdampak baik langsung maupun tidak langsung dari kejahatan yang terjadi untuk menemukan jalan penyelesaian.
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan asas keadilan; kepentingan umum; proporsionalitas; cepat; sederhana; biaya ringan; dan pidana sebagai jalan terakhir. Hasilnya, sejak 2020 itu, sudah ratusan kasus pidana yang berhenti, dihentikan, atau dapat diselesaikan di kejaksaan dan tidak berlanjut ke pengadilan.
Kebijakan penegakan hukum berdasarkan keadilan restoratif ini dianggap dapat memberikan kepastian sekaligus keadilan dan kemanfaatan. Unsur hati nurani tampak memainkan peran penting dalam mewujudkan tujuan hukum itu. Penerapan peraturan kejaksaan itu tentu saja ada syarat-syaratnya, ada tata caranya. Jadi tidak semua kasus pidana bisa dihentikan atau diselesaikan begitu saja di kejaksaan.
Sebelumnya, meski tidak semenonjol apa yang dilakukan di kejaksaan, kepolisian kita juga sudah mulai mempraktekkan keadilan restoratif. Pada 2003, misalnya, Kapolri menerbitkan Peraturan Kapolri Nomor 15 tahun 2003 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas, khusunya bagian kedua yang menyangkut penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas ringan. Selanjutnya, Kapolri mengeluarkan kebijakan yang dituangkan dalam Surat Keputusan Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, tentang penyelesaian penanganan kasus melalui Alternatif Dispute Resolusion (ADR).
Dan yang agak mutakhir adalah Peraturan Kapolri (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tanggal 19 Agustus 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.. Dalam Perpol ini ditentukan syarat-syarat agar bisa dilakukan keadilan restoratifr, cara penangannannya, pengawasannya, dan lain-lain. Juga ada Surat Edaran Kapolri No. SE/2/2021 terkait pencemaran nama baik di media sosial.
Mahkamah Agung Republik Indonesia juga sudah lama merintisnya. Ada beberapa Peraturan Mahkahamah Agung (Perma) dan Surat Edaran Mahkamah Agung yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan penerapan keadilan restoratif ini. Misalnya, Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalagunaan, Korban Penyalaguanaan dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
Lalu Perma No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Perma No. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum juga bisa dibaca sebagai salah satu rintisan menuju keadilan restoratif.
Beberapa kebijakan lain juga muncul hingga pada 2012 ada Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung-Menteri Hukum dan HAM-Jaksa Agung-Kepala Kepolisian tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Keadilan Restoratif. Kesepakatn ini disusul dengan Peraturan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung dengan banyak lembaga lain tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalagunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi pada 2014.
Mahkamah Agung memahami keadilan restoratif merupakan penyelesaian perkara tindak pidana melalui proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.