Rent-Seeking Behavior dan Solusinya
loading...
![Rent-Seeking Behavior...](https://pict.sindonews.net/webp/732/pena/news/2023/05/15/18/1098065/rentseeking-behavior-dan-solusinya-tbb.webp)
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita. Foto/SINDOnews
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
BERITA mengenai kroni mengemuka dalam headlines Koran Jakarta pada 12 Mei 2023 menggambarkan kondisi kroni baik pada level internasional maupun pada level nasional Indonesia. Pada level internasional digambarkan antara lain kekayaan kapitalis kroni telah meningkat 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) global pada 25 tahun kemudian menjadi USD3 triliun atau hampir 3% dari PDB.
Selain peningkatan kekayaan kroni, berita tersebut mengemukakan bahwa terdapat ratusan miliarder di seluruh dunia yang kekayaannya diyakini berasal dari sektor-sektor yang sering ada hubungannya dengan penyelenggaraan negara. Perkembangan kroni tersebut dibedakan antara sektor rent-seeking behavior dan non-rent seeking behavior.
Rent seeking diartikan, menumbuhkan kekayaan yang ada dengan memanipulasi lingkungan sosial dan politik tanpa menciptakan kekayaan baru (Wikipeda). Pertumbuhan perilaku rent-seeking di suatu negara khususnya di Indonesia tidak terbendung disebabkan sistem dan praktik implementasi kebijakan ekonomi, keuangan, dan perbankan pemerintah tidak dapat melepaskan diri dari praktik kronisme, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang terjadi terutama di dalam kehidupan sosial politik masyarakat sekalipun di masyarakat liberal.
Keadaaan ini juga tidak terlepas dari proses pemilihan calon presiden/wakil presiden yang memerlukan dana yang fantastis; untuk calon presiden/wakil presiden diperkirakan diperlukan dana sekitar Rp5 triliun; untuk calon gubernur dan wakil gubernur sekitar Rp1 triliun; dan untuk calon wali kota dan bupati sektar Rp500 miliar rupiah.
Pesta demokrasi tanpa keikutsertaan sponsor/bantuan pihak swasta sebagai penyandang dana adalah suatu kemustahilan sehingga dapat diperkirakan bagaimana besarnya pengaruh relasi atas dasar hutang budi pemerintah dan sponsor penyandang dana tersebut sekalipun harus tidak pro rakyat. Hal ini terjadi dalam hal pengambilan keputusan pemerintah dalam investasi danproyek-proyek pembangunan.
Bahkan diketahui “sistem ijon” sejak masih dalam perencanaan di Bappenas telah terjadi sehingga sejak era Orde Baru masalah kronisme sangat masif di era Pemerintahan Suharto dan ternyata masih terjadi di era Reformasi sampai pada Pemerintahan Joko Widodo. Untuk mencegah perilaku tersebut, sejak tahun 1999 telah diundangkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Berwibawa dan Bebas KKN (UU KKN) yang mengatur bahwa perbuatan kolusi, korupsi, dan nepotisme merupakan tindak pidana.
KKN tidaklah akan tumbuh subur jika masalah kronisme tidak ditumpas tuntas. Kronisme adalah perilaku yang memiliki kecenderungan memihak dalam penunjukan kedudukan dan kemudahan lain kepada teman atau rekan dekat, khususnya dalam bidang politik di antara para politisi dengan pendukung. (Wikipedia).
Di dalam UU KKN, perbuatan kolusi dan nepotisme, selain korupsi diancam pidana. Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antarpenyelenggara negara atau antarpenyelenggara negara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara; sedangkan nepotisme adalah perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Ancaman pidana untuk kolusi paling singkat dua tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar, dan nepotisme diancam pidana penjara dan denda yang sama dengan kolusi. Namun di dalam praktik dua ketentuan tentang kolusi dan nepotisme tidak pernah diterapkan oleh APGAKUM termasuk KPK dan sampai saat ini tidak diketahui alasan tidak menggunakan ketentuan UU KKN tersebut.
Namun dapat diperkirakan jika UU KKN diterapkan pada setiap kasus korupsi dan suap maka efek jera dipastikan lebih meningkat lagi daripada ancaman perbuatan korupsi saja. Hal tersebut akan lebih tepat jika Undang-Undang Perampasan Aset (UU PA) telah diberlakukan, memerlukan kerja sama antar APGAKUM didukung oleh PPATK.
Selain kekuatan hukum di dalam PA juga terdapat sisi kerentanan terhadap kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oknum APGAKUM disebabkan, pertama, terdapat dua model hukum acara PA yaitu PA berdasarkan tuntutan (bukan gugatan) keperdataan (civil-based forfeiture), dan PA berdasarkan tuntutan pidana (criminal–based forfeiture).
Dua celah hukum tersebut dapat dijadikan negosiasi antara APGAKUM dan calon tersangka/tergugat PA dan di dalam RUU PA belum diatur secara spesifik hukum acaranya. Kerentanan kedua, terkait jenis harta atau benda yang dibolehkan disita dalam PA. Di dalam RUU PA telah dibedakan enam jenis harta atau benda yang dapat disita akan tetapi belum terdapat tata cara membedakannya dan siapa yang berwenang menentukannya.
Aset tindak pidana tindak pidana tersebut meliputi enam jenis yaitu, aset hasil tindak pidana atau aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana, aset yang diketahui atau patut diduga digunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak pidana, aset lain yang sah milik pelaku tindak pidana sebagai pengganti aset yang telah dinyatakan dirampas oleh negara atau aset yang merupakan barang temuan yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana, aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambah kekayaan yang dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan digugat terkait dengan aset tidak pidana, dan aset yang merupakan benda sitaan yang diperoleh dari tindak pidana atau yang digunakan untuk melakukan tindak pidana.
Kerentanan ketiga, terkait kewenangan pengelolaan harta atau benda sitaan; di Departemen Keuangan atau di kejaksaan; selalu menjadi pembahasan hangat dalam penyusunan RUU PA. Dalam hal ini pelu dipertimbangkan keberadaan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (Rupbasan) yang berada dalam kewenangan Kementrian Hukum dan HAM, khusus DIrektorat Jenderal Pemasyarakatan.
Kerentanan keempat, di dalam pembahasan RUU PA kelak diharapkan Anggota Komisi III DPR RI dan pemerintah mempertimbangkan keberadaan UU yang telah berlaku akan tetapi berkaitan dengan RUU PA sehingga tidak terjadi konflik peraturan perundang-undangan atau tumpang tindih atau kesimpangsiuran penafsiran hukum. Sehingga tidak merugikan para pencari keadilan dan/atau terhadap setiap orang yang berhak atas pengakuan dan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di depan hukum. Contoh, UU ITE, UU Perlindungan Data Pribadi, UU Perbankan, UU BI, UU Kebebasan Informasi Publik, serta hak-hak keperdataan setiap orang.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
BERITA mengenai kroni mengemuka dalam headlines Koran Jakarta pada 12 Mei 2023 menggambarkan kondisi kroni baik pada level internasional maupun pada level nasional Indonesia. Pada level internasional digambarkan antara lain kekayaan kapitalis kroni telah meningkat 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) global pada 25 tahun kemudian menjadi USD3 triliun atau hampir 3% dari PDB.
Selain peningkatan kekayaan kroni, berita tersebut mengemukakan bahwa terdapat ratusan miliarder di seluruh dunia yang kekayaannya diyakini berasal dari sektor-sektor yang sering ada hubungannya dengan penyelenggaraan negara. Perkembangan kroni tersebut dibedakan antara sektor rent-seeking behavior dan non-rent seeking behavior.
Rent seeking diartikan, menumbuhkan kekayaan yang ada dengan memanipulasi lingkungan sosial dan politik tanpa menciptakan kekayaan baru (Wikipeda). Pertumbuhan perilaku rent-seeking di suatu negara khususnya di Indonesia tidak terbendung disebabkan sistem dan praktik implementasi kebijakan ekonomi, keuangan, dan perbankan pemerintah tidak dapat melepaskan diri dari praktik kronisme, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang terjadi terutama di dalam kehidupan sosial politik masyarakat sekalipun di masyarakat liberal.
Keadaaan ini juga tidak terlepas dari proses pemilihan calon presiden/wakil presiden yang memerlukan dana yang fantastis; untuk calon presiden/wakil presiden diperkirakan diperlukan dana sekitar Rp5 triliun; untuk calon gubernur dan wakil gubernur sekitar Rp1 triliun; dan untuk calon wali kota dan bupati sektar Rp500 miliar rupiah.
Pesta demokrasi tanpa keikutsertaan sponsor/bantuan pihak swasta sebagai penyandang dana adalah suatu kemustahilan sehingga dapat diperkirakan bagaimana besarnya pengaruh relasi atas dasar hutang budi pemerintah dan sponsor penyandang dana tersebut sekalipun harus tidak pro rakyat. Hal ini terjadi dalam hal pengambilan keputusan pemerintah dalam investasi danproyek-proyek pembangunan.
Bahkan diketahui “sistem ijon” sejak masih dalam perencanaan di Bappenas telah terjadi sehingga sejak era Orde Baru masalah kronisme sangat masif di era Pemerintahan Suharto dan ternyata masih terjadi di era Reformasi sampai pada Pemerintahan Joko Widodo. Untuk mencegah perilaku tersebut, sejak tahun 1999 telah diundangkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Berwibawa dan Bebas KKN (UU KKN) yang mengatur bahwa perbuatan kolusi, korupsi, dan nepotisme merupakan tindak pidana.
KKN tidaklah akan tumbuh subur jika masalah kronisme tidak ditumpas tuntas. Kronisme adalah perilaku yang memiliki kecenderungan memihak dalam penunjukan kedudukan dan kemudahan lain kepada teman atau rekan dekat, khususnya dalam bidang politik di antara para politisi dengan pendukung. (Wikipedia).
Di dalam UU KKN, perbuatan kolusi dan nepotisme, selain korupsi diancam pidana. Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antarpenyelenggara negara atau antarpenyelenggara negara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara; sedangkan nepotisme adalah perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Ancaman pidana untuk kolusi paling singkat dua tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar, dan nepotisme diancam pidana penjara dan denda yang sama dengan kolusi. Namun di dalam praktik dua ketentuan tentang kolusi dan nepotisme tidak pernah diterapkan oleh APGAKUM termasuk KPK dan sampai saat ini tidak diketahui alasan tidak menggunakan ketentuan UU KKN tersebut.
Namun dapat diperkirakan jika UU KKN diterapkan pada setiap kasus korupsi dan suap maka efek jera dipastikan lebih meningkat lagi daripada ancaman perbuatan korupsi saja. Hal tersebut akan lebih tepat jika Undang-Undang Perampasan Aset (UU PA) telah diberlakukan, memerlukan kerja sama antar APGAKUM didukung oleh PPATK.
Selain kekuatan hukum di dalam PA juga terdapat sisi kerentanan terhadap kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oknum APGAKUM disebabkan, pertama, terdapat dua model hukum acara PA yaitu PA berdasarkan tuntutan (bukan gugatan) keperdataan (civil-based forfeiture), dan PA berdasarkan tuntutan pidana (criminal–based forfeiture).
Dua celah hukum tersebut dapat dijadikan negosiasi antara APGAKUM dan calon tersangka/tergugat PA dan di dalam RUU PA belum diatur secara spesifik hukum acaranya. Kerentanan kedua, terkait jenis harta atau benda yang dibolehkan disita dalam PA. Di dalam RUU PA telah dibedakan enam jenis harta atau benda yang dapat disita akan tetapi belum terdapat tata cara membedakannya dan siapa yang berwenang menentukannya.
Aset tindak pidana tindak pidana tersebut meliputi enam jenis yaitu, aset hasil tindak pidana atau aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana, aset yang diketahui atau patut diduga digunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak pidana, aset lain yang sah milik pelaku tindak pidana sebagai pengganti aset yang telah dinyatakan dirampas oleh negara atau aset yang merupakan barang temuan yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana, aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambah kekayaan yang dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan digugat terkait dengan aset tidak pidana, dan aset yang merupakan benda sitaan yang diperoleh dari tindak pidana atau yang digunakan untuk melakukan tindak pidana.
Kerentanan ketiga, terkait kewenangan pengelolaan harta atau benda sitaan; di Departemen Keuangan atau di kejaksaan; selalu menjadi pembahasan hangat dalam penyusunan RUU PA. Dalam hal ini pelu dipertimbangkan keberadaan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (Rupbasan) yang berada dalam kewenangan Kementrian Hukum dan HAM, khusus DIrektorat Jenderal Pemasyarakatan.
Kerentanan keempat, di dalam pembahasan RUU PA kelak diharapkan Anggota Komisi III DPR RI dan pemerintah mempertimbangkan keberadaan UU yang telah berlaku akan tetapi berkaitan dengan RUU PA sehingga tidak terjadi konflik peraturan perundang-undangan atau tumpang tindih atau kesimpangsiuran penafsiran hukum. Sehingga tidak merugikan para pencari keadilan dan/atau terhadap setiap orang yang berhak atas pengakuan dan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di depan hukum. Contoh, UU ITE, UU Perlindungan Data Pribadi, UU Perbankan, UU BI, UU Kebebasan Informasi Publik, serta hak-hak keperdataan setiap orang.
(kri)