Putusan PTUN atas SK DPD Dinilai Bahayakan Sistem Ketatanegaraan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang mengabulkan gugatan Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad atas keputusan paripurna Dewan Pimpinan Daerah (DPD) atau SK DPD berbahaya bagi sistem ketatanegaraan. Kasus serupa dikhawatirkan bakal terjadi pada hasil sidang paripurna DPR maupun MPR.
“Jika keputusan paripurna DPD bisa diadili Pengadilan TUN apa pun objeknya, itu sangat berbahaya,” kata Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis, Sabtu (13/5/2023).
Dia berpendapat, putusan PTUN yang mengadili hasil sidang paripurna DPD tidak hanya berbahaya bagi DPD, tapi juga bagi DPR maupun MPR. “Karena suatu saat putusan paripurna DPR, MPR, itu bisa diadili di PTUN dengan alasan ada kekeliruan proses pengambilan keputusan itu atau misalnya quorum tidak terpenuhi, dan sebagainya,” tuturnya.
Dia pun memberikan saran kepada DPD untuk mengajukan banding atas putusan PTUN tersebut. Dia mengatakan, pengajuan banding ini bukan untuk kepentingan DPD, tetapi untuk menyelamatkan sistem ketatanegaaan bangsa ini.
“Bagaimana bisa tindakan ketatanegaraan diadili di Pengadilan TUN. Tindakan-tindakan tata negara hanya bisa dikoreksi melalui sidang paripurna juga,” imbuhnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, pergantian wakil ketua MPR dari kelompok DPD merupakan keputusan paripurna DPD sehingga bukanlah objek PTUN. "Kalau pun hasil keputusan paripurna DPD ditindaklanjuti dan ada kesalahan administasi, tetap saja itu tidak bisa menjadi objek PTUN,” jelasnya.
Menurut dia, keputusan sidang paripurna DPD atau lembaga legislatif lain hanya bisa dikoreksi melalui Sidang Paripurna DPD. "Keputusan PTUN dalam perkara gugatan Fadel Muhammad melampaui kewenangan PTUN,” ungkapnya.
Dia mencontohkan, PTUN menolak gugatan Ratu Hemas terkait putusan Sidang Paripurna DPD dalam pelantikan Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai ketua DPD. “Saat itu saya saksi ahlinya. Ditolak karena putusan Sidang Paripurna DPD bukan objek PTUN,” ucapnya.
Berkaca pada kasus OSO, beberapa waktu lalu ia optimistis bahwa gugatan Fadel Muhammad kepada Ketua DPD LaNyala Mattalitti akan ditolak PTUN. Alasannya, karena putusan paripurna bukan objek PTUN, dan sudah ada preseden atas kasus serupa.
“Jika keputusan paripurna DPD bisa diadili Pengadilan TUN apa pun objeknya, itu sangat berbahaya,” kata Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis, Sabtu (13/5/2023).
Dia berpendapat, putusan PTUN yang mengadili hasil sidang paripurna DPD tidak hanya berbahaya bagi DPD, tapi juga bagi DPR maupun MPR. “Karena suatu saat putusan paripurna DPR, MPR, itu bisa diadili di PTUN dengan alasan ada kekeliruan proses pengambilan keputusan itu atau misalnya quorum tidak terpenuhi, dan sebagainya,” tuturnya.
Dia pun memberikan saran kepada DPD untuk mengajukan banding atas putusan PTUN tersebut. Dia mengatakan, pengajuan banding ini bukan untuk kepentingan DPD, tetapi untuk menyelamatkan sistem ketatanegaaan bangsa ini.
“Bagaimana bisa tindakan ketatanegaraan diadili di Pengadilan TUN. Tindakan-tindakan tata negara hanya bisa dikoreksi melalui sidang paripurna juga,” imbuhnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, pergantian wakil ketua MPR dari kelompok DPD merupakan keputusan paripurna DPD sehingga bukanlah objek PTUN. "Kalau pun hasil keputusan paripurna DPD ditindaklanjuti dan ada kesalahan administasi, tetap saja itu tidak bisa menjadi objek PTUN,” jelasnya.
Menurut dia, keputusan sidang paripurna DPD atau lembaga legislatif lain hanya bisa dikoreksi melalui Sidang Paripurna DPD. "Keputusan PTUN dalam perkara gugatan Fadel Muhammad melampaui kewenangan PTUN,” ungkapnya.
Dia mencontohkan, PTUN menolak gugatan Ratu Hemas terkait putusan Sidang Paripurna DPD dalam pelantikan Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai ketua DPD. “Saat itu saya saksi ahlinya. Ditolak karena putusan Sidang Paripurna DPD bukan objek PTUN,” ucapnya.
Berkaca pada kasus OSO, beberapa waktu lalu ia optimistis bahwa gugatan Fadel Muhammad kepada Ketua DPD LaNyala Mattalitti akan ditolak PTUN. Alasannya, karena putusan paripurna bukan objek PTUN, dan sudah ada preseden atas kasus serupa.
(rca)