Faktor yang Meningkatkan Dukungan Publik terhadap Organisasi Ekstrem Versi LSI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Terdapat faktor-faktor yang meningkatkan dukungan publik terhadap kekerasan dan organisasi ekstrem versi hasil survei terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI). Adapun survei LSI tentang "Sikap Publik atas Kekerasan Ekstrem, Toleransi , dan Kehidupan Beragama di Indonesia" digelar Mei 2022.
Dalam survei itu, beberapa hal menjadi faktor tinggi atau rendahnya dukungan masyarakat terhadap kekerasan dan organisasi ekstrem. Di antaranya, kepuasan (approval rating) terhadap kinerja presiden serta kesalehan, baik subjektif (merasa saleh) maupun objektif (frekuensi menjalankan ritual ibadah).
"Kesalehan, baik subjektif maupun objektif, menurunkan dukungan terhadap kekerasan ekstrem," ujar Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan dalam paparannya saat mendiseminasikan hasil survei tersebut di Hotel Sari Pacific, Jakarta, Kamis (4/5/2023).
Dia mengatakan, semakin intoleran seseorang atau memiliki kelompok yang dibenci dan keberatan jika kelompok tersebut mendapatkan haknya sebagai warga negara cenderung pro kekerasan ekstrem. Meningkatnya dukungan terhadap hukum syariah juga membuat seseorang kian pro dengan kekerasan ekstrem.
"Deprivasi relatif secara signifikan meningkatkan dukungan terhadap kekerasan ekstrem. Artinya, bagi muslim yang menilai kelompok mereka diperlakukan tidak adil, cenderung setuju terhadap kekerasan ekstrem," tuturnya.
Sedangkan faktor lain yang menguatkan dukungan terhadap kekerasan ekstrem adalah norma gender regresif. Selain itu, faktor usia. Semakin berumur, seseorang kian tidak mendukung kekerasan ekstrem dan begitu sebaliknya.
Djayadi menuturkan, umat muslim menunjukkan dukungan secara terbatas terhadap organisasi kekerasan ekstrem. Dari empat organisasi, Front Pembela Islam (FPI) yang telah dibubarkan pemerintah, menjadi kelompok yang paling banyak didukung.
"Front Pembela Islam paling banyak mendapat dukungan dari kalangan muslim. Akan tetapi, tingkat dukungan terhadap Front Pembela Islam cenderung menurun apabila dibandingkan dengan temuan survei empat tahun lalu," ungkapnya.
Selanjutnya, salah satu penentu tinggi atau rendahnya dukungan terhadap organisasi ekstrem adalah kepuasan seseorang terhadap kinerja presiden. "Muslim yang puas terhadap kinerja presiden cenderung tidak mendukung organisasi kekerasan ekstrem. Begitu juga sebaliknya, bagi muslim yang tidak puas terhadap kinerja presiden cenderung mendukung organisasi kekerasan ekstrem," jelasnya.
Di samping itu, intoleransi secara signifikan dan dukungan terhadap hukum syariah. Sedangkan yang keempat adalah deprivasi relatif.
"Artinya, bagi muslim yang menilai kelompok mereka diperlakukan tidak adil, cenderung mendukung organisasi kekerasan ekstrem," imbuhnya.
Pesan-pesan intoleransi juga mempengaruhi dukungan terhadap organisasi ekstrem. Semakin sering mendengar peringatan akan bahaya kelompok minoritas agama dan etnis tertentu, maka seseorang akan semakin mendukung organisasi kekerasan ekstrem.
"Keenam, kontak antaragama secara signifikan justru meningkatkan dukungan terhadap organisasi kekerasan ekstrem. Artinya, semakin banyak kontak antaragama akan cenderung mendukung organisasi kekerasan ekstrem. Hal ini perlu didiskusikan lebih lanjut," ujarnya.
Faktor lainnya adalah akses media. Dukungan seseorang terhadap organisasi ekstrem akan rendah jika mengakses media konvensional. Akan tetapi, dukungan meningkat kala lebih banyak mengakses media internet.
Dalam survei itu, dukungan terhadap organisasi ekstrem lebih banyak diberikan laki-laki daripada perempuan. Dukungan itu semakin mengecil terhadap masyarakat yang tinggal di perkotaan, tetapi membesar pada kelompok dengan pendidikan dan pendapatan lebih tinggi.
"Temuan-temuan survei ini menunjukkan di antara variabel-variabel diuji hubungannya dengan dukungan publik terhadap kekerasan ekstrem dan organisasi kekerasan ekstrem. Beberapa variabel signifikan sebagai kontributor dukungan, yaitu sikap intoleransi, dukungan terhadap hukum syariah, deprivasi relatif, norma gender regresif, dan sosio-demografi berupa kalangan usia muda," ucapnya.
Diketahui, survei ini digelar pada 16-29 Mei 2022 dengan melibatkan 3.090 WNI yang telah memiliki hak pilih sebagai responden. Mereka diwawancarai tatap muka oleh pewawancara terlatih.
Adapun penentuan sampel dengan metode acak bertingkat (multistage random sampling). Sedangkan toleransi kesalahan (margin of error) penelitian ini sekitar 2,5% pada tingkat kepercayaan 95%.
Dalam survei itu, beberapa hal menjadi faktor tinggi atau rendahnya dukungan masyarakat terhadap kekerasan dan organisasi ekstrem. Di antaranya, kepuasan (approval rating) terhadap kinerja presiden serta kesalehan, baik subjektif (merasa saleh) maupun objektif (frekuensi menjalankan ritual ibadah).
"Kesalehan, baik subjektif maupun objektif, menurunkan dukungan terhadap kekerasan ekstrem," ujar Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan dalam paparannya saat mendiseminasikan hasil survei tersebut di Hotel Sari Pacific, Jakarta, Kamis (4/5/2023).
Dia mengatakan, semakin intoleran seseorang atau memiliki kelompok yang dibenci dan keberatan jika kelompok tersebut mendapatkan haknya sebagai warga negara cenderung pro kekerasan ekstrem. Meningkatnya dukungan terhadap hukum syariah juga membuat seseorang kian pro dengan kekerasan ekstrem.
"Deprivasi relatif secara signifikan meningkatkan dukungan terhadap kekerasan ekstrem. Artinya, bagi muslim yang menilai kelompok mereka diperlakukan tidak adil, cenderung setuju terhadap kekerasan ekstrem," tuturnya.
Sedangkan faktor lain yang menguatkan dukungan terhadap kekerasan ekstrem adalah norma gender regresif. Selain itu, faktor usia. Semakin berumur, seseorang kian tidak mendukung kekerasan ekstrem dan begitu sebaliknya.
Djayadi menuturkan, umat muslim menunjukkan dukungan secara terbatas terhadap organisasi kekerasan ekstrem. Dari empat organisasi, Front Pembela Islam (FPI) yang telah dibubarkan pemerintah, menjadi kelompok yang paling banyak didukung.
"Front Pembela Islam paling banyak mendapat dukungan dari kalangan muslim. Akan tetapi, tingkat dukungan terhadap Front Pembela Islam cenderung menurun apabila dibandingkan dengan temuan survei empat tahun lalu," ungkapnya.
Selanjutnya, salah satu penentu tinggi atau rendahnya dukungan terhadap organisasi ekstrem adalah kepuasan seseorang terhadap kinerja presiden. "Muslim yang puas terhadap kinerja presiden cenderung tidak mendukung organisasi kekerasan ekstrem. Begitu juga sebaliknya, bagi muslim yang tidak puas terhadap kinerja presiden cenderung mendukung organisasi kekerasan ekstrem," jelasnya.
Di samping itu, intoleransi secara signifikan dan dukungan terhadap hukum syariah. Sedangkan yang keempat adalah deprivasi relatif.
"Artinya, bagi muslim yang menilai kelompok mereka diperlakukan tidak adil, cenderung mendukung organisasi kekerasan ekstrem," imbuhnya.
Pesan-pesan intoleransi juga mempengaruhi dukungan terhadap organisasi ekstrem. Semakin sering mendengar peringatan akan bahaya kelompok minoritas agama dan etnis tertentu, maka seseorang akan semakin mendukung organisasi kekerasan ekstrem.
"Keenam, kontak antaragama secara signifikan justru meningkatkan dukungan terhadap organisasi kekerasan ekstrem. Artinya, semakin banyak kontak antaragama akan cenderung mendukung organisasi kekerasan ekstrem. Hal ini perlu didiskusikan lebih lanjut," ujarnya.
Faktor lainnya adalah akses media. Dukungan seseorang terhadap organisasi ekstrem akan rendah jika mengakses media konvensional. Akan tetapi, dukungan meningkat kala lebih banyak mengakses media internet.
Dalam survei itu, dukungan terhadap organisasi ekstrem lebih banyak diberikan laki-laki daripada perempuan. Dukungan itu semakin mengecil terhadap masyarakat yang tinggal di perkotaan, tetapi membesar pada kelompok dengan pendidikan dan pendapatan lebih tinggi.
"Temuan-temuan survei ini menunjukkan di antara variabel-variabel diuji hubungannya dengan dukungan publik terhadap kekerasan ekstrem dan organisasi kekerasan ekstrem. Beberapa variabel signifikan sebagai kontributor dukungan, yaitu sikap intoleransi, dukungan terhadap hukum syariah, deprivasi relatif, norma gender regresif, dan sosio-demografi berupa kalangan usia muda," ucapnya.
Diketahui, survei ini digelar pada 16-29 Mei 2022 dengan melibatkan 3.090 WNI yang telah memiliki hak pilih sebagai responden. Mereka diwawancarai tatap muka oleh pewawancara terlatih.
Adapun penentuan sampel dengan metode acak bertingkat (multistage random sampling). Sedangkan toleransi kesalahan (margin of error) penelitian ini sekitar 2,5% pada tingkat kepercayaan 95%.
(rca)