Pengamat soal Cawapres Ganjar: Sandi atau Erick Tak Bisa Kuasai Suara NU
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ganjar Pranowo resmi menjadi calon presiden yang bakal diusung PDIP dan PPP pada Pilpres 2024. Tidak menutup kemungkinan, masih ada yang partai yang akan bergabung.
Kini, perhatian publik berikutnya tertuju pada siapa yang akan menjadi tandem atau pasangan Ganjar. Sepert halnya Anies Baswedan, cawapres Ganjar sampai kini belum ditetapkan kendati Sandiaga Uno disebut-sebut sebagai calon kuat yang disodorkan PPP setelah keluar dari Gerindra.
Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic) Khoirul Umam mengatakan, berkaca dari Pemilu 1955 dan 1971, secara umum muncul keyakinan bahwa untuk memenangkan pemilu di Indonesia harus menggabungkan kekuatan nasionalis dan agamais, dalam konteks ini Islam yang punya pemeluk terbanyak.
Dalam pencapresan Ganjar Pranowo oleh PDIP, keyakinan lama itu bersemi kembali. PDIP tidak akan menggunakan golden ticket sendiri, tetapi akan menggandeng kekuatan politik Islam guna meneguhkan narasi nasionalis dan Islam. Menurut Umam, di antara partai partai berbasis massa Islam, yang paling memungkinkan untuk didekati PDIP saat ini adalah PPP.
PKB, lanjut dia, telah memiliki agenda kepentingan sendiri untuk mengusung Cak Imin. Sementara PDIP belum pernah memiliki sejarah koalisi atau kerja sama politik dengan PAN sebagai representasi kekuatan politik massa Muhammadiyah dan PKS untuk jaringan Tarbiyah.
”PPP memang telah lama diincar oleh PDIP. Kendati tak menyiapkan kadernya secara optimal, PPP bisa menjual tiket politiknya kepada pialang politik melalui skema transaksional dan naturalisasi politik secara instan,” ujar dia dalam pernyataan yang dikutip Senin (1/5/2023).
Umam melihat strategi inilah yang belakangan telah memunculkan sejumlah politisi baru seperti Sandiaga Uno atau Erick Tohir, dua nama yang disebutnya sebagai tokoh muda dadakan NU. Namun Umam yakin realisasi dukungan Nahdliyyin kepada nama ini tidak terlalu tinggi. Sebab rekam jejak pendekatan mereka terhadap NU memang tidak didasarkan pada pemahaman ideologis.
Di sisi lain, literasi politik Nahdliyyin juga semakin kuat. Suara Nahdliyyin tidak lagi bisa dikendalikan dengan basis partonase kepemimpinan dalam lingkungan Nahdliyyin, baik pada level kiai maupun struktur Nahdlatul Ulama (NU). Hal itu dibuktikan di Pemilu 2004 atau 2009. ketika meskipun tokoh-tokoh struktur NU maju sebagai kontestan, namun arah dukungan masyarakat Nahdliyyin lebih mengikuti suara hati mereka untuk memilih pemimpin nasional.
”Pada Pemilu 2024, basis kekuatan suara nahdliyyin akan tersebar secara merata ke sejumlah tokoh-tokoh Capres yang sedang berusaha memperebutkan hati dan suara warga NU,” ujar dosen Ilmu Politik dan International Studies, Universitas Paramadina ini.
Kini, perhatian publik berikutnya tertuju pada siapa yang akan menjadi tandem atau pasangan Ganjar. Sepert halnya Anies Baswedan, cawapres Ganjar sampai kini belum ditetapkan kendati Sandiaga Uno disebut-sebut sebagai calon kuat yang disodorkan PPP setelah keluar dari Gerindra.
Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic) Khoirul Umam mengatakan, berkaca dari Pemilu 1955 dan 1971, secara umum muncul keyakinan bahwa untuk memenangkan pemilu di Indonesia harus menggabungkan kekuatan nasionalis dan agamais, dalam konteks ini Islam yang punya pemeluk terbanyak.
Dalam pencapresan Ganjar Pranowo oleh PDIP, keyakinan lama itu bersemi kembali. PDIP tidak akan menggunakan golden ticket sendiri, tetapi akan menggandeng kekuatan politik Islam guna meneguhkan narasi nasionalis dan Islam. Menurut Umam, di antara partai partai berbasis massa Islam, yang paling memungkinkan untuk didekati PDIP saat ini adalah PPP.
PKB, lanjut dia, telah memiliki agenda kepentingan sendiri untuk mengusung Cak Imin. Sementara PDIP belum pernah memiliki sejarah koalisi atau kerja sama politik dengan PAN sebagai representasi kekuatan politik massa Muhammadiyah dan PKS untuk jaringan Tarbiyah.
”PPP memang telah lama diincar oleh PDIP. Kendati tak menyiapkan kadernya secara optimal, PPP bisa menjual tiket politiknya kepada pialang politik melalui skema transaksional dan naturalisasi politik secara instan,” ujar dia dalam pernyataan yang dikutip Senin (1/5/2023).
Umam melihat strategi inilah yang belakangan telah memunculkan sejumlah politisi baru seperti Sandiaga Uno atau Erick Tohir, dua nama yang disebutnya sebagai tokoh muda dadakan NU. Namun Umam yakin realisasi dukungan Nahdliyyin kepada nama ini tidak terlalu tinggi. Sebab rekam jejak pendekatan mereka terhadap NU memang tidak didasarkan pada pemahaman ideologis.
Di sisi lain, literasi politik Nahdliyyin juga semakin kuat. Suara Nahdliyyin tidak lagi bisa dikendalikan dengan basis partonase kepemimpinan dalam lingkungan Nahdliyyin, baik pada level kiai maupun struktur Nahdlatul Ulama (NU). Hal itu dibuktikan di Pemilu 2004 atau 2009. ketika meskipun tokoh-tokoh struktur NU maju sebagai kontestan, namun arah dukungan masyarakat Nahdliyyin lebih mengikuti suara hati mereka untuk memilih pemimpin nasional.
”Pada Pemilu 2024, basis kekuatan suara nahdliyyin akan tersebar secara merata ke sejumlah tokoh-tokoh Capres yang sedang berusaha memperebutkan hati dan suara warga NU,” ujar dosen Ilmu Politik dan International Studies, Universitas Paramadina ini.
(muh)