Hotman Paris Enggan Komentari Isu Perang Bintang: Tanya ke Teddy
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kuasa hukum Irjen Pol Teddy Minahasa , Hotman Paris Hutapea enggan menanggapi duplik kliennya yang menyinggung soal perang bintang dalam kasus narkoba yang menjeratnya. Pengacara dengan penampilan perlente itu hanya fokus membela kliennya dari segi hukum.
"Itu tanya kepada Teddy, karena saya murni (dari sisi) hukum," kata Hotman usai sidang duplik di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Jumat (28/4/2023).
Hotman Paris menyebut pembelaan terhadap Teddy Minahasa masih panjang. Usai sidang putusan pada 9 Mei 2023, pihaknya akan terus berjuang melakukan upaya pembelaan mulai dari tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK).
"Kita hanya murni berjuang dari segi hukum. Kita lihat nantilah hati nurani lain masing-masing," ujarnya.
Untuk diketahui, dalam sidang pembacaan duplik, Teddy menyebut ada nuansa perang bintang pada kasus peredaran narkoba yang menjeratnya. Awalnya, Teddy membeberkan pernyataan tentang perintah pimpinan oleh pejabat utama Polda Metro Jaya saat dirinya ditahan sekitar Oktober-November 2022.
Saat itu, eks Direktur Resnarkoba Polda Metro Jaya Kombes Mukti Juarsa dan Wadir Resnarkoba Polda Metro Jaya AKBP Dony Alexander menghampirinya untuk menyampaikan permintaan maaf dan hanya menjalankan perintah pimpinan.
"Mereka membisikkan di telinga saya dan mengatakan 'Mohon maaf Jenderal, mohon ampun Jenderal. Ini semua atas perintah pimpinan'. Mereka berdua menampakkan ekspresi wajah yang serba salah saat menyampaikan kalimat tersebut kepada saya pada 24 Oktober dan 4 November 2022," bebernya.
"Situasi ini mengisyarakatkan ada tekanan atau desakan dari 'pimpinan' agar saya terseret dalam kasus ini," lanjutnya.
Dari percakapan tersebut, Teddy menarik kesimpulan bahwa telah terjadi persaingan yang tidak sehat di internal Polri. "Karena itu patutlah saya menarik kesimpulan bahwa di internal Polri telah terjadi persaingan yang tidak sehat atau ada ya nuansa perang bintang sebagaimana dilansir pada media massa arus utama pada beberapa waktu lalu," ujarnya.
Ditambah lagi, Teddy memerhatikan gelagat Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dinilainya sangat sejalan dengan penyidik. "Di mana JPU telah beratraksi secara akrobatik di dalam konteks hukum ini untuk mengawal agar perintah pimpinan penyidik tadi berlangsung atau berproses tanpa hambatan, dan 'pesanan' dan industri hukum tadi sekarang sudah paripurna," katanya.
Teddy menyampaikan duplik pribadinya berjudul Sebuah Industri Hukum dan Konspirasi. Teddy menolak replik yang sebelumnya telah dikemukakan JPU.
Jaksa menuntut Teddy hukuman mati karena terlibat dalam kasus peredaran narkotika. Teddy dianggap terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melanggar Pasal 114 Ayat 2 Subsider Pasal 112 Ayat 2 Juncto Pasal 55 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Kasus ini bermula pada saat Polres Bukittinggi hendak memusnahkan 40 kilogram sabu. Namun Irjen Teddy Minahasa, yang saat itu menjabat sebagai Kapolda Sumatera Barat diduga memerintahkan mantan Kapolres Bukittinggi AKBP Dody Prawiranegara untuk menukar sabu sebanyak 5 kilogram dengan tawas.
Penggelapan barang bukti narkoba tersebut terbongkar dengan rangkaian pengungkapan kasus narkotika oleh Polres Metro Jakarta Pusat dan Polda Metro Jaya. Sebanyak 1,7 kilogram sabu telah diedarkan, sedangkan 3,3 kilogram sisanya berhasil disita oleh petugas.
Total, ada 11 orang yang diduga terlibat dalam peredaran narkoba ini, termasuk Teddy Minahasa. Sementara itu, 10 orang lainnya adalah Hendra, Aril Firmansyah, Aipda Achmad Darmawan, Mai Siska, Kompol Kasranto, Aiptu Janto Situmorang, Linda Pujiastuti, Syamsul Ma'arif, Muhamad Nasir, dan AKBP Dody Prawiranegara.
"Itu tanya kepada Teddy, karena saya murni (dari sisi) hukum," kata Hotman usai sidang duplik di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Jumat (28/4/2023).
Hotman Paris menyebut pembelaan terhadap Teddy Minahasa masih panjang. Usai sidang putusan pada 9 Mei 2023, pihaknya akan terus berjuang melakukan upaya pembelaan mulai dari tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK).
"Kita hanya murni berjuang dari segi hukum. Kita lihat nantilah hati nurani lain masing-masing," ujarnya.
Untuk diketahui, dalam sidang pembacaan duplik, Teddy menyebut ada nuansa perang bintang pada kasus peredaran narkoba yang menjeratnya. Awalnya, Teddy membeberkan pernyataan tentang perintah pimpinan oleh pejabat utama Polda Metro Jaya saat dirinya ditahan sekitar Oktober-November 2022.
Saat itu, eks Direktur Resnarkoba Polda Metro Jaya Kombes Mukti Juarsa dan Wadir Resnarkoba Polda Metro Jaya AKBP Dony Alexander menghampirinya untuk menyampaikan permintaan maaf dan hanya menjalankan perintah pimpinan.
"Mereka membisikkan di telinga saya dan mengatakan 'Mohon maaf Jenderal, mohon ampun Jenderal. Ini semua atas perintah pimpinan'. Mereka berdua menampakkan ekspresi wajah yang serba salah saat menyampaikan kalimat tersebut kepada saya pada 24 Oktober dan 4 November 2022," bebernya.
"Situasi ini mengisyarakatkan ada tekanan atau desakan dari 'pimpinan' agar saya terseret dalam kasus ini," lanjutnya.
Dari percakapan tersebut, Teddy menarik kesimpulan bahwa telah terjadi persaingan yang tidak sehat di internal Polri. "Karena itu patutlah saya menarik kesimpulan bahwa di internal Polri telah terjadi persaingan yang tidak sehat atau ada ya nuansa perang bintang sebagaimana dilansir pada media massa arus utama pada beberapa waktu lalu," ujarnya.
Ditambah lagi, Teddy memerhatikan gelagat Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dinilainya sangat sejalan dengan penyidik. "Di mana JPU telah beratraksi secara akrobatik di dalam konteks hukum ini untuk mengawal agar perintah pimpinan penyidik tadi berlangsung atau berproses tanpa hambatan, dan 'pesanan' dan industri hukum tadi sekarang sudah paripurna," katanya.
Teddy menyampaikan duplik pribadinya berjudul Sebuah Industri Hukum dan Konspirasi. Teddy menolak replik yang sebelumnya telah dikemukakan JPU.
Jaksa menuntut Teddy hukuman mati karena terlibat dalam kasus peredaran narkotika. Teddy dianggap terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melanggar Pasal 114 Ayat 2 Subsider Pasal 112 Ayat 2 Juncto Pasal 55 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Kasus ini bermula pada saat Polres Bukittinggi hendak memusnahkan 40 kilogram sabu. Namun Irjen Teddy Minahasa, yang saat itu menjabat sebagai Kapolda Sumatera Barat diduga memerintahkan mantan Kapolres Bukittinggi AKBP Dody Prawiranegara untuk menukar sabu sebanyak 5 kilogram dengan tawas.
Penggelapan barang bukti narkoba tersebut terbongkar dengan rangkaian pengungkapan kasus narkotika oleh Polres Metro Jakarta Pusat dan Polda Metro Jaya. Sebanyak 1,7 kilogram sabu telah diedarkan, sedangkan 3,3 kilogram sisanya berhasil disita oleh petugas.
Total, ada 11 orang yang diduga terlibat dalam peredaran narkoba ini, termasuk Teddy Minahasa. Sementara itu, 10 orang lainnya adalah Hendra, Aril Firmansyah, Aipda Achmad Darmawan, Mai Siska, Kompol Kasranto, Aiptu Janto Situmorang, Linda Pujiastuti, Syamsul Ma'arif, Muhamad Nasir, dan AKBP Dody Prawiranegara.
(abd)