Yasonna: Kerja Sama Politik Pilpres 2024 Harus Mengacu pada Spirit Demokrasi Pancasila
loading...
A
A
A
Dari definisi tersebut, kata Yasonna, istilah koalisi pada hakikatnya dimaksudkan dalam konteks pembentukan pemerintahan oleh parlemen, bukan dalam rangka mengusulkan pasangan capres-cawapres.
Sementara di Indonesia yang menjalankan sistem presidensial, dalam mengusung capres-cawapres merujuk pada Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Dia menambahkan, begitu pula dalam membentuk pemerintahan tidak diperlukan koalisi karena presiden memiliki hak prerogatif dalam membentuk kabinet. Sehingga kerja sama menyusun pemerintahan dalam sistem presidensial tegas diatur dalam konstitusi adalah berdasar pada hak prerogatif presiden terpilih.
“Kemudian, masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dalam sistem presidensial juga bersifat fix term selama 5 tahun dalam satu periode maka koalisi dalam parlemen tidak dikenal. Sehingga tidak tepat menggunakan istilah koalisi baik dalam mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden maupun dalam pembentukan pemerintahan,” ujarnya.
Menurut dia, Indonesia lebih tepat menggunakan istilah kerja sama. Menurut dia, istilah tersebut lebih menggambarkan suatu pembantingan pikiran dan tenaga demi mencapai tujuan bersama dengan posisi masing-masing pihak berkedudukan secara proporsional.
“Prinsip proporsionalitas ini sangat penting karena menuntut adanya keseimbangan hak dan kewajiban pelaku kerja sama politik. Hal itulah yang membuat pembentuk undang-undang menentukan syarat pencalonan presiden dan wapres harus memenuhi perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional,” ucapnya.
Dia mengatakan, logikanya partai yang sudah bekerja keras secara baik dan maksimal mendapatkan simpati rakyat, haruslah diberi porsi yang lebih besar dalam hal hak-hak politik dibanding partai yang belum mampu secara maksimal meraih suara rakyat. Dia berpendapat, asas proporsionalitas inilah yang kiranya menjadi pegangan dalam kerja sama antarpartai dalam mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.
“Ketika suatu partai misalnya memenuhi syarat 20 % dari jumlah kursi DPR, maka secara otomatis disebut pengusul. Sementara yang tidak memenuhi disebut pendukung. Ini adalah logika yang memenuhi prinsip fairness (kewajaran) karena semua pihak diletakkan dalam bingkai yang sesuai porsinya,” kata Yasonna.
Dia melanjutkan, sistem politik Indonesia memberi penghargaan kepada semua partai untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wapres sendiri. “Tentunya dengan syarat bekerja keras mendapat simpati rakyat dalam bentuk 20% dari jumlah kursi DPR,” pungkasnya.
Sementara di Indonesia yang menjalankan sistem presidensial, dalam mengusung capres-cawapres merujuk pada Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Dia menambahkan, begitu pula dalam membentuk pemerintahan tidak diperlukan koalisi karena presiden memiliki hak prerogatif dalam membentuk kabinet. Sehingga kerja sama menyusun pemerintahan dalam sistem presidensial tegas diatur dalam konstitusi adalah berdasar pada hak prerogatif presiden terpilih.
“Kemudian, masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dalam sistem presidensial juga bersifat fix term selama 5 tahun dalam satu periode maka koalisi dalam parlemen tidak dikenal. Sehingga tidak tepat menggunakan istilah koalisi baik dalam mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden maupun dalam pembentukan pemerintahan,” ujarnya.
Menurut dia, Indonesia lebih tepat menggunakan istilah kerja sama. Menurut dia, istilah tersebut lebih menggambarkan suatu pembantingan pikiran dan tenaga demi mencapai tujuan bersama dengan posisi masing-masing pihak berkedudukan secara proporsional.
“Prinsip proporsionalitas ini sangat penting karena menuntut adanya keseimbangan hak dan kewajiban pelaku kerja sama politik. Hal itulah yang membuat pembentuk undang-undang menentukan syarat pencalonan presiden dan wapres harus memenuhi perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional,” ucapnya.
Dia mengatakan, logikanya partai yang sudah bekerja keras secara baik dan maksimal mendapatkan simpati rakyat, haruslah diberi porsi yang lebih besar dalam hal hak-hak politik dibanding partai yang belum mampu secara maksimal meraih suara rakyat. Dia berpendapat, asas proporsionalitas inilah yang kiranya menjadi pegangan dalam kerja sama antarpartai dalam mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.
“Ketika suatu partai misalnya memenuhi syarat 20 % dari jumlah kursi DPR, maka secara otomatis disebut pengusul. Sementara yang tidak memenuhi disebut pendukung. Ini adalah logika yang memenuhi prinsip fairness (kewajaran) karena semua pihak diletakkan dalam bingkai yang sesuai porsinya,” kata Yasonna.
Dia melanjutkan, sistem politik Indonesia memberi penghargaan kepada semua partai untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wapres sendiri. “Tentunya dengan syarat bekerja keras mendapat simpati rakyat dalam bentuk 20% dari jumlah kursi DPR,” pungkasnya.