Yasonna: Kerja Sama Politik Pilpres 2024 Harus Mengacu pada Spirit Demokrasi Pancasila

Rabu, 26 April 2023 - 10:56 WIB
loading...
Yasonna: Kerja Sama Politik Pilpres 2024 Harus Mengacu pada Spirit Demokrasi Pancasila
Ketua Bidang Hukum dan Perundang-Undangan DPP PDIP Yasonna Laoly mengatakan kerja sama politik dalam tahapan Pilpres 2024 maupun pembentukan kabinet pascapemilu harus mengacu pada spirit demokrasi Pancasila. Foto/Dok MPI
A A A
JAKARTA - Ketua Bidang Hukum dan Perundang-Undangan DPP PDIP Yasonna Laoly mengatakan kerja sama politik dalam tahapan Pilpres 2024 maupun pembentukan kabinet pascapemilu harus mengacu pada spirit demokrasi Pancasila. Adapun spirit demokrasi Pancasila yang dimaksudnya adalah kerja sama politik yang bernapaskan gotong royong, bahwa di dalamnya dijunjung keadilan secara proporsional.

“Artinya, setiap pelaku politik yang bekerja sama memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan proporsinya dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini adalah UUD NRI 1945 dan UU Pemilu dan etika politik yang baik,” kata Yasonna dalam keterangan tertulisnya, Rabu (26/4/2023).

Dengan begitu, kata Yasonna, kerja sama politik akan dipenuhi oleh suasana hikmat kebijaksanaan yang di dalamnya tergambar semangat untuk meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. Dia mengatakan, corak demokrasi Indonesia yang berideologi Pancasila menurut pada pendiri bangsa sejatinya adalah bercorak gotong royong.



“Konsep demokrasi musyawarah untuk mufakat berarti kita harus saling mengalah untuk sampai pada mufakat, sampai pada suara bulat, atau berkompromi sampai mencapai mufakat,” imbuhnya.

Oleh karenanya, lanjut dia, penyelenggaraan demokrasi Indonesia dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, bukan oleh logika menang-menangan, pengaduan kekuatan, tipu muslihat, dan voting. “Perkataan gotong royong adalah perkataan asli Indonesia yang menggambarkan jiwa Indonesia yang semurni-murninya. Oleh karena itu, kita harus kembali kepada demokrasi kita yang sejati,” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ini.

“Sehingga, ketika diturunkan dalam penyelenggaraan praksis politik pemerintahan, kita secara sadar memilih sistem presidensial bukan parlementer. Sistem parlementer sebagaimana namanya adalah sistem pemerintahan yang dikontrol oleh parlemen,” sambungnya.



Lebih lanjut dia mengatakan, suatu pemerintahan hanya akan bertahan jika didasarkan atas koalisi antarpartai di parlemen. Dia menjelaskan, sejarah mencatat Indonesia di bawah sistem parlementer berada dalam kondisi kacau balau, jatuh bangun kabinet, krisis politik, dan bahkan pemberontakan-pemberontakan di daerah.

“Jika dilihat terminologi koalisi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) adalah kerja sama antar beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen. Hal yang sama ditemukan dalam Kamus Politik (2007), koalisi adalah kerja sama antara beberapa partai untuk memperoleh suara mayoritas dalam parlemen dalam membentuk satu kabinet atau pemerintah,” jelasnya.

Dari definisi tersebut, kata Yasonna, istilah koalisi pada hakikatnya dimaksudkan dalam konteks pembentukan pemerintahan oleh parlemen, bukan dalam rangka mengusulkan pasangan capres-cawapres.



Sementara di Indonesia yang menjalankan sistem presidensial, dalam mengusung capres-cawapres merujuk pada Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Dia menambahkan, begitu pula dalam membentuk pemerintahan tidak diperlukan koalisi karena presiden memiliki hak prerogatif dalam membentuk kabinet. Sehingga kerja sama menyusun pemerintahan dalam sistem presidensial tegas diatur dalam konstitusi adalah berdasar pada hak prerogatif presiden terpilih.

“Kemudian, masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dalam sistem presidensial juga bersifat fix term selama 5 tahun dalam satu periode maka koalisi dalam parlemen tidak dikenal. Sehingga tidak tepat menggunakan istilah koalisi baik dalam mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden maupun dalam pembentukan pemerintahan,” ujarnya.

Menurut dia, Indonesia lebih tepat menggunakan istilah kerja sama. Menurut dia, istilah tersebut lebih menggambarkan suatu pembantingan pikiran dan tenaga demi mencapai tujuan bersama dengan posisi masing-masing pihak berkedudukan secara proporsional.

“Prinsip proporsionalitas ini sangat penting karena menuntut adanya keseimbangan hak dan kewajiban pelaku kerja sama politik. Hal itulah yang membuat pembentuk undang-undang menentukan syarat pencalonan presiden dan wapres harus memenuhi perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional,” ucapnya.

Dia mengatakan, logikanya partai yang sudah bekerja keras secara baik dan maksimal mendapatkan simpati rakyat, haruslah diberi porsi yang lebih besar dalam hal hak-hak politik dibanding partai yang belum mampu secara maksimal meraih suara rakyat. Dia berpendapat, asas proporsionalitas inilah yang kiranya menjadi pegangan dalam kerja sama antarpartai dalam mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.

“Ketika suatu partai misalnya memenuhi syarat 20 % dari jumlah kursi DPR, maka secara otomatis disebut pengusul. Sementara yang tidak memenuhi disebut pendukung. Ini adalah logika yang memenuhi prinsip fairness (kewajaran) karena semua pihak diletakkan dalam bingkai yang sesuai porsinya,” kata Yasonna.

Dia melanjutkan, sistem politik Indonesia memberi penghargaan kepada semua partai untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wapres sendiri. “Tentunya dengan syarat bekerja keras mendapat simpati rakyat dalam bentuk 20% dari jumlah kursi DPR,” pungkasnya.
(rca)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2121 seconds (0.1#10.140)