Logika Ekonomi Versus Kesadaran Ekologi
loading...
A
A
A
Kita perlu berpikir tentang keputusan apa yang seharusnya diambil dan berusaha memahami kehidupan seperti apa yang hendak dihuni penduduk bumi di masa depan. Jika watak homo economicus terus dibiarkan, maka krisis ekologi akan kian suram. Karena motif ekonomi akan terus-menerus menjebak ke dalam kubangan keserakahan tak bertepi.
Pada dasarnya, krisis lingkungan adalah krisis nilai. Nilai inilah yang makin memudar. Terkadang nilai di sini tak selalu tertulis. Misalnya saat sebagian ekonom bicara tentang kesejahteraan, ada anjuran pemenang menyediakan kompensasi kongkrit bagi mereka yang kalah.
Jika alam yang rusak tergolong kubu yang kalah akibat aktivitas ekonomi, maka sudah selayaknya diberikan perhatian serius guna menjaga keberlangsungan lingkungan hidup. Etika seperti inilah yang rasanya absen.
Aspirasi agama barangkali bisa mengisi kekosongan etika. Islam menawarkan konsep cukup jelas ketika menerangkan batasan relasi antara manusia dan bumi. Konsep seperti tauhid ataupun khalifah (bukan dalam pengertian negara Islam) bisa dijadikan fondasi etika lingkungan.
Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa Allah menciptakan setiap makhluk hidup dari air. Bumi beserta isinya adalah ciptaan Allah dan wajib dipelihara. Manusia pun diperingatkan tidak membuat kerusakan di bumi (QS.7:56).
Bahkan dalam Quran dan hadist dijanjikan ganjaran pahala bagi mereka yang menanam dan merawat pohon, maupun tumbuhan. Zaman khalifah Abu Bakar misalnya, selalu mengingatkan bahwa: jangan menebang pohon, jangan menyakiti hewan, dan dianjurkan bersikap manusiawi terhadap ciptaan Tuhan, termasuk kepada musuh dalam peperangan sekalipun.
Hal tersebut menunjukkan bahwa manusia merupakan bagian sistem organik kehidupan yang tak terpisahkan dari alam. Satu hal berpengaruh terhadap yang lainnya. Tiap perubahan yang terjadi di kehidupan ini saling bertalian dalam klausul ’sebab akibat’ dan ’timbal balik.’
Etika religiusitas semacam inilah yang dibutuhkan. Umat manusia memikul tanggungjawab bawaan guna membereskan krisis ekologi yang terjadi. Beragam nikmatnya kemudahan instan, dan gaya hidup konsumerisme yang kebablasan menyebabkan manusia tenggelam pada krisis moral akut.
Itu sebabnya tanpa adanya kesadaran tersebut, sulit sekiranya manusia modern mampu membereskan masalah ancaman ekologi ini. Karena krisis moral hanya bisa dipecahkan dimulai dengan mengubah perilaku gaya hidup. Atau jangan-jangan selama ini ada kekeliruan cara pandang dalam mengenali diri kita, dan gagal paham memaknai segala anugrah yang telah dititipkan Tuhan.
Pada dasarnya, krisis lingkungan adalah krisis nilai. Nilai inilah yang makin memudar. Terkadang nilai di sini tak selalu tertulis. Misalnya saat sebagian ekonom bicara tentang kesejahteraan, ada anjuran pemenang menyediakan kompensasi kongkrit bagi mereka yang kalah.
Jika alam yang rusak tergolong kubu yang kalah akibat aktivitas ekonomi, maka sudah selayaknya diberikan perhatian serius guna menjaga keberlangsungan lingkungan hidup. Etika seperti inilah yang rasanya absen.
Aspirasi agama barangkali bisa mengisi kekosongan etika. Islam menawarkan konsep cukup jelas ketika menerangkan batasan relasi antara manusia dan bumi. Konsep seperti tauhid ataupun khalifah (bukan dalam pengertian negara Islam) bisa dijadikan fondasi etika lingkungan.
Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa Allah menciptakan setiap makhluk hidup dari air. Bumi beserta isinya adalah ciptaan Allah dan wajib dipelihara. Manusia pun diperingatkan tidak membuat kerusakan di bumi (QS.7:56).
Bahkan dalam Quran dan hadist dijanjikan ganjaran pahala bagi mereka yang menanam dan merawat pohon, maupun tumbuhan. Zaman khalifah Abu Bakar misalnya, selalu mengingatkan bahwa: jangan menebang pohon, jangan menyakiti hewan, dan dianjurkan bersikap manusiawi terhadap ciptaan Tuhan, termasuk kepada musuh dalam peperangan sekalipun.
Hal tersebut menunjukkan bahwa manusia merupakan bagian sistem organik kehidupan yang tak terpisahkan dari alam. Satu hal berpengaruh terhadap yang lainnya. Tiap perubahan yang terjadi di kehidupan ini saling bertalian dalam klausul ’sebab akibat’ dan ’timbal balik.’
Etika religiusitas semacam inilah yang dibutuhkan. Umat manusia memikul tanggungjawab bawaan guna membereskan krisis ekologi yang terjadi. Beragam nikmatnya kemudahan instan, dan gaya hidup konsumerisme yang kebablasan menyebabkan manusia tenggelam pada krisis moral akut.
Itu sebabnya tanpa adanya kesadaran tersebut, sulit sekiranya manusia modern mampu membereskan masalah ancaman ekologi ini. Karena krisis moral hanya bisa dipecahkan dimulai dengan mengubah perilaku gaya hidup. Atau jangan-jangan selama ini ada kekeliruan cara pandang dalam mengenali diri kita, dan gagal paham memaknai segala anugrah yang telah dititipkan Tuhan.