Manifestasi Nilai Moderasi Beragama dalam Ibadah Puasa
loading...
A
A
A
Pertama;al-Tawazun
Dalam ibadah puasa nilai-nilaial-Tawazun(bertindak seimbang) tercermin sekali pada aspek-aspek mental-spiritual, fisik-psikis dan sosial kemasyarakatan. Pada aspek mental-spiritual pribadi manusia yang berpuasa dilatih keseimbangan rohani dan jasmani. Artinya dengan berpuasa manusia diingatkan agar tidak terlalu berat sebelah dan cenderung berlebihan pada hal-hal material yang berakibat tergrogoti nilai-nilai kemanusiaannya (dehumanisasi).
Jiwa dan pikiran manusia tidak boleh terfokus terlalu jauh hanya mengejar duniawi (harta, tahta dan wanita) sehingga menimbulkan penyakit-penyakit hati (baca; psikis) seperti tamak-serakah, sombong, hedonis, matrialistis, cinta jabatan (hubbul manzilah), cinta popularitas (hubbus syuhrah), cinta kedudukan terpuji (hubbul Jah) dan lain sebagainya.
Agar pribadi manusia seimbang secara jasmaniyah wa rohaniyah dan tidak mengalami keterbelahan jiwa (split personality), manusia yang berpuasa dilatih mental-spiritualnya untuk rendah hati (tawadhu’), cinta akherat, cinta ilmu dan selalu bersyukur atas segala nikmat yang dikaruniakan Alloh SWT.
Sedangkan pada aspek fisik-psikis termanifestasi secara gamblang bahwa pada saat manusia berpuasa otak secara otomatis akan menghidupkan program autolisis. Semua makhluk hidup dibekali sistem (fitrah) autolisis yang khas seperti saat pohon berpuasa sistem autolisisnya bekerja dengan menggugurkan dedaunan.
Ketika autolisis manusia diaktifkan saat berpuasa, maka ia akan mengerti bagaimana seharusnya kondisi sehat dari setiap jenis sel manusia, dibagian tubuh mana seharusnya sel itu berada dan berapa banyak jumlahnya bagi tubuh sehat yang ideal. Autolisis akan meng-oksidasi lemak menjadi keton dan menghilangkan sel-sel rusak dan mati, menghilangkan benjolan hingga tumor serta timbunan lemak yg sering menjadi sarang zat beracun. Dengan demikian tubuh manusia menjadi seimbang dan sehat wal afiat saat mereka benar-benar berpuasa.
Keseimbangan (al-Tawazun) pada aspek sosial kemasyarakatan juga akan terjadi pada orang-orang yang berpuasa. Saat berpuasa ketimpangan sosial akan segera dieliminir dengan digalakkannya shodaqoh, infak dan zakat yang menimbulkan rasa kepedulian sosial. Manusia-manusia kaya akan ikut juga merasakan bagaimana laparnya orang-orang faqir miskin. Kehidupan sosial kemasyarakatan menjadi seimbang karena kesalehan individual dan kesalehan sosial berpadu menjadi satu.
Kedua ;at-Tawassuth
Sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrem adalahat-Tawassuth(berperilaku moderat). Ibadah puasa merupakan sikap tengah-tengah antara materialisme ekstrim dengan mengabaikan dimensi spiritual-rohaniah dalam kehidupan manusia sehingga bersikap hedonis, atheis dan materialistis tidak perlu berpuasa dan berlapar-lapar diri sepanjang tahun.
Dan yang kedua sikap spriritualisme ekstrem yang tidak bersikap adil terhadap aspek-aspek jasmaniah sehingga berpuasa sepanjang tahun (shoum ad-Dahr), sambil mengabaikan hak-hak tubuh, keluarga dan masyarakat. Sikapat-Tawassuth(berprilaku moderat) pada orang orang yang berpuasa mengejawantah pada pribadi dan masyarakat dengan sikap yang tenang, tentram, adil dan sejahtera.
Ketiga;al-Tasamuh
Ajaranat-Tasamuhmengandung makna bersikap toleransi, saling menghargai, lapang dada, suka memaafkan dan bersikap terbuka dalam menghadapi perbedaan, kemajemukan dan pluralitas. Prinsip ketiga dari nilai dasar Aswaja ini sangat terlihat jelas pada pribadi orang-orang yang berpuasa.
Misalnya, adanya perbedaan penetapan awal Ramadan, warga NU dan umat Islam Indonesia mensikapi hal itu dengan penuh toleran, saling menghargai dan bersikap lapang dada. Kedua, perbedaan jumlah rakaat shalat taraweh juga disikapi seperti di atas.
Bahkan sikap toleran itu harus ditunjukkan oleh seorang muslim yang terhormat dengan menghormati orang yang tidak berpuasa, demi saling menghargai dan menghormati. Nilaial-Tasamuh(bersikap toleran) bagi warga NU Aswaja tersebut sudah mendarah daging dalam setiap kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Dalam ibadah puasa nilai-nilaial-Tawazun(bertindak seimbang) tercermin sekali pada aspek-aspek mental-spiritual, fisik-psikis dan sosial kemasyarakatan. Pada aspek mental-spiritual pribadi manusia yang berpuasa dilatih keseimbangan rohani dan jasmani. Artinya dengan berpuasa manusia diingatkan agar tidak terlalu berat sebelah dan cenderung berlebihan pada hal-hal material yang berakibat tergrogoti nilai-nilai kemanusiaannya (dehumanisasi).
Jiwa dan pikiran manusia tidak boleh terfokus terlalu jauh hanya mengejar duniawi (harta, tahta dan wanita) sehingga menimbulkan penyakit-penyakit hati (baca; psikis) seperti tamak-serakah, sombong, hedonis, matrialistis, cinta jabatan (hubbul manzilah), cinta popularitas (hubbus syuhrah), cinta kedudukan terpuji (hubbul Jah) dan lain sebagainya.
Agar pribadi manusia seimbang secara jasmaniyah wa rohaniyah dan tidak mengalami keterbelahan jiwa (split personality), manusia yang berpuasa dilatih mental-spiritualnya untuk rendah hati (tawadhu’), cinta akherat, cinta ilmu dan selalu bersyukur atas segala nikmat yang dikaruniakan Alloh SWT.
Sedangkan pada aspek fisik-psikis termanifestasi secara gamblang bahwa pada saat manusia berpuasa otak secara otomatis akan menghidupkan program autolisis. Semua makhluk hidup dibekali sistem (fitrah) autolisis yang khas seperti saat pohon berpuasa sistem autolisisnya bekerja dengan menggugurkan dedaunan.
Ketika autolisis manusia diaktifkan saat berpuasa, maka ia akan mengerti bagaimana seharusnya kondisi sehat dari setiap jenis sel manusia, dibagian tubuh mana seharusnya sel itu berada dan berapa banyak jumlahnya bagi tubuh sehat yang ideal. Autolisis akan meng-oksidasi lemak menjadi keton dan menghilangkan sel-sel rusak dan mati, menghilangkan benjolan hingga tumor serta timbunan lemak yg sering menjadi sarang zat beracun. Dengan demikian tubuh manusia menjadi seimbang dan sehat wal afiat saat mereka benar-benar berpuasa.
Keseimbangan (al-Tawazun) pada aspek sosial kemasyarakatan juga akan terjadi pada orang-orang yang berpuasa. Saat berpuasa ketimpangan sosial akan segera dieliminir dengan digalakkannya shodaqoh, infak dan zakat yang menimbulkan rasa kepedulian sosial. Manusia-manusia kaya akan ikut juga merasakan bagaimana laparnya orang-orang faqir miskin. Kehidupan sosial kemasyarakatan menjadi seimbang karena kesalehan individual dan kesalehan sosial berpadu menjadi satu.
Kedua ;at-Tawassuth
Sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrem adalahat-Tawassuth(berperilaku moderat). Ibadah puasa merupakan sikap tengah-tengah antara materialisme ekstrim dengan mengabaikan dimensi spiritual-rohaniah dalam kehidupan manusia sehingga bersikap hedonis, atheis dan materialistis tidak perlu berpuasa dan berlapar-lapar diri sepanjang tahun.
Dan yang kedua sikap spriritualisme ekstrem yang tidak bersikap adil terhadap aspek-aspek jasmaniah sehingga berpuasa sepanjang tahun (shoum ad-Dahr), sambil mengabaikan hak-hak tubuh, keluarga dan masyarakat. Sikapat-Tawassuth(berprilaku moderat) pada orang orang yang berpuasa mengejawantah pada pribadi dan masyarakat dengan sikap yang tenang, tentram, adil dan sejahtera.
Ketiga;al-Tasamuh
Ajaranat-Tasamuhmengandung makna bersikap toleransi, saling menghargai, lapang dada, suka memaafkan dan bersikap terbuka dalam menghadapi perbedaan, kemajemukan dan pluralitas. Prinsip ketiga dari nilai dasar Aswaja ini sangat terlihat jelas pada pribadi orang-orang yang berpuasa.
Misalnya, adanya perbedaan penetapan awal Ramadan, warga NU dan umat Islam Indonesia mensikapi hal itu dengan penuh toleran, saling menghargai dan bersikap lapang dada. Kedua, perbedaan jumlah rakaat shalat taraweh juga disikapi seperti di atas.
Bahkan sikap toleran itu harus ditunjukkan oleh seorang muslim yang terhormat dengan menghormati orang yang tidak berpuasa, demi saling menghargai dan menghormati. Nilaial-Tasamuh(bersikap toleran) bagi warga NU Aswaja tersebut sudah mendarah daging dalam setiap kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.