Demokrat soal Anas Urbaningrum Bebas: Kenapa Mesti Khawatir?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Partai Demokrat menanggapi santai bebasnya Anas Urbaningrum , mantan ketua umumnya, dari Lapas Sukamiskin dalam waktu dekat. Demokrat tak menganggap Anas sebagai ancaman, sebagaimana banyak disebut-sebut para pengamat.
"Dalam negara hukum yang demokratis seperti Indonesia menjadi keharusan bagi kita untuk saling menghormati dan menghargai hak politik warga negara sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi," kata Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Demokrat Didik Mukrianto saat dihubungi, awal bulan lalu.
Didik memastikan Demokrat tak punya kekhawatiran atau kecurigaan apa pun terhadap Anas. Karena Demokrat memang tidak punya alasan untuk khawatir. Bahkan, dia mengatakan partainya selalu bersahabat dengan siapa saja.
"Tidak ada alasan apapun yang perlu kami khawatirkan. Mengapa harus curiga? Mengapa harus khawatir? Kami bersahabat dengan semua orang, pantang bagi kami untuk menebar permusuhan. Partai kami cinta damai dan menjaga keteduhan serta kebersatuan. Saya rasa tidak ada alasan yang mendasar untuk itu," ujarnya.
Seperti diberitakan, Anas Urbaningrum dikabarkan akan menghirup udara bebas pada 11 April 2023, mundur sehari dari informasi sebelumnya. Kabar akan bebasnya Anas dari Lapas Sukamiskin ini menjadi perhatian masyarakat luas.
Ribuan orang dikabarkan siap menjemput dan menyambut Anas di luar gerbang Lapas Sukamiskin pada hari kebebasannya. Mereka adalah para sahabat dan loyalis Anas, baik ketika masih aktif di HMI, KNPI, maupun organisasi lain, juga Partai Demokrat dulu.
Sejumlah pengamat meyakini Anas akan kembali ke gelanggang politik. Salah satu agendanya adalah menuliskan ”halaman dan bab” lanjutan setelah halaman pertama dalam huru hara Partai Demokrat, yang telah menyeretnya ke penjara.
Menurut Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut) Suparji Ahmad, kasus Anas Urbaningrum sampai saat ini masih menimbulkan banyak tanda tanya.
Pertama, bocornya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik). "Yang misterius dalam sprindik tersebut adalah sangkaan terkait dengan proyek Hambalang dan atau proyek-proyek lainnya, tidak dijelaskan dengan gamblang apa yang disebut dalam frasa 'dan atau proyek-proyek lainnya'. Narasi tersebut bertentangan dengan asas kepastian hukum atau menunjukkan kalimat yang kabur," ucapnya dalam keterangan pers.
Kedua, ia menganggap substansi kasus terkesan dicari-cari dan dipaksakan. Substansi yang digunakan untuk mendakwa bermula dari proyek Hambalang, namun hal itu terbantahkan karena tidak ada satu pun dokumen yang secara eksplisit menyebut keterlibatannya.
" Secara dokumen dan proses tidak terlibat, tidak ada dokumen satu pun tertulis nama Anas Urbaningrum. Setelah konstruksi Hambalang tidak terbukti lari ke Kongres Partai Demokrat di Bandung, Mei 2010. Dalam kontruksi kongres tersebut, menyisakan misteri karena tidak semua pihak yang memiliki otoritas atas kongres tidak diminta keterangannya," ungkapnya.
Ketiga, ia menegaskan bahwa ada rekonstruksi fakta yang tidak terbukti. Padahal, penegakan hukum seharusnya dilakukan secara hati-hati, cermat, dan komprehensif dengan memperhatikan fakta yuridis dan fakta empirik, sehingga putusan yang diberikan hakim berkeadilan, berkepastian, dan bermanfaat.
"Namun dalam kenyataannya, putusan perkara ini telah mengabaikan fakta persidangan, karena tidak terungkap secara terang benderang berdasarkan alat bukti yang sah dan meyakinkan keterlibatan dalam tindak pidana korupsi Wisma Atlet Hambalang dan sejumlah proyek lain pada kurun waktu 2010-2012," tuturnya.
Keempat, Suparji menilai rasionalisasi putusan Anas tidak objektif. Putusan tersebut, kata dia, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan tidak memiliki legal reasoning, karena tidak ada rasionalisasi atas pidana penjara, pidana denda, pembayaran uang pengganti dan pencabutan hak politik.
Menurutnya, penjatuhan pidana uang pengganti kepada terdakwa tidak sepenuhnya tepat, karena tidak ada bukti perbuatan terdakwa melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara. Putusan ini tidak adil, karena dugaan adanya kerugian negara harus ditimpakan kepada terdakwa.
"Penerapan hukuman uang pengganti yang sangat berat bertendensi untuk menambahi pidana penjara, mengingat kemampuan untuk membayar uang pengganti tersebut sangat tidak mungkin," ulasnya.
Kejanggalan lain, kata Suparji, munculnya asumsi calon presiden. Konstruksi surat dakwaan dimulai dengan kalimat yang tidak menyajikan fakta, tetapi asumsi yang premature, yaitu menggambarkan Anas Urbaningrum mempunyai keinginan untuk menjadi presiden.
"Itu merupakan sebuah konstruksi surat dakwaan dengan prolog yang spekulatif dan pada akhirnya tidak terbukti dalam persidangan," pungkasnya.
"Dalam negara hukum yang demokratis seperti Indonesia menjadi keharusan bagi kita untuk saling menghormati dan menghargai hak politik warga negara sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi," kata Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Demokrat Didik Mukrianto saat dihubungi, awal bulan lalu.
Didik memastikan Demokrat tak punya kekhawatiran atau kecurigaan apa pun terhadap Anas. Karena Demokrat memang tidak punya alasan untuk khawatir. Bahkan, dia mengatakan partainya selalu bersahabat dengan siapa saja.
"Tidak ada alasan apapun yang perlu kami khawatirkan. Mengapa harus curiga? Mengapa harus khawatir? Kami bersahabat dengan semua orang, pantang bagi kami untuk menebar permusuhan. Partai kami cinta damai dan menjaga keteduhan serta kebersatuan. Saya rasa tidak ada alasan yang mendasar untuk itu," ujarnya.
Seperti diberitakan, Anas Urbaningrum dikabarkan akan menghirup udara bebas pada 11 April 2023, mundur sehari dari informasi sebelumnya. Kabar akan bebasnya Anas dari Lapas Sukamiskin ini menjadi perhatian masyarakat luas.
Ribuan orang dikabarkan siap menjemput dan menyambut Anas di luar gerbang Lapas Sukamiskin pada hari kebebasannya. Mereka adalah para sahabat dan loyalis Anas, baik ketika masih aktif di HMI, KNPI, maupun organisasi lain, juga Partai Demokrat dulu.
Sejumlah pengamat meyakini Anas akan kembali ke gelanggang politik. Salah satu agendanya adalah menuliskan ”halaman dan bab” lanjutan setelah halaman pertama dalam huru hara Partai Demokrat, yang telah menyeretnya ke penjara.
Menurut Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut) Suparji Ahmad, kasus Anas Urbaningrum sampai saat ini masih menimbulkan banyak tanda tanya.
Pertama, bocornya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik). "Yang misterius dalam sprindik tersebut adalah sangkaan terkait dengan proyek Hambalang dan atau proyek-proyek lainnya, tidak dijelaskan dengan gamblang apa yang disebut dalam frasa 'dan atau proyek-proyek lainnya'. Narasi tersebut bertentangan dengan asas kepastian hukum atau menunjukkan kalimat yang kabur," ucapnya dalam keterangan pers.
Kedua, ia menganggap substansi kasus terkesan dicari-cari dan dipaksakan. Substansi yang digunakan untuk mendakwa bermula dari proyek Hambalang, namun hal itu terbantahkan karena tidak ada satu pun dokumen yang secara eksplisit menyebut keterlibatannya.
" Secara dokumen dan proses tidak terlibat, tidak ada dokumen satu pun tertulis nama Anas Urbaningrum. Setelah konstruksi Hambalang tidak terbukti lari ke Kongres Partai Demokrat di Bandung, Mei 2010. Dalam kontruksi kongres tersebut, menyisakan misteri karena tidak semua pihak yang memiliki otoritas atas kongres tidak diminta keterangannya," ungkapnya.
Ketiga, ia menegaskan bahwa ada rekonstruksi fakta yang tidak terbukti. Padahal, penegakan hukum seharusnya dilakukan secara hati-hati, cermat, dan komprehensif dengan memperhatikan fakta yuridis dan fakta empirik, sehingga putusan yang diberikan hakim berkeadilan, berkepastian, dan bermanfaat.
"Namun dalam kenyataannya, putusan perkara ini telah mengabaikan fakta persidangan, karena tidak terungkap secara terang benderang berdasarkan alat bukti yang sah dan meyakinkan keterlibatan dalam tindak pidana korupsi Wisma Atlet Hambalang dan sejumlah proyek lain pada kurun waktu 2010-2012," tuturnya.
Keempat, Suparji menilai rasionalisasi putusan Anas tidak objektif. Putusan tersebut, kata dia, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan tidak memiliki legal reasoning, karena tidak ada rasionalisasi atas pidana penjara, pidana denda, pembayaran uang pengganti dan pencabutan hak politik.
Menurutnya, penjatuhan pidana uang pengganti kepada terdakwa tidak sepenuhnya tepat, karena tidak ada bukti perbuatan terdakwa melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara. Putusan ini tidak adil, karena dugaan adanya kerugian negara harus ditimpakan kepada terdakwa.
"Penerapan hukuman uang pengganti yang sangat berat bertendensi untuk menambahi pidana penjara, mengingat kemampuan untuk membayar uang pengganti tersebut sangat tidak mungkin," ulasnya.
Kejanggalan lain, kata Suparji, munculnya asumsi calon presiden. Konstruksi surat dakwaan dimulai dengan kalimat yang tidak menyajikan fakta, tetapi asumsi yang premature, yaitu menggambarkan Anas Urbaningrum mempunyai keinginan untuk menjadi presiden.
"Itu merupakan sebuah konstruksi surat dakwaan dengan prolog yang spekulatif dan pada akhirnya tidak terbukti dalam persidangan," pungkasnya.
(muh)