Ida Dayak Viral, Kemenkes: Pengobatan Tradisional Harus Punya Surat Praktik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengobatan tradisional yang dilakukan Ida Dayak menyedot perhatian banyak masyarakat. Video mengenai perempuan berbaju adat Dayak di media sosial TikTok sering kali viral.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi pun memberikan tanggapan. Siti Nadia menjelaskan, pengobatan tradisional telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 61 Tahun 2016 tentang Layanan Kesehatan Empiris.
Namun, kata Nadia, pelayanan kesehatan tradisional ini harus mendapatkan penilaian hatra (penyehat tradisional, red), memiliki perkumpulan, dan harus memiliki surat tanda praktik tradisional (STR). “Karena kan layanan tradisional itu bukan kayak layanan kesehatan modern ada evidence base. Kayak orang divaksin ada uji klinis 1,2,3. Ini empiris,” kata Nadia kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/4/2023).
“Berdasarkan pengalaman, adalah penilaian dari namanya hatra (penyehat tradisional) dan dia punya perkumpulan. Mereka harus punya STR. Surat tanda praktik tradisional. Di Permenkes diatur,” sambungnya.
Soal masyarakat yang rela mengantre demi mendapatkan pengobatan Ida Dayak, Nadia menjelaskan bahwa pihaknya akan melakukan pembinaan. Karena masyarakat diberi kebebasan untuk melakukan pengobatan tradisional atau modern.
Yang terpenting, jangan sampai ada yang dirugikan lewat pengobatan tradisional itu. “Ya kita akan lakukan pembinaan. Mereka kan punya pilihan mau tradisional atau modern. Jadi yang penting kita jaga jangan sampai ada yang dirugikan. Misalnya kalau ada orang kanker ya. Kalau dia di awal stadium bisa sembuh total. Tapi jangan sampai dia enggak dapat info sebenarnya kalau dia cepat, tapi berobat tradisional jadi terlambat,” terangnya.
Oleh karena itu, menurut Nadia, yang paling penting adalah literasi kepada masyarakat, bahwa masyarakat harus tahu pentingnya pembinaan hatra. “Jangan sampai hatra enggak tahu kapan harus berhenti dan merujuk ke layanan tradisional,” imbuh Nadia.
Adapun korban pengobatan tradisional, Nadia mengaku sejauh ini belum ada karena dibina dibawa Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat, karena praktik ini izinnya dikeluarkan oleh Dinkes setempat. Kalaupun ada kasus perlu dilihat kasus itu masuk ranah pidana atau perdata.
“Kita belum ada ya (kasus korban), itu kan pembinaannya pada Dinas Kesehatan setempat ya karena kan praktik-praktik seperti itu izinnya juga dari Dinas Kesehatan setempat. Nanti kalau ada kasus-kasus ya nanti mesti dilihat apakah itu pidana atau perdata,” pungkasnya.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi pun memberikan tanggapan. Siti Nadia menjelaskan, pengobatan tradisional telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 61 Tahun 2016 tentang Layanan Kesehatan Empiris.
Namun, kata Nadia, pelayanan kesehatan tradisional ini harus mendapatkan penilaian hatra (penyehat tradisional, red), memiliki perkumpulan, dan harus memiliki surat tanda praktik tradisional (STR). “Karena kan layanan tradisional itu bukan kayak layanan kesehatan modern ada evidence base. Kayak orang divaksin ada uji klinis 1,2,3. Ini empiris,” kata Nadia kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/4/2023).
“Berdasarkan pengalaman, adalah penilaian dari namanya hatra (penyehat tradisional) dan dia punya perkumpulan. Mereka harus punya STR. Surat tanda praktik tradisional. Di Permenkes diatur,” sambungnya.
Soal masyarakat yang rela mengantre demi mendapatkan pengobatan Ida Dayak, Nadia menjelaskan bahwa pihaknya akan melakukan pembinaan. Karena masyarakat diberi kebebasan untuk melakukan pengobatan tradisional atau modern.
Yang terpenting, jangan sampai ada yang dirugikan lewat pengobatan tradisional itu. “Ya kita akan lakukan pembinaan. Mereka kan punya pilihan mau tradisional atau modern. Jadi yang penting kita jaga jangan sampai ada yang dirugikan. Misalnya kalau ada orang kanker ya. Kalau dia di awal stadium bisa sembuh total. Tapi jangan sampai dia enggak dapat info sebenarnya kalau dia cepat, tapi berobat tradisional jadi terlambat,” terangnya.
Oleh karena itu, menurut Nadia, yang paling penting adalah literasi kepada masyarakat, bahwa masyarakat harus tahu pentingnya pembinaan hatra. “Jangan sampai hatra enggak tahu kapan harus berhenti dan merujuk ke layanan tradisional,” imbuh Nadia.
Adapun korban pengobatan tradisional, Nadia mengaku sejauh ini belum ada karena dibina dibawa Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat, karena praktik ini izinnya dikeluarkan oleh Dinkes setempat. Kalaupun ada kasus perlu dilihat kasus itu masuk ranah pidana atau perdata.
“Kita belum ada ya (kasus korban), itu kan pembinaannya pada Dinas Kesehatan setempat ya karena kan praktik-praktik seperti itu izinnya juga dari Dinas Kesehatan setempat. Nanti kalau ada kasus-kasus ya nanti mesti dilihat apakah itu pidana atau perdata,” pungkasnya.
(rca)