Prof Romli Sebut KPK Tetapkan Rafael Alun Tersangka Gratifikasi Sudah Tepat
loading...
A
A
A
“Gratifikasi hanya ditujukan kepada penerima tidak kepada pemberi (gratifikasi) sehingga objek sasaran ketentuan Pasal 12 B dan Pasal 12 C adalah terhadap penerima ketika penerima setelah 30 hari berketetapan hati untuk tetap berniat menguasai/memiliki gratifikasi secara permanen sehngga tenggat waktu 30 hari terlampaui. Sehingga menurut saya, gratifikasi merupakan tindak pidana tertunda (delayed crimes),” terangnya.
Sementara itu, lanjut Prof Romli, pemerasan dalam jabatan diatur dalam Pasal 12 huruf e. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
“Yang menarik adalah hukum acara yang berlaku berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2011 yang telah memberlakukan metoda pembalikan beban pembuktian terbalik (onus of proof atau reversal of burden of proof) di mana terdakwa di dalam sidang pengadilan, di hadapan majelis hakim, wajib membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana tipikor. Jika ia tidak berhasil atau tidak mampu membuktikan bahwa ia tidak melakukan tipikor termasuk perolehan harta kekayaan diduga dari tipikor maka penuntut dapat meminta majelismemerintahkan kepada penuntut merampas harta kekayaan terdakwa yang berasal dari tipikor,” tandasnya.
Sehubungan dengan kasus Rafael Alun dengan dugaan gratifikasi selama 12 tahun senilai Rp1,3 miliar yang menurut KPK diperoleh selama 12 tahun yang lampau, kata dia, maka KPK telah tidak memperoleh bukti permulaan cukup untuk menetapkan tersangka sebagai pelaku suap dan pemerasan dalam jabatan. Menurutnya, dapat dipahami bahwa pembuktian pemerasan dalam jabatan dan suap memerlukan waktu yang cukup melebihi temuan bukti permulaan dari gratifikasi.
“Ketentuan UU Nomor 20 Tahun 2001 selanjut secara detail telah mengatur pembuktian terbalik dengan Pasal 38 B ayat (1) dan ayat (2). Pasal 38 B (1), setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi," tuturnya.
Ayat (2), dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.
Ayat (3), tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok. Untuk ayat (4), pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasaldari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi.
Selanjutnya, ayat (5), hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4). Ayat (6), apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.
"KPK menetapkan RAT tersangka gratifikasi sudah tepat karena gratifikasi tidak menyoal siapa pemberi gratifiksi dan tidak perlu dibuktikan. Itulah bedanya dengan suap. Dalam Pasal 13 B gratifikasi baru dianggap suap bukan suap; suap baru ternukti jika syarat pelaporan gratifikasi tidak dilaksanakan oleh penerima gratifikasi,” tutup Prof Romli.
Sementara itu, lanjut Prof Romli, pemerasan dalam jabatan diatur dalam Pasal 12 huruf e. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
“Yang menarik adalah hukum acara yang berlaku berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2011 yang telah memberlakukan metoda pembalikan beban pembuktian terbalik (onus of proof atau reversal of burden of proof) di mana terdakwa di dalam sidang pengadilan, di hadapan majelis hakim, wajib membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana tipikor. Jika ia tidak berhasil atau tidak mampu membuktikan bahwa ia tidak melakukan tipikor termasuk perolehan harta kekayaan diduga dari tipikor maka penuntut dapat meminta majelismemerintahkan kepada penuntut merampas harta kekayaan terdakwa yang berasal dari tipikor,” tandasnya.
Sehubungan dengan kasus Rafael Alun dengan dugaan gratifikasi selama 12 tahun senilai Rp1,3 miliar yang menurut KPK diperoleh selama 12 tahun yang lampau, kata dia, maka KPK telah tidak memperoleh bukti permulaan cukup untuk menetapkan tersangka sebagai pelaku suap dan pemerasan dalam jabatan. Menurutnya, dapat dipahami bahwa pembuktian pemerasan dalam jabatan dan suap memerlukan waktu yang cukup melebihi temuan bukti permulaan dari gratifikasi.
“Ketentuan UU Nomor 20 Tahun 2001 selanjut secara detail telah mengatur pembuktian terbalik dengan Pasal 38 B ayat (1) dan ayat (2). Pasal 38 B (1), setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi," tuturnya.
Ayat (2), dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.
Ayat (3), tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok. Untuk ayat (4), pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasaldari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi.
Selanjutnya, ayat (5), hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4). Ayat (6), apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.
"KPK menetapkan RAT tersangka gratifikasi sudah tepat karena gratifikasi tidak menyoal siapa pemberi gratifiksi dan tidak perlu dibuktikan. Itulah bedanya dengan suap. Dalam Pasal 13 B gratifikasi baru dianggap suap bukan suap; suap baru ternukti jika syarat pelaporan gratifikasi tidak dilaksanakan oleh penerima gratifikasi,” tutup Prof Romli.