Kota Sehat Kala Pandemi
loading...
A
A
A
Nirwono Joga
Pusat Studi Perkotaan
PANDEMI Covid-19 yang belum berakhir telah mengubah banyak pola dan tata kehidupan kota kita, termasuk perubahan sosial budaya, perekonomian kota, kelestarian lingkungan, serta memaksa kota beradaptasi sejak pandemi, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), PSBB transisi, hingga memasuki normal baru.
Pandemi Covid-19 harus mampu menyadarkan kita bagaimana merencanakan, merancang, membangun, mengelola, dan mengevaluasi kota yang cepat tanggap dan bisa mengantisipasi kemungkinan krisis pandemi di masa depan. Kota yang beradaptasi mengikuti protokol kesehatan. Kota dan kita perlu menata ulang pola hidup berkota, berhuni, serta relasi sosial budaya masyarakat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendorong penataan ulang rencana tata ruang kota sesuai norma dan tata kehidupan normal baru, kota sehat. Kota sehat laksana organisme hidup kompleks, bernapas, bertumbuh, dan terus berubah, mengembangkan sumber daya alam dan manusia, sehingga warga saling mendukung dalam memaksimalkan potensi kota.
United Nations Human Settlement Programme (UN Habitat) dan WHO telah mengeluarkan buku panduan Integrating Health in Urban and Territorial Planning (Mei, 2020). Buku ini dapat menjadi rujukan semua pemangku kepentingan untuk menerapkan kota sehat sesuai protokol kesehatan yang diselaraskan dengan kondisi tiap kota/kabupaten di Indonesia.
Kota sehat harus berkelanjutan. Pembangunan kota harus berkelanjutan dengan prinsip memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi mendatang (Brundtland, 1987). Hal ini selaras Peraturan Presiden Nomor 59/2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Pembangunan Berkelanjutan untuk mewujudkan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Pembangunan kota berbasis tiga pilar, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Pengutamaan dan pengintegrasian isu pembangunan berkelanjutan, perubahan iklim, dan mitigasi bencana/pandemi masuk ke dalam rencana pembangunan jangka menengah, rencana kerja perangkat daerah, dan rencana anggaran pendapatan belanja daerah.
Penataan konsentrasi hunian dan pembangunan kawasan terpadu, mengelola pertumbuhan urban, dan memastikan pertumbuhan berkelanjutan terpenuhi adalah tantangan nyata yang harus dihadapi dan diselesaikan para pengambil kebijakan perkotaan.
Kota menyediakan akses layanan paling dasar, perumahan terjangkau dan lingkungan sehat, serta urbanisasi yang inklusif dan berkelanjutan. Kota dirancang lebih tangguh ketika bencana/pandemi tiba, kota mampu mengantisipasi, melakukan mitigasi, dan cepat beradaptasi.
Perencanaan kota harus berwawasan luas dan komprehensif, serta menciptakan koalisi lebih kuat menghadapi bencana/pandemi. Perencanaan kota terintegrasi dengan perekonomian sekitar, pasokan air bersih dan gas, penyediaan listrik dan energi terbarukan, transportasi terpadu, jaringan internet, ketahanan pertanian dan pangan sebagai pilar ketangguhan kota.
Kota dirancang untuk memperkuat kesehatan dan kualitas hidup penghuni kota. Pemerintah harus responsif, pihak swasta turut bertanggung jawab, dan sesama anggota masyarakat saling berempati. Pertumbuhan ekonomi kota memberi kesejahteraan dan keadilan sosial bagi masyarakat. Kota menyediakan layanan dasar kota, seperti administrasi kependudukan, fasilitas kesehatan, akses pendidikan, dan ketersediaan hunian layak.
Peremajaan kawasan padat penduduk dan kampung kumuh harus menjadi program prioritas pembangunan kota di era kebiasaan baru. Pemerintah dapat melakukan pemugaran rumah sehat, peremajaan kawasan padat/kumuh, atau pemukiman kembali. Hunian vertikal akan mengurangi kepadatan kawasan; tempat tinggal lebih lega, layak huni, dan sehat; terjamin air bersih, listrik, gas, internet untuk mendukung belajar dan bekerja di rumah.
Setiap individu, keluarga, dan masyarakat mulai terbiasa belajar, bekerja, dan beribadah di rumah. Rumah, perumahan, dan permukiman yang sehat menjadi fokus utama adaptasi kebiasaan baru berkota. Rencana pembangunan infrastruktur perumahan harus didukung pengembangan infrastruktur digital (jaringan internet kuat, murah/gratis), pasokan listrik memadai (hemat, murah, energi terbarukan), serta utilitas (gas, air bersih, air limbah, sampah), serta lingkungan bersih dan sehat.
Normal baru seperti jaga jarak fisik di ruang publik (transportasi massal, pasar, kantor), keluar rumah jika perlu saja dengan syarat ketat wajib memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, serta pola hidup bersih dan sehat harus menjadi nyawa baru adaptasi kebiasaan baru berkota. Warga didorong berjalan kaki atau bersepeda menuju ke tempat tujuan, sekaligus melakukan olahraga ringan sehingga kesehatan daya tahan tubuh tetap terjaga bugar sebagai bagian dari menahan serangan Covid-19.
Pada akhirnya, kota harus menyehatkan dan menyejahterakan warganya. Kota memberikan peningkatan kualitas dan kelayakan hidup untuk menaikkan harapan hidup, memudahkan akses ke fasilitas layanan kesehatan guna mengurangi risiko kematian, serta membentuk masyarakat agar hidup sehat dan panjang umur.
Pusat Studi Perkotaan
PANDEMI Covid-19 yang belum berakhir telah mengubah banyak pola dan tata kehidupan kota kita, termasuk perubahan sosial budaya, perekonomian kota, kelestarian lingkungan, serta memaksa kota beradaptasi sejak pandemi, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), PSBB transisi, hingga memasuki normal baru.
Pandemi Covid-19 harus mampu menyadarkan kita bagaimana merencanakan, merancang, membangun, mengelola, dan mengevaluasi kota yang cepat tanggap dan bisa mengantisipasi kemungkinan krisis pandemi di masa depan. Kota yang beradaptasi mengikuti protokol kesehatan. Kota dan kita perlu menata ulang pola hidup berkota, berhuni, serta relasi sosial budaya masyarakat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendorong penataan ulang rencana tata ruang kota sesuai norma dan tata kehidupan normal baru, kota sehat. Kota sehat laksana organisme hidup kompleks, bernapas, bertumbuh, dan terus berubah, mengembangkan sumber daya alam dan manusia, sehingga warga saling mendukung dalam memaksimalkan potensi kota.
United Nations Human Settlement Programme (UN Habitat) dan WHO telah mengeluarkan buku panduan Integrating Health in Urban and Territorial Planning (Mei, 2020). Buku ini dapat menjadi rujukan semua pemangku kepentingan untuk menerapkan kota sehat sesuai protokol kesehatan yang diselaraskan dengan kondisi tiap kota/kabupaten di Indonesia.
Kota sehat harus berkelanjutan. Pembangunan kota harus berkelanjutan dengan prinsip memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi mendatang (Brundtland, 1987). Hal ini selaras Peraturan Presiden Nomor 59/2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Pembangunan Berkelanjutan untuk mewujudkan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Pembangunan kota berbasis tiga pilar, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Pengutamaan dan pengintegrasian isu pembangunan berkelanjutan, perubahan iklim, dan mitigasi bencana/pandemi masuk ke dalam rencana pembangunan jangka menengah, rencana kerja perangkat daerah, dan rencana anggaran pendapatan belanja daerah.
Penataan konsentrasi hunian dan pembangunan kawasan terpadu, mengelola pertumbuhan urban, dan memastikan pertumbuhan berkelanjutan terpenuhi adalah tantangan nyata yang harus dihadapi dan diselesaikan para pengambil kebijakan perkotaan.
Kota menyediakan akses layanan paling dasar, perumahan terjangkau dan lingkungan sehat, serta urbanisasi yang inklusif dan berkelanjutan. Kota dirancang lebih tangguh ketika bencana/pandemi tiba, kota mampu mengantisipasi, melakukan mitigasi, dan cepat beradaptasi.
Perencanaan kota harus berwawasan luas dan komprehensif, serta menciptakan koalisi lebih kuat menghadapi bencana/pandemi. Perencanaan kota terintegrasi dengan perekonomian sekitar, pasokan air bersih dan gas, penyediaan listrik dan energi terbarukan, transportasi terpadu, jaringan internet, ketahanan pertanian dan pangan sebagai pilar ketangguhan kota.
Kota dirancang untuk memperkuat kesehatan dan kualitas hidup penghuni kota. Pemerintah harus responsif, pihak swasta turut bertanggung jawab, dan sesama anggota masyarakat saling berempati. Pertumbuhan ekonomi kota memberi kesejahteraan dan keadilan sosial bagi masyarakat. Kota menyediakan layanan dasar kota, seperti administrasi kependudukan, fasilitas kesehatan, akses pendidikan, dan ketersediaan hunian layak.
Peremajaan kawasan padat penduduk dan kampung kumuh harus menjadi program prioritas pembangunan kota di era kebiasaan baru. Pemerintah dapat melakukan pemugaran rumah sehat, peremajaan kawasan padat/kumuh, atau pemukiman kembali. Hunian vertikal akan mengurangi kepadatan kawasan; tempat tinggal lebih lega, layak huni, dan sehat; terjamin air bersih, listrik, gas, internet untuk mendukung belajar dan bekerja di rumah.
Setiap individu, keluarga, dan masyarakat mulai terbiasa belajar, bekerja, dan beribadah di rumah. Rumah, perumahan, dan permukiman yang sehat menjadi fokus utama adaptasi kebiasaan baru berkota. Rencana pembangunan infrastruktur perumahan harus didukung pengembangan infrastruktur digital (jaringan internet kuat, murah/gratis), pasokan listrik memadai (hemat, murah, energi terbarukan), serta utilitas (gas, air bersih, air limbah, sampah), serta lingkungan bersih dan sehat.
Normal baru seperti jaga jarak fisik di ruang publik (transportasi massal, pasar, kantor), keluar rumah jika perlu saja dengan syarat ketat wajib memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, serta pola hidup bersih dan sehat harus menjadi nyawa baru adaptasi kebiasaan baru berkota. Warga didorong berjalan kaki atau bersepeda menuju ke tempat tujuan, sekaligus melakukan olahraga ringan sehingga kesehatan daya tahan tubuh tetap terjaga bugar sebagai bagian dari menahan serangan Covid-19.
Pada akhirnya, kota harus menyehatkan dan menyejahterakan warganya. Kota memberikan peningkatan kualitas dan kelayakan hidup untuk menaikkan harapan hidup, memudahkan akses ke fasilitas layanan kesehatan guna mengurangi risiko kematian, serta membentuk masyarakat agar hidup sehat dan panjang umur.
(ras)