Antara Publikasi dan Privasi

Senin, 20 Maret 2023 - 11:59 WIB
loading...
A A A
Warren dan Brandeis mendefinisikan hak atas privasi sebagai “hak untuk dibiarkan sendiri” (the right to be let alone). Definisi mereka didasarkan pada kehormatan pribadi dan nilai‐nilai seperti martabat individu, otonomi, dan kemandirian pribadi. Gagasan ini kemudian mendapatkan pengakuan dengan adanya beberapa gugatan hukum yang kemudian memberikan pembenaran tentang perlunya perlindungan hak atas privasi, terutama dengan sandaran alasan moralitas.

Konon, gagasan dua orang pengacara Boston ini sebenarnya berangkat dari ide yang dicetuskan oleh hakim Thomas Cooley, yang menulis Treatise on the Law of Torts (1880), yang memperkenalkan pertama kali istilah “hak untuk dibiarkan sendiri” tadi.

Di Amerika Serikat, negara bagian pertama yang menghadapi sengketa adanya hak privasi adalah New York dalam kasus Robertson versus Rochester Folding-Box Co. Tetapi pengadilan saat itu menolak keberadaan hak semacam itu karena memang belum diatur dalam konstitusi.

Baru kemudian badan legislatif New York memberlakukan undang-undang yang menjadikannya sebagai pelanggaran ringan, misalnya dalam hal pelanggaran untuk menggunakan nama, potret, atau gambar seseorang untuk tujuan periklanan atau perdagangan tanpa izin tertulis sebelumnya.

Tiga tahun setelah pengadilan New York menolak keberadaan hak privasi itu, pengadilan Georgia dalam kasus Pavesich versus New England Life Ins. Co. menerima argumen yang ditulis Warren-Brandeis dan mengakui hak privasi. Ini menjadi kasus hak privasi terkemuka, dan sejak saat itu satu demi satu negara bagian di Amerika Serikat mulai mengakui perlunya perlindungan privasi seseorang.

Melanjutkan konsep yang sudah dibangun oleh Warren dan Brandeis, William L. Prosser mencoba memerinci cakupan hak privasi seseorang, dengan merujuk pada empat bentuk gangguan terhadap pribadi seseorang, yakni: (a) Gangguan terhadap tindakan seseorang yang mengasingkan diri atau menyendiri, atau gangguan terhadap relasi pribadinya; (b) Pengungkapan fakta‐fakta pribadi yang memalukan secara publik; (c) Publisitas yang menempatkan seseorang secara keliru di hadapan publik; dan (d) Penguasaan tanpa izin atas kemiripan seseorang untuk keuntungan orang lain.

Selanjutnya Julie Innes (1992) mendefinisikan privasi sebagai suatu kondisi ketika seseorang memiliki kontrol atas ranah keputusan privat mereka, yang mencakup keputusan atas akses privat, informasi privat, dan tindakan privat. Lalu Solove (2008) menjelaskan bahwa konteks privasi meliputi: keluarga, tubuh, jenis kelamin, rumah, komunikasi, dan informasi pribadi seseorang.

Intinya, saat ini privasi telah menjadi hak dasar manusia yang sangat penting karena menyangkut otonomi seseorang dan telah dilindungi oleh hak asasi manusia. Maka ia menjadi salah satu cara penting untuk melindungi seseorang dari penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang, dengan cara mengurangi apa saja yang boleh diketahui orang lain..

Dalam bahasa yang lebih populer, privasi merupakan hak individu untuk mempertahankan kehidupan pribadi mereka dan mencegah akses atau pengungkapan informasi tentang diri mereka oleh orang lain. Hal ini meliputi informasi pribadi seperti identitas, data kontak, aktivitas online, dan rahasia lainnya. Privasi juga melindungi individu dari pengintaian yang tidak sah atau pengawasan oleh pihak lain.

Privasi juga sangat penting untuk menjaga kebebasan individu serta untuk mencegah penyalahgunaan informasi. Dalam era digital dan teknologi informasi saat ini, privasi telah menjadi semakin penting karena banyak informasi pribadi dapat dengan mudah ditemukan dan digunakan oleh pihak-pihak yang tidak berwenang.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1056 seconds (0.1#10.140)