PAN Usulkan Pembentukan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim
loading...
A
A
A
JAKARTA - Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) menilai perlunya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Perubahan Iklim . Hal itu nantinya sebagai payung hukum yang mengatur lebih komprehensif, terarah, dan sistematis terkait regulasi perubahan iklim.
Ketua Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay mengatakan isu soal perubahan iklim bukan hal baru lagi karena telah menjadi wacana global yang gencar dibahas dan dikembangkan sebagai salah satu tantangan global dalam forum-forum internasional tiga dasawarsa belakangan ini.
"Sekalipun para ilmuwan sudah bersepakat perubahan iklim dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu secara alami maupun tidak alami seperti aktivitas manusia. Tapi sumbangan perubahan iklim akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca yang diakibatkan oleh aktivis manusia terjadi sangat signifikan," ujarnya, Kamis (16/3/2023).
Kajian Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim atau Intergovermental Panel on Climate Change (IPPC) bahkan menegaskan aktivitas manusia sebagai pemicu utama perubahan iklim. Dampak atas aktivitas yang merusak tersebut kini dirasakan di berbagai belahan dunia.
Menurut Daulay, saat ini suhu bumi telah meningkat sekitar 0,8 derajat celcius selama abad terakhir. Peningkatan emisi gas rumah kaca dalam 50 tahun terakhir menunjukkan yang tertinggi dalam sejarah dan tingkat karbon dioksida di udara saat ini berada dalam tingkat tertinggi sepanjang sejarah, setidaknya dalam dua juta tahun.
"Peningkatan suhu global yang terjadi dalam beberapa decade terakhir turut mendongkrak jumlah bencana yang terkait dengan cuaca dan air seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan sebagainya," jelasnya.
Data Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan sebanyak 390 bencana alam yang terkait dengan perubahan iklim melanda dunia sepanjang 2021. Jumlah tersebut meningkat 5,7% dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 369 bencana alam.
"Indonesia juga menjadi negara yang berada pada posisi sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Beberapa dampak signifikan perubahan iklim antara lain meningkatnya bencana alam, turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta penyakit manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan ancaman punahnya keanekaragaman hayati," paparnya.
Dilihat dari sudut pandang kebencanaan, kata dia, peristiwa bencana alam di Indonesia menunjukkan angka yang tidak sedikit. Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terdapat 3.531 peristiwa bencana alam di Indonesia sepanjang 2022. Bencana yang paling banyak terjadi pada 2022 adalah banjir yakni 1.524 kejadian. Jumlah ini setara 43,1% dari total kejadian bencana nasional.
Ada pula 1.062 peristiwa cuaca ekstrem, 634 tanah longsor, 252 kebakaran hutan dan lahan (karhutla), 28 gempa bumi 26 gelombang pasang/abrasi, serta 4 peristiwa kekeringan. Provinsi yang paling sering mengalami bencana alam pada 2022 adalah Jawa Barat, yakni 823 kejadian.
Diikuti Jawa Tengah dan Jawa Timur masing-masing 486 dan 400 kejadian. Seluruh kejadian bencana itu membuat lebih dari 5,49 juta orang menderita dan mengungsi, 851 orang meninggal dunia, 8.726 orang luka-luka, dan 46 orang hilang.
"Fraksi PAN tidak mengingkari selama ini pemerintah telah berkomitmen dalam mengurangi dampak dari perubahan iklim. Tercatat pada 1994, Indonesia telah terlibat aktif di tingkat internasional sebagai salah satu negara peratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Protocol Kyoto," ucapnya.
Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change atau Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim.
Melalui upaya menurunkan emisi CO2, sambung Daulay, Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nation Framework Convention on Climate Change atau Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan iklim.
Bahkan, Indonesia juga telah mengeluarkan beberapa aturan terkait dengan perubahan iklim walaupun belum secara khusus dalam bentuk Undang Undang tentang Perubahan Iklim.
"Dalam UU Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) disebutkan pemerintah wajib melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Serta dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya," katanya.
Dalam konteks penggangaran APBN, Indonesia juga sudah secara eksplisit memasukkan anggaran hijau guna mendukung transformasi ekonomi Indonesia menjadi Ekonomi Hijau (Green Economy) dan Ekonomi Biru (Blue Economy).
Pemerintah juga menerbitkan aturan carbon tax, Green Bond, sesuai dengan perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2021 tentang APBN yang mendukung ekonomi hijau.
"Fraksi PAN menilai upaya yang dilakukan Indonesia selama ini sudah baik dan mengesankan. Hanya saja aturan-aturan tersebut masih terkesan sporadis, masih tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan, dan kurang komprehensif," katanya.
Dalam level perundang-undangan, termasuk peraturan pemerintah atau pemda perlu dilakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan sehingga tidak terjadi tumpang tindih pengaturannya.
Di samping itu, implementasi dari kesepakatan di tingkat internasional juga terlihat belum mampu diterjemahkan ke dalam konteks nasional, yang dapat mendukung pembangunan berkelanjutan dan mengarusutamakan prinsip rendah emisi dan resilien terhadap perubahan iklim.
Sementara itu, perlu diyakini bahwa efektivitas pengelolaan perubahan iklim juga sangat bergantung pada kebijakan dan implementasinya di semua tingkat, baik internasional, regional, nasional, dan sub nasional.
"Karena itu, Fraksi PAN mengusulkan perlunya Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Perubahan Iklim sebagai payung hukum yang mengatur lebih konprehensif, terarah, dan sistematis terkait regulasi Perubahan Iklim," tegasnya.
Salah satu rumusan penting yang ditawarkan dalam RUU tersebut, ialah bahwa konsep perencanaan, pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pengelolaan perubahan iklim akan dilaksanakan secara terpadu, yakni dilakukan dalam koordinasi suatu badan independen yang langsung berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
"Selain itu, diharapkan juga adanya sinergi dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan perubahan iklim. Dengan demikian, kebijakan perubahan iklim tidak hanya di kota besar, akan tetapi dapat ke wilayah pedalaman dan pulau-pulau kecil," terang dia.
Lebih dari itu, sebagaimana tercantum dalam RUU Pengelolaan Perubahan Iklim, di masa mendatang keterlibatan masyarakat bersama-sama dengan pemerintah dan dunia usaha dalam pengelolaan perubahan iklim merupakan suatu keharusan sebagai wujud tanggung jawab bersama dalam pembangunan.
"Fraksi PAN menilai, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perubahan iklim menjadi sangat strategis, sebab ia tidak sekadar merupakan modal sosial (social capital) dalam isu perubahan iklim, tetapi sekaligus sebagai salah satu penggerak dalam pengembangan serta pembangunan energi alternative dan terbarukan dalam rangka pengelolaan perubahan iklim," tutupnya.
Ketua Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay mengatakan isu soal perubahan iklim bukan hal baru lagi karena telah menjadi wacana global yang gencar dibahas dan dikembangkan sebagai salah satu tantangan global dalam forum-forum internasional tiga dasawarsa belakangan ini.
"Sekalipun para ilmuwan sudah bersepakat perubahan iklim dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu secara alami maupun tidak alami seperti aktivitas manusia. Tapi sumbangan perubahan iklim akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca yang diakibatkan oleh aktivis manusia terjadi sangat signifikan," ujarnya, Kamis (16/3/2023).
Kajian Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim atau Intergovermental Panel on Climate Change (IPPC) bahkan menegaskan aktivitas manusia sebagai pemicu utama perubahan iklim. Dampak atas aktivitas yang merusak tersebut kini dirasakan di berbagai belahan dunia.
Menurut Daulay, saat ini suhu bumi telah meningkat sekitar 0,8 derajat celcius selama abad terakhir. Peningkatan emisi gas rumah kaca dalam 50 tahun terakhir menunjukkan yang tertinggi dalam sejarah dan tingkat karbon dioksida di udara saat ini berada dalam tingkat tertinggi sepanjang sejarah, setidaknya dalam dua juta tahun.
"Peningkatan suhu global yang terjadi dalam beberapa decade terakhir turut mendongkrak jumlah bencana yang terkait dengan cuaca dan air seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan sebagainya," jelasnya.
Data Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan sebanyak 390 bencana alam yang terkait dengan perubahan iklim melanda dunia sepanjang 2021. Jumlah tersebut meningkat 5,7% dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 369 bencana alam.
"Indonesia juga menjadi negara yang berada pada posisi sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Beberapa dampak signifikan perubahan iklim antara lain meningkatnya bencana alam, turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta penyakit manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan ancaman punahnya keanekaragaman hayati," paparnya.
Dilihat dari sudut pandang kebencanaan, kata dia, peristiwa bencana alam di Indonesia menunjukkan angka yang tidak sedikit. Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terdapat 3.531 peristiwa bencana alam di Indonesia sepanjang 2022. Bencana yang paling banyak terjadi pada 2022 adalah banjir yakni 1.524 kejadian. Jumlah ini setara 43,1% dari total kejadian bencana nasional.
Ada pula 1.062 peristiwa cuaca ekstrem, 634 tanah longsor, 252 kebakaran hutan dan lahan (karhutla), 28 gempa bumi 26 gelombang pasang/abrasi, serta 4 peristiwa kekeringan. Provinsi yang paling sering mengalami bencana alam pada 2022 adalah Jawa Barat, yakni 823 kejadian.
Diikuti Jawa Tengah dan Jawa Timur masing-masing 486 dan 400 kejadian. Seluruh kejadian bencana itu membuat lebih dari 5,49 juta orang menderita dan mengungsi, 851 orang meninggal dunia, 8.726 orang luka-luka, dan 46 orang hilang.
"Fraksi PAN tidak mengingkari selama ini pemerintah telah berkomitmen dalam mengurangi dampak dari perubahan iklim. Tercatat pada 1994, Indonesia telah terlibat aktif di tingkat internasional sebagai salah satu negara peratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Protocol Kyoto," ucapnya.
Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change atau Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim.
Melalui upaya menurunkan emisi CO2, sambung Daulay, Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nation Framework Convention on Climate Change atau Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan iklim.
Bahkan, Indonesia juga telah mengeluarkan beberapa aturan terkait dengan perubahan iklim walaupun belum secara khusus dalam bentuk Undang Undang tentang Perubahan Iklim.
"Dalam UU Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) disebutkan pemerintah wajib melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Serta dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya," katanya.
Dalam konteks penggangaran APBN, Indonesia juga sudah secara eksplisit memasukkan anggaran hijau guna mendukung transformasi ekonomi Indonesia menjadi Ekonomi Hijau (Green Economy) dan Ekonomi Biru (Blue Economy).
Pemerintah juga menerbitkan aturan carbon tax, Green Bond, sesuai dengan perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2021 tentang APBN yang mendukung ekonomi hijau.
"Fraksi PAN menilai upaya yang dilakukan Indonesia selama ini sudah baik dan mengesankan. Hanya saja aturan-aturan tersebut masih terkesan sporadis, masih tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan, dan kurang komprehensif," katanya.
Dalam level perundang-undangan, termasuk peraturan pemerintah atau pemda perlu dilakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan sehingga tidak terjadi tumpang tindih pengaturannya.
Di samping itu, implementasi dari kesepakatan di tingkat internasional juga terlihat belum mampu diterjemahkan ke dalam konteks nasional, yang dapat mendukung pembangunan berkelanjutan dan mengarusutamakan prinsip rendah emisi dan resilien terhadap perubahan iklim.
Sementara itu, perlu diyakini bahwa efektivitas pengelolaan perubahan iklim juga sangat bergantung pada kebijakan dan implementasinya di semua tingkat, baik internasional, regional, nasional, dan sub nasional.
"Karena itu, Fraksi PAN mengusulkan perlunya Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Perubahan Iklim sebagai payung hukum yang mengatur lebih konprehensif, terarah, dan sistematis terkait regulasi Perubahan Iklim," tegasnya.
Salah satu rumusan penting yang ditawarkan dalam RUU tersebut, ialah bahwa konsep perencanaan, pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pengelolaan perubahan iklim akan dilaksanakan secara terpadu, yakni dilakukan dalam koordinasi suatu badan independen yang langsung berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
"Selain itu, diharapkan juga adanya sinergi dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan perubahan iklim. Dengan demikian, kebijakan perubahan iklim tidak hanya di kota besar, akan tetapi dapat ke wilayah pedalaman dan pulau-pulau kecil," terang dia.
Lebih dari itu, sebagaimana tercantum dalam RUU Pengelolaan Perubahan Iklim, di masa mendatang keterlibatan masyarakat bersama-sama dengan pemerintah dan dunia usaha dalam pengelolaan perubahan iklim merupakan suatu keharusan sebagai wujud tanggung jawab bersama dalam pembangunan.
"Fraksi PAN menilai, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perubahan iklim menjadi sangat strategis, sebab ia tidak sekadar merupakan modal sosial (social capital) dalam isu perubahan iklim, tetapi sekaligus sebagai salah satu penggerak dalam pengembangan serta pembangunan energi alternative dan terbarukan dalam rangka pengelolaan perubahan iklim," tutupnya.
(kri)