Penyelesaian Sengketa Partai Prima vs KPU melalui Dading
loading...
A
A
A
Ahmad Zazali
Praktisi Sosio Legal, Mediator dan Resolusi Konflik di AZ Law Office & Conflict Resolution Center
KEHEBOHAN terjadi manakala Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat memutus perkara gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) Nomor 757 yang dilayangkangkan Partai Prima kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 1 Maret 2023. Partai politik, kalangan akademisi, dan praktisi hukum pun angkat bicara mengomentari putusan tersebut dengan premis yang menyalahkan Majelis Hakim yang memutus perkara.
Media cetak, elektronik, dan media sosial juga dipenuhi dengan artikel dan konten serupa. Umumnya mempertanyakan mengapa gugatan Perdata PMH yang bersifat privat masuk ke ranah hukum publik, yaitu penundaan tahapan pemilihan umum (pemilu). Hal itu dianggap bertentangan dengan kewenangan absolut Pengadilan Negeri.
Baca Juga: koran-sindo.com
Namun demikian, sebagian pihak berpendapat bahwa putusan tersebut harus dihormati karena itu merupakan bentuk kemandirian hakim berdasarkan pertimbangan keadilan. Kelompok ini berpendapat Majelis Hakim memungkinkan untuk membuat putusan yang melampaui gugatan atau petitum dari penggugat (ultra petita).
Jika ditelisik ke belakang, perkara gugatan Partai Prima terhadap KPU ini sudah berlangsung panjang, yaitu diawali Partai Prima yang tidak menerima putusan KPU yang tidak meloloskannya pada tahap verifikasi administrasi dan faktual disebabkan tidak memenuhi syarat (TMS).
Perkara ini sudah pernah disengketakan melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), namun menemui jalan buntu pada tahap mediasi oleh Bawaslu. Akhirnya Bawaslu memutus Partai Prima untuk melengkapi kekurangan dalam jangka waktu 1 kali 24 jam. Kemudian berlanjut sengketa dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), namun ditolak.
Merasa tidak mendapat keadilan, Partai Prima mengajukan gugatan PMH ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hingga berbuah putusan yang mengabulkan semua gugatan di mana satu di antara petikan putusannya menyatakan menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.
Implikasi putusan ini menyebabkan penyelenggaraan tahapan pemilu yang sudah berjalan harus diulang, dan ini berarti penyelengaraan pemilu yang sedianya pada 15 Februari 2024 akan mundur. Implikasi lainnya, akan ada kekosongan jabatan di lembaga-lembaga negara, termasuk Presiden dan DPR RI. Penundaan pemilu juga dianggap bertentangan dengan konstitusi, karena masa jabatan presiden dalam UUD 1945 dinyatakan hanya 5 tahun dan harus dipilih kembali.
Perlawanan Hukum
Berbagai pihak mendukung upaya hukum banding yang dilakukan KPU, dengan harapan putusan PN Jakarta Pusat ini dapat di batal di tingkat Pengadilan Tinggi Jakarta. Bahkan, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) terang-terangkan mengimbau dilakukan perlawanan hukum terhadap putusan PN Jakarta Pusat ini.
Praktisi Sosio Legal, Mediator dan Resolusi Konflik di AZ Law Office & Conflict Resolution Center
KEHEBOHAN terjadi manakala Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat memutus perkara gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) Nomor 757 yang dilayangkangkan Partai Prima kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 1 Maret 2023. Partai politik, kalangan akademisi, dan praktisi hukum pun angkat bicara mengomentari putusan tersebut dengan premis yang menyalahkan Majelis Hakim yang memutus perkara.
Media cetak, elektronik, dan media sosial juga dipenuhi dengan artikel dan konten serupa. Umumnya mempertanyakan mengapa gugatan Perdata PMH yang bersifat privat masuk ke ranah hukum publik, yaitu penundaan tahapan pemilihan umum (pemilu). Hal itu dianggap bertentangan dengan kewenangan absolut Pengadilan Negeri.
Baca Juga: koran-sindo.com
Namun demikian, sebagian pihak berpendapat bahwa putusan tersebut harus dihormati karena itu merupakan bentuk kemandirian hakim berdasarkan pertimbangan keadilan. Kelompok ini berpendapat Majelis Hakim memungkinkan untuk membuat putusan yang melampaui gugatan atau petitum dari penggugat (ultra petita).
Jika ditelisik ke belakang, perkara gugatan Partai Prima terhadap KPU ini sudah berlangsung panjang, yaitu diawali Partai Prima yang tidak menerima putusan KPU yang tidak meloloskannya pada tahap verifikasi administrasi dan faktual disebabkan tidak memenuhi syarat (TMS).
Perkara ini sudah pernah disengketakan melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), namun menemui jalan buntu pada tahap mediasi oleh Bawaslu. Akhirnya Bawaslu memutus Partai Prima untuk melengkapi kekurangan dalam jangka waktu 1 kali 24 jam. Kemudian berlanjut sengketa dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), namun ditolak.
Merasa tidak mendapat keadilan, Partai Prima mengajukan gugatan PMH ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hingga berbuah putusan yang mengabulkan semua gugatan di mana satu di antara petikan putusannya menyatakan menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.
Implikasi putusan ini menyebabkan penyelenggaraan tahapan pemilu yang sudah berjalan harus diulang, dan ini berarti penyelengaraan pemilu yang sedianya pada 15 Februari 2024 akan mundur. Implikasi lainnya, akan ada kekosongan jabatan di lembaga-lembaga negara, termasuk Presiden dan DPR RI. Penundaan pemilu juga dianggap bertentangan dengan konstitusi, karena masa jabatan presiden dalam UUD 1945 dinyatakan hanya 5 tahun dan harus dipilih kembali.
Perlawanan Hukum
Berbagai pihak mendukung upaya hukum banding yang dilakukan KPU, dengan harapan putusan PN Jakarta Pusat ini dapat di batal di tingkat Pengadilan Tinggi Jakarta. Bahkan, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) terang-terangkan mengimbau dilakukan perlawanan hukum terhadap putusan PN Jakarta Pusat ini.