Mengawal Kualitas Produksi Dokter

Selasa, 07 Maret 2023 - 10:46 WIB
loading...
Mengawal Kualitas Produksi Dokter
Iqbal Mochtar (Foto: Ist)
A A A
Iqbal Mochtar
Pengurus PB IDI dan PP IAKMI

SEKOLAH dokter itu ribet. Lama dan perjalanannya kompleks. Ketika telah menjadi dokter, income-nya pun belum tentu tinggi. Herannya, orang tetap berjubel mendaftar ke fakultas kedokteran (FK). Di Universitas Gadjah Mada (UGM), dari 3.600 peminat Fakultas Kedokteran lewat SBMPTN, yang diterima cuma 50-70-an.

Pihak yang benaknya dipenuhi “business minded” pun tergiur melihat peluang ini. Ada demand yang besar menjadi dokter. Maka ramai-ramai mereka berjibaku membuka fakultas kedokteran.

Sekarang, di mana-mana FK dibuka. Bahkan pada universitas atau institusi yang berorientasi sangat teknis sekalipun. Terakhir, IPB dan ITS dalam proses pembukaan FK. Padahal, misi institusi ini adalah fokus ke bidang teknisnya untuk mencapai excellence in specific field. Sekarang harapan ini buyar. Excellence in specific field ini sudah berubah menjadi excelence in generalist: yang spesialis jadi generalis.

Baca Juga: koran-sindo.com

Herannya, pemerintah adem-adem saja dengan fenomena ini. Bahkan mereka juga ikut mengubah haluan. Empat tahun lalu, Kementerian Kesehatan mengeluarkan kebijakan bahwa jumlah dokter Indonesia sudah sangat berlebih dan harus dikurangi. Produksi dokter yang 11.000 per tahun harus dibabat menjadi cukup 2.000 per tahun.

Entah mengapa, empat tahun kemudian kebijakan berubah. Menteri kesehatan baru bilang dokter Indonesia jumlahnya kurang. Harus ditambah 130.000-160.000 dokter lagi. Alasannya, rasio dokter kita tidak memenuhi rasio standar WHO. Padahal, WHO tidak pernah mengeluarkan rasio standar demikian. Lebih aneh lagi, bagaimana bisa sebuah kebijakan nasional berubah demikian cepat? Tapi itulah negeri ini. Semua bisa berubah dalam hitungan sesaat.

Akibat pernyataan pemerintah bahwa jumlah dokter kurang, para pelaku bisnis semakin mendapat angin segar. Narasi ini merupakan kesempatan buat lahan bisnis baru. Berebutanlah mereka membuka FK. Alhasil, bertebaranlah FK di negeri ini. Saat ini sudah terdapat 92 FK; bertambah 17 FK dibanding 6 tahun lalu. Jumlah ini kemungkinan besar akan bertambah lebih banyak lagi.

Sepertinya universitas sekarang memiliki beban psikologis: belum merasa hebat kalau tidak punya FK. Ironisnya, hingga beberapa waktu lalu FK yang terakreditasi A baru 27. Sekitar 25% FK masih berakreditasi C. Akreditasi C artinya nilai evaluasinya antara 200-300. Ini sudah dekat-dekat tidak terakreditasi. Nilai di bawah 200 sudah tergolong non-accredited.

Memproduksi dokter itu tidak mudah. Sama tidak mudahnya memproduksi pilot. Ada persyaratan sangat ketat; ada quality assurance. Alasannnya, kedua bidang ini terkait langsung nyawa manusia. Kalau pilot pelatihannya tidak adekuat, bisa-bisa pesawatnya crash. Dokter pun demikian: kalau pendidikannya tidak adekuat, pasien bisa terancam keselamatannya. Untuk memproduksi dokter banyak syaratnya.

Syarat-syarat ini tercantum jelas dalam berbagai aturan, seperti Permenkes Nomor 53/2017 tentang Standar Pendidikan Dokter, Permendikbud Nomor 49/2014 tentang Standar Pendidikan Nasional, Permenristek Nomor 44/2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Secara kasar, syarat pentingnya adalah mahasiswanya harus pintar dan punya mental baja; tidak bisa setengah hati dan mental kerupuk.

Mereka harus dididik oleh tenaga pendidik yang berkualitas serta memiliki jam terbang tinggi. Mereka harus bekerja di rumah sakit yang memiliki alat standar dan fasilitas pendukung yang memadai. Kurikulm yang ada mengharuskan mereka untuk pernah berinteraksi dan merawat sejumlah tertentu pasien, termasuk melakukan sejumlah tindakan medis dengan benar. Ini yang disebut sebagai kompetensi dan semua hal ini tercatat di log book mereka. Mereka hanya bisa lulus bila semua syarat kompetensi ini terpenuhi.

Artinya apa? Sebelum ujug-ujug menggenjot jumlah dokter, terlebih dulu harus disiapkan fasilitas, struktur, dan infrastruktur yang memadai. Apalagi pendidikan kedokteran ke depan sangat challenging; calon dokter akan berhadapan dengan dunia digital dan artificial intelligence yang makin kompleks dan luas. Mereka harus bisa menghadapi tantangan tersebut.

Makanya, mahasiswa yang diterima harus diseleksi dengan baik. Mereka harus memiliki kematangan kognitif dan emosional. Di Amerika, sebelum masuk FK mahasiswa harus terlebih dulu punya gelar sarjana di bidang lain. Di Australia, sebelum masuk FK mahasiswa harus menjalani bridging program tertentu.

Jadi, bukan seleksi seadanya. institusi harus punya tenaga didik yang mumpuni, pengalaman, dan terakreditasi. Jumlahnya pun harus cukup karena terkait pemenuhan rasio tenaga pendidik terhadap mahasiswa. Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi menetapkan standar rasio minimal 1:10. Artinya, minimal harus ada satu pendidik qualified untuk membimbing 10 mahasiswa kedokteran.

Bila jumlah dokter ingin digenjot, apakah kebutuhan standar pendidik ini telah cukup? Pendidikan kedokteran juga membutuhkan tempat pendidikan standar, termasuk rumah sakit terakreditasi. Apakah fasilitas ini telah tersedia dan memenuhi untuk akselerasi jumlah dokter?

Jangan sampai terjadi satu rumah sakit atau satu bangsal dipenuhi calon dokter yang berebutan lihat pasien. Rumah sakit juga harus punya alat standar. Calon dokter mesti tahu secara sederhana pemeriksaan laboratorium, X-ray, USG, CT scan, dan sebagainya. Apakah semua fasilitas ini tersedia? Jangan sampai terjadi seorang telah menjadi dokter tetapi belum pernah lihat atau pegang alat USG atau CT scan.

Selain itu, calon dokter pun harus pernah merawat sejumlah pasien tertentu. Jangan sampai terjadi satu pasien dikerubuti 10-20 mahasiswa sekadar untuk anamnesis. Atau jangan sampai mahasiswa berebutan melakukan tindakan medis pada satu pasien. Banyak lagi aspek yang harus dihitung. Semua ini harus disiapkan secara matang sebelum menggenjot produksi dokter.

Bila ini tidak disiapkan dengan baik, akan banyak terproduksi dokter yang tidak memenuhi standar kompetensi. Beberapa waktu lalu saja sekitar 2.500-an dokter tidak lulus ujian kompetensi standar. Salah satu penyebab utamanya adalah proses pendidikan yang tidak adekuat.

Memproduksi dokter itu tidak sama dengan memproduksi komoditas. Tidak sama dengan membeli kacang di toko. Adanya demand besar dari peminat bukan alasan untuk menggenjot seenaknya jumlah dokter. Bila ini terjadi, artinya produksi dokter hanya dipicu oleh persoalan bisnis. Dokter dianggap komoditas bisnis.

Ada standar dan aturan ketat yang tidak boleh dilanggar dalam produksi dokter. Produksi mesti berbarengan dengan kualitas dan kompetensi. Dokter tidak hanya diproduksi dengan jumlah seenaknya, tetapi mesti diproduksi dengan kualitas dan kompetensi yang baik. Prinsip ini tidak bisa ditawar-tawar.

Sekali lagi, nyawa manusia taruhannya. Bila produksinya asal-asalan, risiko seriusnya nanti dirasakan masyarakat. Jangan-jangan ada pasien yang perlu mendapat suntikan intramuscular, namun yang diberikan suntikan intravenous. Akhirnya pasien bukan sembuh, tetapi justru kolaps total.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2152 seconds (0.1#10.140)