Perlu Kajian Ilmiah Sebelum Membuat Regulasi Zat Kimia Berbahaya pada Kemasan Pangan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kajian ilmiah harus dilakukan terlebih dahulu sebelum menyatakan zat kimia di dalam kemasan pangan berbahaya atau tidak bagi kesehatan. Selain itu, juga dibutuhkan pandangan pakar di bidangnya terkait potensi bahaya zat tersebut.
Hal ini disampaikan Pakar Hukum dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI) Ima Mayasari merespons kebijakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait pelabelan 'Berpotensi Mengandung BPA' pada galon guna ulang. Baca juga:
"Dalam konteks kesehatan itu harus ada kajian ilmiah terlebih dahulu dengan potensi bahaya dari zat-zat tersebut. Dalam konteks ini kan perlu dilakukan kajian terlebih dahulu untuk mengetahui dari faktor resikonya," ujar Ima Mayasari, Rabu (1/3/2023).
Setelah dilakukan kajian dan penelitian, kata Ima, hasilnya kemudian dicocokkan, apakah sudah ada aturannya atau belum. Jika dampaknya berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan belum ada pengaturannya, maka harus ditindaklanjuti dengan regulasi.
"Jadi harus dilakukan kajian dan meminta pandangan-pandangan dari para ahli untuk mencari literatur-literatur terlebih dahulu sebelum melakukan kajian ilmiah," katanya.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Prof Ningrum Natasya Sirait sebelumnya meminta agar regulator tidak hanya membuat kebijakan dengan melihat sisi kesehatan tapi harus juga memperhatikan dampaknya terhadap potensi terjadinya persaingan usaha. Dalam hal kebijakan BPOM, itu harus merujuk kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang sudah diubah ke UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pakar Hukum Persaingan Usaha ini menjelaskan dalam merevisi atau membuat sebuah kebijakannya, BPOM harus melakukannya berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan serta memiliki kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.
Selain itu, materi muatannya juga harus mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, Bhinneka Tunggal Ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
"Jadi, membuat peraturan itu nggak bisa sembarangan. Ada naskah akademiknya, ada penelitiannya, dengar pendapatnya, tidak gampanglah pokoknya," kata Ningrum.
Dalam persaingan usaha itu ada yang namanya natural barrier to entry dan artificial barrier to entry. Natural barier to entry harus dipenuhi oleh para pelaku usaha sesuai dengan kebutuhan industri. Namun yang artificial barier suka sekali ada regulasi yang menjadikan orang ada beban untuk dia masuk ke dalam satu pasar.
Hal ini disampaikan Pakar Hukum dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI) Ima Mayasari merespons kebijakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait pelabelan 'Berpotensi Mengandung BPA' pada galon guna ulang. Baca juga:
"Dalam konteks kesehatan itu harus ada kajian ilmiah terlebih dahulu dengan potensi bahaya dari zat-zat tersebut. Dalam konteks ini kan perlu dilakukan kajian terlebih dahulu untuk mengetahui dari faktor resikonya," ujar Ima Mayasari, Rabu (1/3/2023).
Setelah dilakukan kajian dan penelitian, kata Ima, hasilnya kemudian dicocokkan, apakah sudah ada aturannya atau belum. Jika dampaknya berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan belum ada pengaturannya, maka harus ditindaklanjuti dengan regulasi.
"Jadi harus dilakukan kajian dan meminta pandangan-pandangan dari para ahli untuk mencari literatur-literatur terlebih dahulu sebelum melakukan kajian ilmiah," katanya.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Prof Ningrum Natasya Sirait sebelumnya meminta agar regulator tidak hanya membuat kebijakan dengan melihat sisi kesehatan tapi harus juga memperhatikan dampaknya terhadap potensi terjadinya persaingan usaha. Dalam hal kebijakan BPOM, itu harus merujuk kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang sudah diubah ke UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pakar Hukum Persaingan Usaha ini menjelaskan dalam merevisi atau membuat sebuah kebijakannya, BPOM harus melakukannya berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan serta memiliki kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.
Selain itu, materi muatannya juga harus mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, Bhinneka Tunggal Ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
"Jadi, membuat peraturan itu nggak bisa sembarangan. Ada naskah akademiknya, ada penelitiannya, dengar pendapatnya, tidak gampanglah pokoknya," kata Ningrum.
Dalam persaingan usaha itu ada yang namanya natural barrier to entry dan artificial barrier to entry. Natural barier to entry harus dipenuhi oleh para pelaku usaha sesuai dengan kebutuhan industri. Namun yang artificial barier suka sekali ada regulasi yang menjadikan orang ada beban untuk dia masuk ke dalam satu pasar.