Respons KPU Terkait MK Putuskan Eks Napi Bisa Nyaleg DPD
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) memberikan tanggapannya terkait Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan soal mantan narapidana bisa maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) DPD. Gugatan itu dikabulkan saat sidang putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (28/2/2023).
Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengatakan, putusan tersebut sejalan dengan putusan MK yang sebelumnya tentang substansi norma syarat setara bagi calon kepala daerah, Anggota DPR dan, DPRD dan DPD.
"Bahwa syarat calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota yang pernah terkena putusan pidana dengan ancaman lima tahun atau lebih, baru dapat mencalonkan diri bila telah selesai menjalani pidana (mantan terpidana), atau lazim dikenal dengan sebutan bebas murni, dan telah melampaui jeda lima tahun sejak bebas murni," jelasnya.
Baca juga: Soal Putusan MK Mantan Napi Nyaleg, KPU Konsultasi dengan DPR
Dengan demikian, kata dia, hal itu memudahkan KPU dalam merumuskan norma dalam PKPU Pencalonan Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Katanya, pencalonan legislatif DPD akan dilakukan pada awal Mei 2023 mendatang.
"Karena berdasarkan Putusan MK tersebut dan Putusan terdahulu terdapat perlakuan setara," ucapnya.
Sebelumnya diberitakan, MK mengabulkan permohonan gugatan Pasal 182 huruf g Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Gugatan itu, ditujukan untuk melarang eks narapidana maju sebagai caleg DPD.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman saat bacakan amar putusan, Selasa (28/2/2023).
Kendati demikian, Anwar menyatakan, norma Pasal 182 huruf g UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak mempunyai hukum tetap.
Hanya saja MK menyatakan, seorang eks narapidana masih bisa maju untuk nyaleg DPD sepanjang memenuhi persyaratan Pasal 181 UU Pemilu. Salah satunya, bukan sebagai mantan narapidana yang dihukum bui 5 tahun penjara.
"Kecuali terhadap terpidana yang melakukan tidak pidana kealpaan dan tidak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai oandangan politik yang berbeda dengam rezim yang sedang berkuasa," tutur Anwar.
Kedua kata Anwar, mantan narapidana yang telah selesai melewati massa hukuman dalam jangka waktu 5 tahun atau telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Selain itu, bavu eks narapidana yang ingin maju wajib mengumumkan latar belakang serta jati dirinya sebagai mantan terpidana.
"Ketiga, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang," terang Anwar.
Sebagai informasi, perkara gugatan itu tercatat di MK dengan nomor 12/PUU/XXI/2023. Adapun pemohonnya dilakukan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustiyanti dan peneliti Perludem Irmalidarti.
Pada pokoknya, perkara ini diajukan lantaran ada pemberlakuan norma yang berbeda, khususnya antara persyaratan pencalonan anggota DPR/DPRD dengan DPD.
Persyaratan pencalonan anggota DPR/DPRD mengharuskan mantan terpidana melewati masa lima tahun setelah menjalani pidana penjara sebelum mencalonkan diri. Namun, norma persyaratan pencalonan bagi calon anggota DPD berbeda, sebagaimana diatur dalam Pasal 182 huruf g UU Pemilu.
Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengatakan, putusan tersebut sejalan dengan putusan MK yang sebelumnya tentang substansi norma syarat setara bagi calon kepala daerah, Anggota DPR dan, DPRD dan DPD.
"Bahwa syarat calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota yang pernah terkena putusan pidana dengan ancaman lima tahun atau lebih, baru dapat mencalonkan diri bila telah selesai menjalani pidana (mantan terpidana), atau lazim dikenal dengan sebutan bebas murni, dan telah melampaui jeda lima tahun sejak bebas murni," jelasnya.
Baca juga: Soal Putusan MK Mantan Napi Nyaleg, KPU Konsultasi dengan DPR
Dengan demikian, kata dia, hal itu memudahkan KPU dalam merumuskan norma dalam PKPU Pencalonan Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Katanya, pencalonan legislatif DPD akan dilakukan pada awal Mei 2023 mendatang.
"Karena berdasarkan Putusan MK tersebut dan Putusan terdahulu terdapat perlakuan setara," ucapnya.
Sebelumnya diberitakan, MK mengabulkan permohonan gugatan Pasal 182 huruf g Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Gugatan itu, ditujukan untuk melarang eks narapidana maju sebagai caleg DPD.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman saat bacakan amar putusan, Selasa (28/2/2023).
Kendati demikian, Anwar menyatakan, norma Pasal 182 huruf g UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak mempunyai hukum tetap.
Hanya saja MK menyatakan, seorang eks narapidana masih bisa maju untuk nyaleg DPD sepanjang memenuhi persyaratan Pasal 181 UU Pemilu. Salah satunya, bukan sebagai mantan narapidana yang dihukum bui 5 tahun penjara.
"Kecuali terhadap terpidana yang melakukan tidak pidana kealpaan dan tidak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai oandangan politik yang berbeda dengam rezim yang sedang berkuasa," tutur Anwar.
Kedua kata Anwar, mantan narapidana yang telah selesai melewati massa hukuman dalam jangka waktu 5 tahun atau telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Selain itu, bavu eks narapidana yang ingin maju wajib mengumumkan latar belakang serta jati dirinya sebagai mantan terpidana.
"Ketiga, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang," terang Anwar.
Sebagai informasi, perkara gugatan itu tercatat di MK dengan nomor 12/PUU/XXI/2023. Adapun pemohonnya dilakukan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustiyanti dan peneliti Perludem Irmalidarti.
Pada pokoknya, perkara ini diajukan lantaran ada pemberlakuan norma yang berbeda, khususnya antara persyaratan pencalonan anggota DPR/DPRD dengan DPD.
Persyaratan pencalonan anggota DPR/DPRD mengharuskan mantan terpidana melewati masa lima tahun setelah menjalani pidana penjara sebelum mencalonkan diri. Namun, norma persyaratan pencalonan bagi calon anggota DPD berbeda, sebagaimana diatur dalam Pasal 182 huruf g UU Pemilu.
(maf)