Menyoal Perilaku Hedonis Pejabat Publik
loading...
A
A
A
Oman Sukmana
Guru Besar Sosiologi, Ketua Prodi S2 dan S3 Sosiologi dan Dosen Prodi Kesejahteraan Sosial FISIP-Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
BEBERAPA hari ini, publik dihebohkan oleh berita tentang peristiwa penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo alias MDS (20) seorang anak salah satu pejabat di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kepolisian Resort (Polres) Jakarta Selatan telah menetapkan Mario Dandy Satriyo sebagai tersangka kasus penganiayaan.
Mario Dandy Satriyo ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka setelah menganiaya David alias CDO anak seorang pengurus GP Ansor. Hingga saat ini David dikabarkan masih di rawat di Rumah Sakit Medika Jakarta Selatan.
Kasus tindakan kekerasan yang dilakukan Mario Dandy Satriyo ini ternyata menimbulkan efek domino. Ibarat peribahasa “Anak polah bapak kepradah”. Dalam bahasa Indonesia berarti tingkah laku anak baik atau buruk mempunyai imbas bagi orang tua. Ini mengandung makna bahwa seorang ayah menanggung malu akibat perbuatan yang telah dilakukan oleh anak kandungnya sendiri.
Maka tak ayal orang tua Mario Dandy Satriyo, yakni Rafael Alun Trisambodo harus menelan pil pahit dicopot dari jabatannya yang berujung pengunduran dirinya sebagai aparatur sipil negara (ASN) Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.
Membuka Kotak Pandora
Mencuatnya kasus kekerasan Mario Dandy Satriyo ini, ternyata menjadi pembuka kotak Pandora atas kejanggalan jumlah harta kekayaan pribadi dan perilaku hedonis di kalangan pejabat DJP Kementerian Keungan (Kemenkeu). Menteri Keuangan Sri Mulyani telah meminta agar DJP mengusut kewajaran harta kekayaan Rafael Alun Trisambodo.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa para pejabat di lingkungan DJP memiliki harta kekayaan yang cukup fantastis. Oleh karena itu dimungkinkan pengusutan atas harta kekayaan tidak wajar Rafael Alun Trisambodo ini menjadi pintu masuk bagi pemeriksaan harta kekayaan pejabat DJP yang lainnya.
Dalam perspektif filsafat, hedonisme dapat diartikan suatu pandangan hidup yang beranggapan setiap individu dikatakan bahagia dengan cara mencari kebahagiaan sebanyak-banyaknya dan selalu menghindari suatu perasaan-perasaan yang dapat berakibat menyakitkan (Dwiatnto, 2022). Gaya hidup hedonis pejabat merujuk pada perilaku atau kebiasaan pejabat yang cenderung mencari kesenangan dan kepuasan diri melalui aktivitas yang mahal dan mewah.
Beberapa ciri-ciri gaya hidup hedonis pejabat antara lain: pertama, menghabiskan uang untuk hal-hal mewah. Pejabat yang memiliki gaya hidup hedonis sering menghabiskan uang untuk barang-barang mewah seperti mobil, rumah, perhiasan, dan barang-barang mewah lainnya. Kedua, berlibur ke tempat-tempat mewah.
Pejabat yang memiliki gaya hidup hedonis sering berlibur ke tempat-tempat yang mewah seperti resort bintang lima atau hotel-hotel mewah. Ketiga, mengabaikan tanggung jawab pekerjaan. Pejabat bergaya hidup hedonis sering mengabaikan tanggung jawab pekerjaan karena lebih fokus pada kesenangan pribadi.
Gaya hidup hedonis pejabat dapat berdampak buruk pada citra pejabat itu sendiri dan institusi yang diwakilinya. Selain itu, perilaku hedonis yang berlebihan juga dapat menghabiskan sumber daya yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik.
Oleh karena itu, sebaiknya pejabat lebih berfokus pada tanggung jawab dan kinerjanya dalam melayani masyarakat daripada mencari kesenangan dan kepuasan diri yang berlebihan.
Menurunkan “Social Trust”
Kita menyadari bahwa untuk membiayai pembangunan Indonesia dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat masih tergantung pada sumber pajak. Dilansir dari berita situs kemenkeu.go.id (Jumat, 29 September 2022), pemerintah menargetkan pendapatan negara dalam APBN tahun 2023 sebesar Rp2.463,0 triliun, yang bersumber dari Penerimaan Perpajakan sebesar Rp2.021,2 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp441,4 triliun.
Kebijakan penerimaan perpajakan tahun 2023 diarahkan untuk optimalisasi pendapatan negara yang mendukung transformasi ekonomi dan upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 dengan memastikan implementasi reformasi perpajakan berjalan efektif dalam rangka penguatan konsolidasi fiskal. Dengan demikian, adanya implementasi reformasi perpajakan akan menjaga iklim investasi, keberlanjutan dunia usaha, dan melindungi daya beli masyarakat.
Optimalisasi pendapatan akan dilakukan melalui reformasi perpajakan yang difokuskan pada perbaikan sistem perpajakan agar lebih sehat dan adil. Hal ini dilakukan melalui penggalian potensi, perluasan basis perpajakan, peningkatan kepatuhan wajib pajak, serta perbaikan tata kelola dan administrasi perpajakan melalui inovasi layanan.
Di sisi lain, pemerintah akan terus memberikan berbagai insentif perpajakan yang tepat dan terukur guna mendorong percepatan pemulihan dan peningkatan daya saing investasi nasional serta memacu transformasi ekonomi.
Namun demikian, upaya pemerintah dalam mewujudkan target penerimaan pajak 2023 bisa mengalami kendala karena menurunya social trust (kepercayaan sosial) masyarakat terhadap institusi DJP. Oleh karena itu Meteri Keuangan harus segera mengambil langkah tegas dalam membersihkan oknum-oknum pejabat di lingkungan DJP agar tidak menurunkan kepercayaan masyarakat. Sebab menurunya kepercayaan masyarakat kepada DJP akan memungkinkan untuk munculnya pembangkangan sipil untk tidak membayar pajak.
Pada dasarnya social trust adalah modal sosial dalam suatu relasi sosial. Dinyatakan oleh Francis Fukuyama (1995) dalam buku Trust : The Social Virtues and The Creations of Prosperity bahwa kondisi kesejahteraan, demokrasi dan daya saing suatu masyarakat ditentukan oleh tingkat kepercayaan antara sesama warga.
Tingkat kepercayaan bertalian dengan akar budaya, etika dan moral, yang diwujudnyatakan dalam perilaku saling bantu dan kerja sama. Keberhasilan ekonomi suatu negara bangsa setara dengan perpaduan yang harmonis antara organisasi ekonomi skala besar, korporasi yang demokratis, dan nilai budaya seperti resiprositas, tanggungjawab moral dan kepercayaan.
Dinyatakan pula oleh Dasgupta (1988) bahwa kepercayaan merupakan suatu sikap untuk memercayai individu, kelompok dan institusi dengan tingkatan tertentu yang saling berhubungan. Maka masyarakat akan mau membayar pajak jika ada fondasi social trust terhadap institusi DJP.
Guru Besar Sosiologi, Ketua Prodi S2 dan S3 Sosiologi dan Dosen Prodi Kesejahteraan Sosial FISIP-Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
BEBERAPA hari ini, publik dihebohkan oleh berita tentang peristiwa penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo alias MDS (20) seorang anak salah satu pejabat di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kepolisian Resort (Polres) Jakarta Selatan telah menetapkan Mario Dandy Satriyo sebagai tersangka kasus penganiayaan.
Mario Dandy Satriyo ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka setelah menganiaya David alias CDO anak seorang pengurus GP Ansor. Hingga saat ini David dikabarkan masih di rawat di Rumah Sakit Medika Jakarta Selatan.
Kasus tindakan kekerasan yang dilakukan Mario Dandy Satriyo ini ternyata menimbulkan efek domino. Ibarat peribahasa “Anak polah bapak kepradah”. Dalam bahasa Indonesia berarti tingkah laku anak baik atau buruk mempunyai imbas bagi orang tua. Ini mengandung makna bahwa seorang ayah menanggung malu akibat perbuatan yang telah dilakukan oleh anak kandungnya sendiri.
Maka tak ayal orang tua Mario Dandy Satriyo, yakni Rafael Alun Trisambodo harus menelan pil pahit dicopot dari jabatannya yang berujung pengunduran dirinya sebagai aparatur sipil negara (ASN) Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.
Membuka Kotak Pandora
Mencuatnya kasus kekerasan Mario Dandy Satriyo ini, ternyata menjadi pembuka kotak Pandora atas kejanggalan jumlah harta kekayaan pribadi dan perilaku hedonis di kalangan pejabat DJP Kementerian Keungan (Kemenkeu). Menteri Keuangan Sri Mulyani telah meminta agar DJP mengusut kewajaran harta kekayaan Rafael Alun Trisambodo.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa para pejabat di lingkungan DJP memiliki harta kekayaan yang cukup fantastis. Oleh karena itu dimungkinkan pengusutan atas harta kekayaan tidak wajar Rafael Alun Trisambodo ini menjadi pintu masuk bagi pemeriksaan harta kekayaan pejabat DJP yang lainnya.
Dalam perspektif filsafat, hedonisme dapat diartikan suatu pandangan hidup yang beranggapan setiap individu dikatakan bahagia dengan cara mencari kebahagiaan sebanyak-banyaknya dan selalu menghindari suatu perasaan-perasaan yang dapat berakibat menyakitkan (Dwiatnto, 2022). Gaya hidup hedonis pejabat merujuk pada perilaku atau kebiasaan pejabat yang cenderung mencari kesenangan dan kepuasan diri melalui aktivitas yang mahal dan mewah.
Beberapa ciri-ciri gaya hidup hedonis pejabat antara lain: pertama, menghabiskan uang untuk hal-hal mewah. Pejabat yang memiliki gaya hidup hedonis sering menghabiskan uang untuk barang-barang mewah seperti mobil, rumah, perhiasan, dan barang-barang mewah lainnya. Kedua, berlibur ke tempat-tempat mewah.
Pejabat yang memiliki gaya hidup hedonis sering berlibur ke tempat-tempat yang mewah seperti resort bintang lima atau hotel-hotel mewah. Ketiga, mengabaikan tanggung jawab pekerjaan. Pejabat bergaya hidup hedonis sering mengabaikan tanggung jawab pekerjaan karena lebih fokus pada kesenangan pribadi.
Gaya hidup hedonis pejabat dapat berdampak buruk pada citra pejabat itu sendiri dan institusi yang diwakilinya. Selain itu, perilaku hedonis yang berlebihan juga dapat menghabiskan sumber daya yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik.
Oleh karena itu, sebaiknya pejabat lebih berfokus pada tanggung jawab dan kinerjanya dalam melayani masyarakat daripada mencari kesenangan dan kepuasan diri yang berlebihan.
Menurunkan “Social Trust”
Kita menyadari bahwa untuk membiayai pembangunan Indonesia dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat masih tergantung pada sumber pajak. Dilansir dari berita situs kemenkeu.go.id (Jumat, 29 September 2022), pemerintah menargetkan pendapatan negara dalam APBN tahun 2023 sebesar Rp2.463,0 triliun, yang bersumber dari Penerimaan Perpajakan sebesar Rp2.021,2 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp441,4 triliun.
Kebijakan penerimaan perpajakan tahun 2023 diarahkan untuk optimalisasi pendapatan negara yang mendukung transformasi ekonomi dan upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 dengan memastikan implementasi reformasi perpajakan berjalan efektif dalam rangka penguatan konsolidasi fiskal. Dengan demikian, adanya implementasi reformasi perpajakan akan menjaga iklim investasi, keberlanjutan dunia usaha, dan melindungi daya beli masyarakat.
Optimalisasi pendapatan akan dilakukan melalui reformasi perpajakan yang difokuskan pada perbaikan sistem perpajakan agar lebih sehat dan adil. Hal ini dilakukan melalui penggalian potensi, perluasan basis perpajakan, peningkatan kepatuhan wajib pajak, serta perbaikan tata kelola dan administrasi perpajakan melalui inovasi layanan.
Di sisi lain, pemerintah akan terus memberikan berbagai insentif perpajakan yang tepat dan terukur guna mendorong percepatan pemulihan dan peningkatan daya saing investasi nasional serta memacu transformasi ekonomi.
Namun demikian, upaya pemerintah dalam mewujudkan target penerimaan pajak 2023 bisa mengalami kendala karena menurunya social trust (kepercayaan sosial) masyarakat terhadap institusi DJP. Oleh karena itu Meteri Keuangan harus segera mengambil langkah tegas dalam membersihkan oknum-oknum pejabat di lingkungan DJP agar tidak menurunkan kepercayaan masyarakat. Sebab menurunya kepercayaan masyarakat kepada DJP akan memungkinkan untuk munculnya pembangkangan sipil untk tidak membayar pajak.
Pada dasarnya social trust adalah modal sosial dalam suatu relasi sosial. Dinyatakan oleh Francis Fukuyama (1995) dalam buku Trust : The Social Virtues and The Creations of Prosperity bahwa kondisi kesejahteraan, demokrasi dan daya saing suatu masyarakat ditentukan oleh tingkat kepercayaan antara sesama warga.
Tingkat kepercayaan bertalian dengan akar budaya, etika dan moral, yang diwujudnyatakan dalam perilaku saling bantu dan kerja sama. Keberhasilan ekonomi suatu negara bangsa setara dengan perpaduan yang harmonis antara organisasi ekonomi skala besar, korporasi yang demokratis, dan nilai budaya seperti resiprositas, tanggungjawab moral dan kepercayaan.
Dinyatakan pula oleh Dasgupta (1988) bahwa kepercayaan merupakan suatu sikap untuk memercayai individu, kelompok dan institusi dengan tingkatan tertentu yang saling berhubungan. Maka masyarakat akan mau membayar pajak jika ada fondasi social trust terhadap institusi DJP.
(bmm)