Menyambut Rupiah Digital dengan Perangkat Legal
loading...
A
A
A
Saraswati Harsasi
Pemerhati dan Peneliti Hukum Fintech
UNDANG-UNDANG Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) telah resmi disahkan. Omnibus law ini mengamendemen 17 undang-undang terkait sektor keuangan agar dapat beradaptasi dengan dinamika perubahan zaman dan perkembangan teknologi yang pesat.
Satu di antara undang-undang yang diamendemen adalah UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, dengan memasukkan ketentuan mengenai rupiah digital. Menurut UU P2SK, rupiah digital adalah rupiah dalam bentuk digital yang dikeluarkan dan merupakan kewajiban moneter Bank Indonesia (BI).
Baca Juga: koran-sindo.com
Pada dasarnya rupiah digital sama dengan uang kartal rupiah (kertas dan logam yang berlaku saat ini), yang dikonversi ke bentuk digital. Fungsinya juga sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), alat tukar dan alat penyimpanan nilai.
Oleh karena itu, kehadirannya tidak memengaruhi jumlah uang beredar, nilainya pun stabil, berdenominasi sama dengan mata uang rupiah. Selain bebas risiko, rupiah digital juga dapat digunakan untuk pembayaran lintas negara.
Penerbitan rupiah digital diharapkan dapat menjaga kedaulatan rupiah pada sistem pembayaran digital. Ini karena keriuhan fenomena crypto asset seperti bitcoin dan ethereum, menimbulkan shadow banking dan bahkan shadow central banking. Perusahaan penerbit crypto asset berlaku seolah-olah sebagai bank sentral tanpa batas yurisdiksi.
Lantas apa bedanya rupiah digital dengan crypto asset? Crypto asset dibuat oleh perusahaan swasta yang tidak memiliki legitimasi mengeluarkan mata uang, tanpa jaminan kedaulatan negara. Nilainya lebih fluktuatif, seringkali dibentuk oleh ekspektasi dan rentan manipulasi. “Pengoperasiannya terdesentralisasi dan nilainya tidak stabil,” begitu kata Bill Gates.
Upaya Bank Indonesia menghadirkan rupiah digital sejalan dengan inisiatif bank sentral lain di dunia yang sedang mengeksplore Central Bank Digital Currrency (CBDC). Kristalina Georgieva, Managing Director IMF, mengatakan, “Ini adalah era di mana bank sentral menyingsingkan lengan baju dan membiasakan diri dengan bit dan byte uang digital.”
UU P2SK telah memberikan legitimasi kepada Bank Indonesia untuk mengelola rupiah digital. Meski demikian, pengaturan dalam amendemen UU Mata Uang dimaksud dipandang masih minimalis.
Instrumen vital baru dengan kompleksitas tinggi yang sangat bergantung pada kecanggihan teknologi ini perlu diatur lebih komprehensif. Jika dibandingkan dengan UU Transfer Dana yang juga mengatur pembayaran digital, ketentuan rupiah digital masih perlu dikembangkan lebih detail pada tingkat undang-undang.
Satu di antara aspek yang penting untuk diatur adalah mengenai keunikan identifikasi. Ciri khusus atau desain yang melekat pada rupiah digital belum diatur sebagaimana rupiah kertas dan logam.
Aspek resiliensi teknologi seperti pemilihan penggunaan platform, termasuk keamanan cyber, koneksi internasional, dan operasional teknologi juga perlu diatur lebih jelas. Undang-undang harus menegaskan penggunaan platform teknologi yang kompatibel, aman dan andal, apakah menggunakan teknologi blockchain atau distributed ledger, atau sistem lain, dan bagaimana syarat-syaratnya.
Perizinan dan pengawasan lembaga distribusi (wholesaler) juga perlu diatur untuk menetapkan hak, kewajiban dan larangan. Perlindungan data pribadi juga perlu ditegaskan agar pengguna mendapatkan perlindungan yang layak.
Selain itu, perlu diatur materi mengenai pencegahan kejahatan terhadap rupiah digital serta tindakan yang dilarang. Pencegahan tindak pidana pencucian uang dan terorisme juga perlu mendapatkan perhatian mengingat teknologi digital rentan disalahgunakan.
Dalam perspektif sistem hukum Lawrence M Friedman, Bank Indonesia adalah bagian dari struktur hukum, yaitu regulator yang berwenang mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Sejauh ini, Bank Indonesia telah mampu merespons dengan cepat kebutuhan masyarakat akan pembayaran digital, misalnya QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). Sebuah kontribusi yang melampaui bank sentral lain di dunia.
Respons yang cepat dan inovasi solutif ini harus diiringi dengan pengkajian hukum yang mendalam dan terus menerus guna menjamin kepastian hukum. Saat ini rupiah digital masih dalam tahap pengembangan, sehingga diharapkan pada waktunya ketentuan hukum juga akan berkembang sesuai dengan konsep final rupiah digital.
Rupiah digital harus memiliki perangkat legal yang tepat dan akurat agar dapat secara nyata berlaku efektif dan memberikan manfaat bagi masyarakat.
Pemerhati dan Peneliti Hukum Fintech
UNDANG-UNDANG Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) telah resmi disahkan. Omnibus law ini mengamendemen 17 undang-undang terkait sektor keuangan agar dapat beradaptasi dengan dinamika perubahan zaman dan perkembangan teknologi yang pesat.
Satu di antara undang-undang yang diamendemen adalah UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, dengan memasukkan ketentuan mengenai rupiah digital. Menurut UU P2SK, rupiah digital adalah rupiah dalam bentuk digital yang dikeluarkan dan merupakan kewajiban moneter Bank Indonesia (BI).
Baca Juga: koran-sindo.com
Pada dasarnya rupiah digital sama dengan uang kartal rupiah (kertas dan logam yang berlaku saat ini), yang dikonversi ke bentuk digital. Fungsinya juga sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), alat tukar dan alat penyimpanan nilai.
Oleh karena itu, kehadirannya tidak memengaruhi jumlah uang beredar, nilainya pun stabil, berdenominasi sama dengan mata uang rupiah. Selain bebas risiko, rupiah digital juga dapat digunakan untuk pembayaran lintas negara.
Penerbitan rupiah digital diharapkan dapat menjaga kedaulatan rupiah pada sistem pembayaran digital. Ini karena keriuhan fenomena crypto asset seperti bitcoin dan ethereum, menimbulkan shadow banking dan bahkan shadow central banking. Perusahaan penerbit crypto asset berlaku seolah-olah sebagai bank sentral tanpa batas yurisdiksi.
Lantas apa bedanya rupiah digital dengan crypto asset? Crypto asset dibuat oleh perusahaan swasta yang tidak memiliki legitimasi mengeluarkan mata uang, tanpa jaminan kedaulatan negara. Nilainya lebih fluktuatif, seringkali dibentuk oleh ekspektasi dan rentan manipulasi. “Pengoperasiannya terdesentralisasi dan nilainya tidak stabil,” begitu kata Bill Gates.
Upaya Bank Indonesia menghadirkan rupiah digital sejalan dengan inisiatif bank sentral lain di dunia yang sedang mengeksplore Central Bank Digital Currrency (CBDC). Kristalina Georgieva, Managing Director IMF, mengatakan, “Ini adalah era di mana bank sentral menyingsingkan lengan baju dan membiasakan diri dengan bit dan byte uang digital.”
UU P2SK telah memberikan legitimasi kepada Bank Indonesia untuk mengelola rupiah digital. Meski demikian, pengaturan dalam amendemen UU Mata Uang dimaksud dipandang masih minimalis.
Instrumen vital baru dengan kompleksitas tinggi yang sangat bergantung pada kecanggihan teknologi ini perlu diatur lebih komprehensif. Jika dibandingkan dengan UU Transfer Dana yang juga mengatur pembayaran digital, ketentuan rupiah digital masih perlu dikembangkan lebih detail pada tingkat undang-undang.
Satu di antara aspek yang penting untuk diatur adalah mengenai keunikan identifikasi. Ciri khusus atau desain yang melekat pada rupiah digital belum diatur sebagaimana rupiah kertas dan logam.
Aspek resiliensi teknologi seperti pemilihan penggunaan platform, termasuk keamanan cyber, koneksi internasional, dan operasional teknologi juga perlu diatur lebih jelas. Undang-undang harus menegaskan penggunaan platform teknologi yang kompatibel, aman dan andal, apakah menggunakan teknologi blockchain atau distributed ledger, atau sistem lain, dan bagaimana syarat-syaratnya.
Perizinan dan pengawasan lembaga distribusi (wholesaler) juga perlu diatur untuk menetapkan hak, kewajiban dan larangan. Perlindungan data pribadi juga perlu ditegaskan agar pengguna mendapatkan perlindungan yang layak.
Selain itu, perlu diatur materi mengenai pencegahan kejahatan terhadap rupiah digital serta tindakan yang dilarang. Pencegahan tindak pidana pencucian uang dan terorisme juga perlu mendapatkan perhatian mengingat teknologi digital rentan disalahgunakan.
Dalam perspektif sistem hukum Lawrence M Friedman, Bank Indonesia adalah bagian dari struktur hukum, yaitu regulator yang berwenang mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Sejauh ini, Bank Indonesia telah mampu merespons dengan cepat kebutuhan masyarakat akan pembayaran digital, misalnya QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). Sebuah kontribusi yang melampaui bank sentral lain di dunia.
Respons yang cepat dan inovasi solutif ini harus diiringi dengan pengkajian hukum yang mendalam dan terus menerus guna menjamin kepastian hukum. Saat ini rupiah digital masih dalam tahap pengembangan, sehingga diharapkan pada waktunya ketentuan hukum juga akan berkembang sesuai dengan konsep final rupiah digital.
Rupiah digital harus memiliki perangkat legal yang tepat dan akurat agar dapat secara nyata berlaku efektif dan memberikan manfaat bagi masyarakat.
(bmm)