Prinsip Show Don’t Tell (SDT) dalam Sinetron di Indonesia

Minggu, 19 Februari 2023 - 11:04 WIB
loading...
Prinsip Show Don’t...
Iwan Sulistiawan, Dosen Mata Kuliah Penulisan Kreatif STBA LIA Jakarta. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Iwan Sulistiawan
Dosen Mata Kuliah Penulisan Kreatif STBA LIA Jakarta

BEBERAPA waktu lalu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno, memberikan kabar gembira bahwa sektor parekraf Indonesia kini berada di urutan ke-3 setelah Amerika Serikat dan Korea Selatan, dalam hal memberi sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Kemajuan sektor ini tentu tak lepas dari peran para pekerja di berbagai cabang seni budaya. Sayangnya tidak semua produk seni budaya Indonesia digarap dengan sungguh-sungguh sehingga dapat semakin meningkatkan penghasilan PDB seperti disebut di atas.

Salah satu produk seni Indonesia yang masih memprihatinkan dan perlu ditingkatkan kualitasnya adalah film televisi Indonesia atau yang lebih dikenal dengan sebutan sinema elektronik (sinetron). Sinetron Indonesia memiliki banyak sekali kelemahan sehingga generasi milenial dan generasi Z Indonesia lebih banyak memilih untuk menonton film-film Korea atau Amerika.

Di antara kelemahan-kelemahan yang paling mendasar dari sinetron Indonesia adalah ketidakmampuannya untuk memberikan ruang bagi imajinasi dan intelegensia penonton, satu hal yang jadi bagian dari kenikmatan menonton atau mengikuti cerita yang tersaji di hadapan mereka.

Hal ini terutama disebabkan karena kebanyakan sinetron Indonesia mengabaikan prinsip penyajian cerita yang populer dengan istilah 'show don’t tell' atau SDT, prinsip atau gaya penyajian cerita yang juga harus dikuasai oleh penulis karya sastra, khususnya penulis cerita pendek dan novel. Prinsip atau gaya penulisan SDT mendorong para cerpenis dan novelis untuk memprioritaskan 'show' atau menunjukkan ketimbang 'tell' atau mengatakan.

Dalam penulisan cerpen atau novel, prinsip SDT dapat diterapkan di bagian apapun dari cerita yang kelak dinikmati pembacanya seperti fisik dan laku tokoh, suasana, latar tempat, waktu cerita dan lain-lain.

Saat menampilkan tokoh yang cantik, misalnya, sang penulis tidak perlu menulis semacam "Pingkan adalah perempuan yang cantik", karena ungkapan semacam ini tidak merangsang imajinasi dan konstruksi pikiran pembacanya. Akan lebih bagus jika si penulisnya menuliskannya dengan, "Saat sepasang kaki jenjang Pingkan membawa tubuhnya yang tinggi langsing bak supermodel itu masuk ke ruang besar itu, perhatian seluruh pengunjung laki-laki langsung tertuju kepadanya. Terpesona."

Atau saat menggambarkan rumah tua yang seram, penulis tidak perlu menjelaskan, "rumah itu menyeramkan bagi Jack", melainkan cukup dengan, "Jantung Jack berdegup lebih kencang saat mencoba membuka pintu rumah tua itu. Berat dan mengeluarkan bunyi derit panjang. Jack semakin ragu untuk masuk. Bulu kuduknya ia rasakan semakin berdiri."

Kalau untuk membuat cerpen atau novel yang bagus saja sebaiknya diperbanyak porsi "show" ketimbang "tell", apalagi film. Carol Whiteley (2002) bahkan menyebut bahwa film adalah puncak dari prinsip penceritaan SDT. Jadi penggambaran cantik di atas, misalnya, cukup dipilih pemeran seperti Dian Sastro atau Pevita Pearce tanpa perlu ada keterangan verbal "dia cantik". Begitu pula penggambaran rumah yang seram cukup dipilihkan rumah tua yang tak terawat, dibantu pencahayaan yang sedemikian rupa yang menambah efek horor dari rumah tersebut.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0602 seconds (0.1#10.140)