Memetakan Aspek Psikologi Terhadap Tumbuh Kembang Terorisme di Indonesia
loading...
A
A
A
Zaedi Basitturozak
Bendahara Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
DALAM rangka mematikan sel-sel terorisme di Indonesia, salah satunya diperlukan pendekatan dakwah kultural serta paradigma objektif terhadap karakteristik daerah, potensi yang dimiliki dan aspek yang memengaruhi. Terminologi dakwah kultural yang digunakan akan menyemai berbagai teknik dakwah, salah satunya "soft approach".
Keberadaan kelompok teroris sesungguhnya tidak lepas dari regenerasi yang terus dilakukan dengan merekrut anggota-anggota baru yang disiapkan menjadi martir. Mereka merekrut anggota dengan berbagai cara. Tentu saja dengan ideologisasi. Mulai dari pertemuan-pertemuan tertutup hingga propaganda publik melalui berbagai metode.
Dari siklus itulah, proses transformasi paradigmatik mereplikasi individu-individu radikal menjadi teroris beroperasi. Ada 5 siklus pra-kondisi yang mereplikasi individu radikal menjadi teroris.
Pertama, Penyusupan ideologisasi terhadap individu diinfiltrasi saat individu mencari solusi tentang apa yang dirasakan sebagai perlakuan tidak adil atau situasi yang tidak berpihak dalam hidupnya. Kedua, infiltrasi itu diinjeksi dengan mendorong individu membangun kesiapan fisik untuk memindahkan solusi atas persoalan tersebut dengan merubah individu menjadi martir.
Ketiga, setelah berjalannya materi-materi perkaderan, individu distimulus untuk mengidentifikasi dengan mengadopsi nilai-nilai moral dari kelompoknya. Keempat, bai'at atau sumpah sepenanggungan. Orang atau individu yang telah masuk ke dalam circle atau lingkaran teroris sangat kecil kemungkinan bisa keluar dari kelompok tersebut.
Setelah melalui empat siklus itulah, maka di sikulus terakhir, yaitu ke lima, maka individu secara psikologis menjadi termotivasi militansinya menjadi martir untuk melakukan kegiatan-kegiatan terorisme.
Keseimbangan antara keyakinan (yang kokoh) dengan Toleransi
Sesungguhnya, gerakan ISIS akan sulit berkembang di Indonesia. Disebabkan, ideologi ISIS tak sejalan dengan Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.
Namun demikian, Indonesia menjadi target dari tumbuh dan berkembangnya ISIS. Hal ini cukup beralasan, sebab pertama, jumlah muslim di Indonesia yang menjadi mayoritas penduduknya. Kedua, di Indonesia banyak muncul gerakan radikal, dan ketiga, beberapa WNI diduga bergabung dengan kelompok ISIS di Suriah maupun Irak.
Perkembangan terorisme global telah menunjukkan peningkatan yang signifikan baik modus, kuantitas maupun kualitasnya. Ada keterkaitan jaringan militan lokal dengan jaringan international. Aktivitas teroris telah menarget dan mengolaborasikan ideologi dan agama bagi masyarakat international sebagai agenda kerja agar memihak kepada perjuangan mereka.
Oleh sebab itu di Indonesia, untuk mencegah dan menanggulangi segala bentuk tindakan dan kegiatan teroris, pemerintah Indonesia harus menyikapi fenomena terorisme secara arif, menganilisis berbagai aspek kehidupan bangsa saat ini, mencari akar permasalahan.
Merubah paradigma, bahwa perlawanan terhadap terorisme bukanlah perlawanan terhadap para pesakitan, dan juga bukan pula punishment atas kesesatan berpikir yang dimiliki oleh para teroris. Melainkan upaya mengembalikan mereka kepada pemikiran yang seharusnya melalui penguatan rehabilitasi.
Dalam proses inilah, peran da'i dan pemuka agama yang berhaluan Washathiyah sangat dibutuhkan untuk mengajak kembali ke dalam cara beragama dan berkeyakinan kuat serta toleransi yang berjalan berdampingan
Teknik soft approach inilah, menurut hemat saya jauh lebih efektif bagi penanggulangan terorisme di Indonesia dalam jangka panjang. Sebab, kesalahan pendekatan dalam mengatasi masalah terorisme, berpotensi pada dampak negatif yang lebih parah di kemudian hari.
Bela Lingkungan Terhadap Bahaya Terorisme.
Untuk menghentikan pertumbuhan phantom cell network (jaringan sel hantu), leaderless resistance (perlawanan tanpa pimpinan), dan lone wolver (serigala tunggal). Dibutuhkan pendekatan yang bersifat kemanusiaan kepada para (napiter) atau mantan pelaku agar tidak mengulangi tindakan terorisme.
Salah satu strategi yang dapat dijalankan adalah membangun sistem deteksi dini (cegah-tangkal) yang berlapis dengan ujung tombak institusi-institusi pemerintahan di tingkat komunitas (RT/RW, dusun dan kampung).
Jaringan teroris tidak akan bisa beraksi atau membentuk kelompok di daerah tersebut apabila ada kesadaran masyarakat untuk melaporkan adanya gerakan yang mencurigakan, terutama RT setempat harus mengetahui adanya warga baru yang masuk di lingkungan RT tersebut dan harus lapor 1x24 jam.
Bendahara Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
DALAM rangka mematikan sel-sel terorisme di Indonesia, salah satunya diperlukan pendekatan dakwah kultural serta paradigma objektif terhadap karakteristik daerah, potensi yang dimiliki dan aspek yang memengaruhi. Terminologi dakwah kultural yang digunakan akan menyemai berbagai teknik dakwah, salah satunya "soft approach".
Keberadaan kelompok teroris sesungguhnya tidak lepas dari regenerasi yang terus dilakukan dengan merekrut anggota-anggota baru yang disiapkan menjadi martir. Mereka merekrut anggota dengan berbagai cara. Tentu saja dengan ideologisasi. Mulai dari pertemuan-pertemuan tertutup hingga propaganda publik melalui berbagai metode.
Dari siklus itulah, proses transformasi paradigmatik mereplikasi individu-individu radikal menjadi teroris beroperasi. Ada 5 siklus pra-kondisi yang mereplikasi individu radikal menjadi teroris.
Pertama, Penyusupan ideologisasi terhadap individu diinfiltrasi saat individu mencari solusi tentang apa yang dirasakan sebagai perlakuan tidak adil atau situasi yang tidak berpihak dalam hidupnya. Kedua, infiltrasi itu diinjeksi dengan mendorong individu membangun kesiapan fisik untuk memindahkan solusi atas persoalan tersebut dengan merubah individu menjadi martir.
Ketiga, setelah berjalannya materi-materi perkaderan, individu distimulus untuk mengidentifikasi dengan mengadopsi nilai-nilai moral dari kelompoknya. Keempat, bai'at atau sumpah sepenanggungan. Orang atau individu yang telah masuk ke dalam circle atau lingkaran teroris sangat kecil kemungkinan bisa keluar dari kelompok tersebut.
Setelah melalui empat siklus itulah, maka di sikulus terakhir, yaitu ke lima, maka individu secara psikologis menjadi termotivasi militansinya menjadi martir untuk melakukan kegiatan-kegiatan terorisme.
Keseimbangan antara keyakinan (yang kokoh) dengan Toleransi
Sesungguhnya, gerakan ISIS akan sulit berkembang di Indonesia. Disebabkan, ideologi ISIS tak sejalan dengan Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.
Namun demikian, Indonesia menjadi target dari tumbuh dan berkembangnya ISIS. Hal ini cukup beralasan, sebab pertama, jumlah muslim di Indonesia yang menjadi mayoritas penduduknya. Kedua, di Indonesia banyak muncul gerakan radikal, dan ketiga, beberapa WNI diduga bergabung dengan kelompok ISIS di Suriah maupun Irak.
Perkembangan terorisme global telah menunjukkan peningkatan yang signifikan baik modus, kuantitas maupun kualitasnya. Ada keterkaitan jaringan militan lokal dengan jaringan international. Aktivitas teroris telah menarget dan mengolaborasikan ideologi dan agama bagi masyarakat international sebagai agenda kerja agar memihak kepada perjuangan mereka.
Oleh sebab itu di Indonesia, untuk mencegah dan menanggulangi segala bentuk tindakan dan kegiatan teroris, pemerintah Indonesia harus menyikapi fenomena terorisme secara arif, menganilisis berbagai aspek kehidupan bangsa saat ini, mencari akar permasalahan.
Merubah paradigma, bahwa perlawanan terhadap terorisme bukanlah perlawanan terhadap para pesakitan, dan juga bukan pula punishment atas kesesatan berpikir yang dimiliki oleh para teroris. Melainkan upaya mengembalikan mereka kepada pemikiran yang seharusnya melalui penguatan rehabilitasi.
Dalam proses inilah, peran da'i dan pemuka agama yang berhaluan Washathiyah sangat dibutuhkan untuk mengajak kembali ke dalam cara beragama dan berkeyakinan kuat serta toleransi yang berjalan berdampingan
Teknik soft approach inilah, menurut hemat saya jauh lebih efektif bagi penanggulangan terorisme di Indonesia dalam jangka panjang. Sebab, kesalahan pendekatan dalam mengatasi masalah terorisme, berpotensi pada dampak negatif yang lebih parah di kemudian hari.
Bela Lingkungan Terhadap Bahaya Terorisme.
Untuk menghentikan pertumbuhan phantom cell network (jaringan sel hantu), leaderless resistance (perlawanan tanpa pimpinan), dan lone wolver (serigala tunggal). Dibutuhkan pendekatan yang bersifat kemanusiaan kepada para (napiter) atau mantan pelaku agar tidak mengulangi tindakan terorisme.
Salah satu strategi yang dapat dijalankan adalah membangun sistem deteksi dini (cegah-tangkal) yang berlapis dengan ujung tombak institusi-institusi pemerintahan di tingkat komunitas (RT/RW, dusun dan kampung).
Jaringan teroris tidak akan bisa beraksi atau membentuk kelompok di daerah tersebut apabila ada kesadaran masyarakat untuk melaporkan adanya gerakan yang mencurigakan, terutama RT setempat harus mengetahui adanya warga baru yang masuk di lingkungan RT tersebut dan harus lapor 1x24 jam.
(cip)