Dinamika dan Konfigurasi Koalisi Menuju Pilpres 2024
loading...
A
A
A
Sebab, pada kenyataannya, banyak koalisi yang tidak memperhatikan kedekatan preferensi kebijakan, apalagi dalam praktiknya masalah ideologi partai amat jarang menjadi perhatian.
Hal ini membuktikan kurangnya perhatian dan komitmen partai pada kebijakan publik serta melemahnya ideologi partai politik dari waktu ke waktu. Partai politik lebih fokus bagaimana agar mereka bisa mendapat bagian dari jatah kue kekuasaan.
Seperti yang kita lihat pada partai koalisi dalam pemerintahan saat ini. Dari 9 partai politik dalam parlemen, 7 di antaranya merupakan partai koalisi. Selaras dengan apa yang disampaikan Mair dan Katz (2002), partai politik memiliki kepentingan kolektif yang sering kali mengesampingkan aspek ideologis.
Jika berbicara policy seeking, dari prediksi 4 poros koalisi, PDIP merupakan partai yang memiliki status sebagai partai terkuat. Sehingga berkoalisi dengan PDIP tentu sangat menggiurkan untuk menyamakan ideologi dan menjalankan kebijakan publik tertentu. Sebagai the rulling party, PDIP seharusnya mampu mempertahankan kekuasaan dan menarik sebanyak-banyaknya partai untuk berkoalisi.
Namun, jika mempertimbangkan motivasi office seeking, maka partai-partai politik tidak akan melihat PDIP sebagai jangkar utama dalam menentukan koalisi mereka. Partai-partai politik akan lebih menimbang siapa sosok yang hendak diusung sebagai capres atau cawapres di Pemilu 2024 mendatang.
Bagaimanapun juga figur capres menjadi penentu. Perkembangan demokrasi Indonesia masih dipengaruhi oleh model kekuatan patronase yang kuat. Karena itu, untuk memenangi Pilpres 2024, dibutuhkan kandidat yang mumpuni serta memiliki kans kemenangan yang tinggi sehingga kemampuan mengusung pasangan capres-cawapres potensial menjadi kunci yang memengaruhi soliditas koalisi.
Jika pasangan yang diusung tidak memiliki potensi besar memenangi pilpres, maka kemungkinan akan ada tarikan politik untuk berpindah ke koalisi lain.
Sejauh ini hampir mayoritas survei lintas lembaga menunjukkan adanya tiga kandidat terkuat untuk diusung menjadi capres. Secara elektabilitas, Ganjar Pranowo masih berada di posisi pertama disusul Anies Baswedan yang bersaing ketat dengan Prabowo Subianto.
Meskipun populer secara elektabilitas, langkah Ganjar tampak pincang karena terbatasnya dukungan politik dari kalangan internal partainya. Ganjar tampak kurang memiliki akar yang kuat hingga sejumlah petinggi PDIP mempertanyakan kontribusi riilnya terhadap partainya sendiri.
Sementara itu, terhitung sejak September hingga Desember 2022, elektabilitas Anies berhasil menyalip Prabowo. Hal itu dipengaruhi oleh sejumlah faktor, mulai dari titik jenuh masyarakat terhadap figur Prabowo hingga santernya pemberitaan Anies selepas pencapresannya oleh Nasdem.
Hal ini membuktikan kurangnya perhatian dan komitmen partai pada kebijakan publik serta melemahnya ideologi partai politik dari waktu ke waktu. Partai politik lebih fokus bagaimana agar mereka bisa mendapat bagian dari jatah kue kekuasaan.
Seperti yang kita lihat pada partai koalisi dalam pemerintahan saat ini. Dari 9 partai politik dalam parlemen, 7 di antaranya merupakan partai koalisi. Selaras dengan apa yang disampaikan Mair dan Katz (2002), partai politik memiliki kepentingan kolektif yang sering kali mengesampingkan aspek ideologis.
Jika berbicara policy seeking, dari prediksi 4 poros koalisi, PDIP merupakan partai yang memiliki status sebagai partai terkuat. Sehingga berkoalisi dengan PDIP tentu sangat menggiurkan untuk menyamakan ideologi dan menjalankan kebijakan publik tertentu. Sebagai the rulling party, PDIP seharusnya mampu mempertahankan kekuasaan dan menarik sebanyak-banyaknya partai untuk berkoalisi.
Namun, jika mempertimbangkan motivasi office seeking, maka partai-partai politik tidak akan melihat PDIP sebagai jangkar utama dalam menentukan koalisi mereka. Partai-partai politik akan lebih menimbang siapa sosok yang hendak diusung sebagai capres atau cawapres di Pemilu 2024 mendatang.
Bagaimanapun juga figur capres menjadi penentu. Perkembangan demokrasi Indonesia masih dipengaruhi oleh model kekuatan patronase yang kuat. Karena itu, untuk memenangi Pilpres 2024, dibutuhkan kandidat yang mumpuni serta memiliki kans kemenangan yang tinggi sehingga kemampuan mengusung pasangan capres-cawapres potensial menjadi kunci yang memengaruhi soliditas koalisi.
Jika pasangan yang diusung tidak memiliki potensi besar memenangi pilpres, maka kemungkinan akan ada tarikan politik untuk berpindah ke koalisi lain.
Sejauh ini hampir mayoritas survei lintas lembaga menunjukkan adanya tiga kandidat terkuat untuk diusung menjadi capres. Secara elektabilitas, Ganjar Pranowo masih berada di posisi pertama disusul Anies Baswedan yang bersaing ketat dengan Prabowo Subianto.
Meskipun populer secara elektabilitas, langkah Ganjar tampak pincang karena terbatasnya dukungan politik dari kalangan internal partainya. Ganjar tampak kurang memiliki akar yang kuat hingga sejumlah petinggi PDIP mempertanyakan kontribusi riilnya terhadap partainya sendiri.
Sementara itu, terhitung sejak September hingga Desember 2022, elektabilitas Anies berhasil menyalip Prabowo. Hal itu dipengaruhi oleh sejumlah faktor, mulai dari titik jenuh masyarakat terhadap figur Prabowo hingga santernya pemberitaan Anies selepas pencapresannya oleh Nasdem.