Dinamika dan Konfigurasi Koalisi Menuju Pilpres 2024

Rabu, 15 Februari 2023 - 12:04 WIB
loading...
Dinamika dan Konfigurasi...
Ayu Henidar Mulyara (Foto: Ist)
A A A
Ayu Henidar Mulyara
Peneliti Senior Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic), alumnus FISIP Universitas Indonesia

TEPAT 14 Februari kemarin, terhitung satu tahun menjelang pelaksanaan Pemilu 2024. Namun hingga kini belum terlihat jelas arah dinamika dan konfigurasi koalisi politik secara pasti.

Bahkan setiap pertemuan baik antarpartai politik maupun para tokoh politik belakangan ini seolah memunculkan berbagai spekulasi tentang arah koalisi dan tokoh pemimpin yang akan mereka usung di Pilpres 2024.

Mencermati dinamika koalisi yang ada, Pilpres 2024 memungkinkan bagi terbentuknya empat poros koalisi. Per hari ini, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) menjadi koalisi pertama yang dideklarasikan pada Juni 2022 lalu. Mengantongi 26,82% kursi DPR, Partai Golkar, PAN, dan PPP berkoalisi untuk menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Baca Juga: koran-sindo.com

Sementara itu, meskipun belum jelas komposisi calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) yang akan diusung, Partai Gerindra dan PKB tampaknya menjadi koalisi poros kedua dengan 23,66% kursi DPR. Keduanya bahkan telah meresmikan sekretariat bersama, menunjukkan keseriusan dan soliditas kedua partai dalam membangun kerja sama.

Sementara itu gabungan Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat yang membentuk Koalisi Perubahan bisa mengakumulasi suara terbesar dengan 28,35% kursi DPR. Adapun PDIP, meskipun belum tampak membangun koalisi dengan partai lain, memiliki boarding pass presidential threshold 20% untuk langsung maju di Pilpres tanpa harus berkoalisi dengan partai lainnya.

Kendati demikian, pertemuan antarpartai lintas koalisi yang terjadi belakangan ini memunculkan spekulasi baru. Yang pasti, sebelum KPU mengesahkan capres-cawapres pada 25 November 2023, dinamika dan konfigurasi koalisi masih akan sangat cair.

Faktor Pembentukan Koalisi
Mengutip Geoffrey Pridham dalam artikel klasiknya di jurnal Parliamentary Affairs (1987), disebutkan bahwa pembentukan koalisi umumnya dipengaruhi oleh tiga faktor utama yang sangat berpengaruh, yaitu ideologis (kesamaan platform), historis, dan terakhir pragmatis (perebutan kekuasaan).

Dari ketiga faktor ini, memang ada pertimbangan ideologis, namun tidak menjadi mainstream. Sementara itu faktor pragmatis terasa lebih kuat dalam dinamika politik pembentukan koalisi di Indonesia. Hal itu bisa dicermati oleh pola perilaku partai-partai politik yang membentuk koalisi, umumnya didorong oleh motivasi office seeking, bukan policy seeking (Aspinall, 2019).

Sebab, pada kenyataannya, banyak koalisi yang tidak memperhatikan kedekatan preferensi kebijakan, apalagi dalam praktiknya masalah ideologi partai amat jarang menjadi perhatian.

Hal ini membuktikan kurangnya perhatian dan komitmen partai pada kebijakan publik serta melemahnya ideologi partai politik dari waktu ke waktu. Partai politik lebih fokus bagaimana agar mereka bisa mendapat bagian dari jatah kue kekuasaan.

Seperti yang kita lihat pada partai koalisi dalam pemerintahan saat ini. Dari 9 partai politik dalam parlemen, 7 di antaranya merupakan partai koalisi. Selaras dengan apa yang disampaikan Mair dan Katz (2002), partai politik memiliki kepentingan kolektif yang sering kali mengesampingkan aspek ideologis.

Jika berbicara policy seeking, dari prediksi 4 poros koalisi, PDIP merupakan partai yang memiliki status sebagai partai terkuat. Sehingga berkoalisi dengan PDIP tentu sangat menggiurkan untuk menyamakan ideologi dan menjalankan kebijakan publik tertentu. Sebagai the rulling party, PDIP seharusnya mampu mempertahankan kekuasaan dan menarik sebanyak-banyaknya partai untuk berkoalisi.

Namun, jika mempertimbangkan motivasi office seeking, maka partai-partai politik tidak akan melihat PDIP sebagai jangkar utama dalam menentukan koalisi mereka. Partai-partai politik akan lebih menimbang siapa sosok yang hendak diusung sebagai capres atau cawapres di Pemilu 2024 mendatang.

Bagaimanapun juga figur capres menjadi penentu. Perkembangan demokrasi Indonesia masih dipengaruhi oleh model kekuatan patronase yang kuat. Karena itu, untuk memenangi Pilpres 2024, dibutuhkan kandidat yang mumpuni serta memiliki kans kemenangan yang tinggi sehingga kemampuan mengusung pasangan capres-cawapres potensial menjadi kunci yang memengaruhi soliditas koalisi.

Jika pasangan yang diusung tidak memiliki potensi besar memenangi pilpres, maka kemungkinan akan ada tarikan politik untuk berpindah ke koalisi lain.

Sejauh ini hampir mayoritas survei lintas lembaga menunjukkan adanya tiga kandidat terkuat untuk diusung menjadi capres. Secara elektabilitas, Ganjar Pranowo masih berada di posisi pertama disusul Anies Baswedan yang bersaing ketat dengan Prabowo Subianto.

Meskipun populer secara elektabilitas, langkah Ganjar tampak pincang karena terbatasnya dukungan politik dari kalangan internal partainya. Ganjar tampak kurang memiliki akar yang kuat hingga sejumlah petinggi PDIP mempertanyakan kontribusi riilnya terhadap partainya sendiri.

Sementara itu, terhitung sejak September hingga Desember 2022, elektabilitas Anies berhasil menyalip Prabowo. Hal itu dipengaruhi oleh sejumlah faktor, mulai dari titik jenuh masyarakat terhadap figur Prabowo hingga santernya pemberitaan Anies selepas pencapresannya oleh Nasdem.

Jika Ganjar belum memiliki kepastian status capres dari partainya PDIP, maka ia harus mengantisipasi jika pergerakan Anies semakin intensif dalam proses sosialisasi ke depan. Terlebih, setelah pernyataan Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan representasi PKS M. Sohibul Iman untuk mendukung pencapresan Anies, maka tiket 28,5% berpeluang bisa dikonkretkan.

Jika Koalisi Perubahan dalam mencapreskan Anies bisa dijalankan lebih disiplin, tidak menutup kemungkinan elektabilitas Anies semakin mendekati Ganjar, bahkan terbuka juga kemungkinan terjadi crossing electability di mana Anies bisa menyalip Ganjar.

Karena itu, menjelang satu tahun menuju Pemilu 2024 ini, partai-partai politik harus segera menentukan langkahnya. Namun, di tengah masih cairnya komunikasi politik yang terjadi saat ini, motivasi pragmatisme yang berorientasi pada office seeking akan terjadi.

Hal itu akan semakin jelas nanti jika pilpres akan melalui dua tahap, maka partai-partai politik akan lebih memilih capres-cawapres yang memiliki potensi menang yang lebih besar.

Karakter pragmatisme itu harus diantisipasi oleh semua partai politik untuk menghadirkan capres-cawapres potensial dan siap dideklarasikan dalam waktu cepat. Jika mereka telat melangkah, bukan tidak mungkin mereka akan ditinggalkan oleh arus gelombang politik yang dimainkan oleh aktor-aktor lebih dominan.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0752 seconds (0.1#10.140)