Urgensi Regulasi Publisher Rights
loading...
A
A
A
Untuk itu, perusahaan media massa yang memproduksi berita selayaknya mendapatkan hak ekslusif berupa keuntungan ekonomi seperti karya-karya intelektual lainnya.
Secara filosofi konsep kekayaan intelektual tidak bisa dilepaskan dari pemikiran John Locke (1632-1704). Locke yang mengatakan setiap manusia memiliki dirinya sendiri sebagai miliknya. Tak seorang puna memiliki hak atas pribadi orang lain kecuali pemiliknya sendiri, termasuk hasil kerja tubuhnya dan karya tangannya serta panca inderanya.
Artinya setiap orang secara alamiah mempunyai hak untuk memiliki segala potensi yang melekat pada diri pribadinya dan seluruh kerja yang dihasilkannya (Thumm, 2000).
Locke juga menyarankan agar insentif ekonomi diberikan dalam perlindungan hak milik. Dikaitkan dengan hak kekayaan intelektual, hal ini diterjemahkan sebagai dorongan agar pencipta bersedia untuk memublikasikan karya ciptanya, karena hal tersebut tidak mungkin sepenuhnya diserahkan kepada sifat “murah hati” si pencipta.
Publikasi karya cipta ini sangat penting untuk menambah jumlah intellectual capital (sumber daya intelektual) yang ada di masyarakat, karena dengan demikian meningkatkan jumlah ide untuk menciptakan sesuatu yang baru (Hughes, 1988).
Namun dihadapkan dengan perkembangan teknologi digital, berita sebagai kekayaan intelektual belum sepenuhnya terlindungi. Banyak platform digital yang memuat konten berita namun tidak mengindahkan hak cipta yang dimiliki oleh perusahaan media massa konvensional.
Kondisi ini tentunya sangat merugikan media massa dan para jurnalis pembuat berita. Dengan mudah kita membuka platform digital yang memuat layanan kompilasi berita. Namun, sayangnya pihak perusahaan platform pencarian web tidak membayar hak ekonomi kepada media massa sebagai produsen berita.
Contoh kasus yang nyata terjadi di Prancis, Google sebagai perusahaan platform pencarian web terkena denda sebesar Rp 8,5 triliun atau sekitar USD 592 juta karena gagal menjalankan persetujuan yang telah disepakati pada pertengahan 2021 lalu. Google terkena denda karena memuat salah satu konten dari sebuah organisasi berita.
Google sebagai perusahaan platform pencarian web memonopoli internet karena masyarakat lebih banyak mengunjungi situs berita yang dimiliki Google yang sebenarnya berita- berita tersebut merupakan kumpulan tulisan dari perusahaan pers yang dirugikan hak ciptanya.
Pengumpulan berita-berita menjadi satu ini biasa disebut dengan perbuatan agregasi. Dengan adanya monopoli ini, maka keuntungan yang dimiliki oleh Google meningkat dan seharusnya Google membayar upah yang sepadan.
Secara filosofi konsep kekayaan intelektual tidak bisa dilepaskan dari pemikiran John Locke (1632-1704). Locke yang mengatakan setiap manusia memiliki dirinya sendiri sebagai miliknya. Tak seorang puna memiliki hak atas pribadi orang lain kecuali pemiliknya sendiri, termasuk hasil kerja tubuhnya dan karya tangannya serta panca inderanya.
Artinya setiap orang secara alamiah mempunyai hak untuk memiliki segala potensi yang melekat pada diri pribadinya dan seluruh kerja yang dihasilkannya (Thumm, 2000).
Locke juga menyarankan agar insentif ekonomi diberikan dalam perlindungan hak milik. Dikaitkan dengan hak kekayaan intelektual, hal ini diterjemahkan sebagai dorongan agar pencipta bersedia untuk memublikasikan karya ciptanya, karena hal tersebut tidak mungkin sepenuhnya diserahkan kepada sifat “murah hati” si pencipta.
Publikasi karya cipta ini sangat penting untuk menambah jumlah intellectual capital (sumber daya intelektual) yang ada di masyarakat, karena dengan demikian meningkatkan jumlah ide untuk menciptakan sesuatu yang baru (Hughes, 1988).
Namun dihadapkan dengan perkembangan teknologi digital, berita sebagai kekayaan intelektual belum sepenuhnya terlindungi. Banyak platform digital yang memuat konten berita namun tidak mengindahkan hak cipta yang dimiliki oleh perusahaan media massa konvensional.
Kondisi ini tentunya sangat merugikan media massa dan para jurnalis pembuat berita. Dengan mudah kita membuka platform digital yang memuat layanan kompilasi berita. Namun, sayangnya pihak perusahaan platform pencarian web tidak membayar hak ekonomi kepada media massa sebagai produsen berita.
Contoh kasus yang nyata terjadi di Prancis, Google sebagai perusahaan platform pencarian web terkena denda sebesar Rp 8,5 triliun atau sekitar USD 592 juta karena gagal menjalankan persetujuan yang telah disepakati pada pertengahan 2021 lalu. Google terkena denda karena memuat salah satu konten dari sebuah organisasi berita.
Google sebagai perusahaan platform pencarian web memonopoli internet karena masyarakat lebih banyak mengunjungi situs berita yang dimiliki Google yang sebenarnya berita- berita tersebut merupakan kumpulan tulisan dari perusahaan pers yang dirugikan hak ciptanya.
Pengumpulan berita-berita menjadi satu ini biasa disebut dengan perbuatan agregasi. Dengan adanya monopoli ini, maka keuntungan yang dimiliki oleh Google meningkat dan seharusnya Google membayar upah yang sepadan.