Urgensi Regulasi Publisher Rights

Selasa, 14 Februari 2023 - 10:57 WIB
loading...
Urgensi Regulasi Publisher...
M Soleh (Foto: Ist)
A A A
M Soleh
Fungsional Analis Kebijakan Muda di Sekretariat Wakil Presiden

PERNYATAAN Presiden Joko Widodo pada puncak peringatan Hari Pers Nasional, 9 Februari 2023 di Medan bahwa dunia pers tidak sedang baik-baik saja, menarik dicermati.

Menurut Jokowi, masalah utama pers saat ini adalah membuat pemberitaan yang bertanggung jawab. Sebab, banyaknya berita di media sosial yang tersebar, tapi tidak beredaksi seperti media konvensional.

"Karena masyarakat kebanjiran berita dari media sosial dan media digital lainnya, termasuk platform-platform dan umumnya tidak beredaksi atau dikendalikan oleh AI (artificial intelligence)” katanya. (Sindonews.com, 9 Februari 2023)

Baca berita lainnya di e-paper koran-sindo.com

Untuk itu, upaya pemerintah menerbitkan regulasi tentang publisher rights (hak penerbit/hak cipta jurnalistik) menjadi salah satu langkah yang patut diapresiasi.

Publisher rights mendesak diberlakukan untuk menjaga keberlanjutan media massa dalam menghadapi disrupsi digital, sehingga ia dapat bertahan dan bersaing secara sehat di tengah kemudahan masyarakat mengakses berita-berita terkini melalui platform digital.

Kebijakan ini menjadi salah satu yang dapat ditempuh agar media massa tidak mengalami kebangkrutan di kemudian hari menyusul banyak perusahaan media massa mengurangi bahkan meniadakan koran versi cetak.

Berdasarkan laporan Digital News Report 2022 yang dirilis oleh Reuters Institute, menunjukkan 88% masyarakat Indonesia mengonsumsi media daring sebagai sumber berita.

Masih berdasarkan laporan tersebut, situs media sosial seperti WhatsApp, YouTube, Facebook, dan Instagram sangat populer di kalangan pengguna di Indonesia, dengan 68% orang mengaku mengonsumsi berita dari platform media sosial.

Angka-angka tersebut berbanding terbalik dengan 17% masyarakat Indonesia yang masih mengonsumsi berita cetak sebagai sumber beritanya.

Tingginya angka konsumen berita daring berbanding lurus dengan jumlah perusahaan pers siber di Indonesia. Berdasarkan data di website Dewan Pers, perusahaan pers siber yang telah terverifikasi sebanyak 902 perusahaan.

Bahkan menyadur data dari Ketua Dewan Pers 2016-2019, Yosep Adi Prasetyo memperkirakan jumlah media massa di Indonesia mencapai 47.000 media dan media online mencapai 43.300 (Jurnal Dewan Pers, November 2018). Tentunya angka-angka tersebut menunjukkan betapa kuatnya pengaruh platform digital sebagai sumber berita masyarakat Indonesia.

Kita tentu tidak bisa menghalangi perubahan yang terjadi di dalam masyarakat dalam mencari informasi di era internet. Maka langkah penerbitan regulasi mengenai publisher rights setidaknya mengutip Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), membuktikan kehadiran negara dalam menjaga dan membangun keseimbangan ekosistem fair level playing field.

Penerbitan regulasi publisher rights hemat penulis tidak lepas dari fenomena yang sama di dunia penyiaran. Pada 2020 lalu, dua televisi swasta sebagai pemohon mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Hal yang mempermasalahkan adalah Undang-Undang Penyiaran khususnya menyangkut definisi penyiaran.

Regulasi tersebut dianggap tidak bisa membuat kesetaraan atau perlakuan yang sama (equal treatment) antara penyiaran berbasis frekwensi dengan penyiaran berbasis internet, seperti YouTube, Facebook, Netflix, dan sebagainya. Pemohon kalah, MK memutuskan rezim pengaturan penyiaran berbasis frekwensi berbeda dengan penyiaran berbasis internet.

Kemudian perkembangan belakangan ini banyak yang mengatakan masa keemasan televisi hampir berakhir dihantam konten internet, namun sampai sekarang televisi free to air tetap tegak berdiri dengan pangsa pasar yang masih cukup besar baik di perkotaan, perdesaan dan di daerah-daerah yang minim infrastruktur internet.

Media massa nonelektronik kini mengalami apa seperti yang dirasakan televisi. Bedanya jika televisi masih relatif mendapatkan kue iklan, media massa konvensional perlahan kehilangan sumber utama pemasukan tersebut, sementara tanpa henti ia harus memproduksi berita melalui kerja jurnalisme yang rigid.

Setelah tergerusnya koran cetak, jumlah masyarakat yang berlangganan koran digital (e-paper) tidak semasif yang diharapkan. Mereka lebih memilih informasi secara gratis.

Objek Hak Cipta
Berita merupakan salah satu objek hak cipta yang harus dilindungi, karena proses pembuatannya membutuhkan waktu, biaya dan keahlian khusus dari seorang profesional yang disebut jurnalis yang bekerja pada media massa yang dilindungi undang-undang.

Untuk itu, perusahaan media massa yang memproduksi berita selayaknya mendapatkan hak ekslusif berupa keuntungan ekonomi seperti karya-karya intelektual lainnya.

Secara filosofi konsep kekayaan intelektual tidak bisa dilepaskan dari pemikiran John Locke (1632-1704). Locke yang mengatakan setiap manusia memiliki dirinya sendiri sebagai miliknya. Tak seorang puna memiliki hak atas pribadi orang lain kecuali pemiliknya sendiri, termasuk hasil kerja tubuhnya dan karya tangannya serta panca inderanya.

Artinya setiap orang secara alamiah mempunyai hak untuk memiliki segala potensi yang melekat pada diri pribadinya dan seluruh kerja yang dihasilkannya (Thumm, 2000).

Locke juga menyarankan agar insentif ekonomi diberikan dalam perlindungan hak milik. Dikaitkan dengan hak kekayaan intelektual, hal ini diterjemahkan sebagai dorongan agar pencipta bersedia untuk memublikasikan karya ciptanya, karena hal tersebut tidak mungkin sepenuhnya diserahkan kepada sifat “murah hati” si pencipta.

Publikasi karya cipta ini sangat penting untuk menambah jumlah intellectual capital (sumber daya intelektual) yang ada di masyarakat, karena dengan demikian meningkatkan jumlah ide untuk menciptakan sesuatu yang baru (Hughes, 1988).

Namun dihadapkan dengan perkembangan teknologi digital, berita sebagai kekayaan intelektual belum sepenuhnya terlindungi. Banyak platform digital yang memuat konten berita namun tidak mengindahkan hak cipta yang dimiliki oleh perusahaan media massa konvensional.

Kondisi ini tentunya sangat merugikan media massa dan para jurnalis pembuat berita. Dengan mudah kita membuka platform digital yang memuat layanan kompilasi berita. Namun, sayangnya pihak perusahaan platform pencarian web tidak membayar hak ekonomi kepada media massa sebagai produsen berita.

Contoh kasus yang nyata terjadi di Prancis, Google sebagai perusahaan platform pencarian web terkena denda sebesar Rp 8,5 triliun atau sekitar USD 592 juta karena gagal menjalankan persetujuan yang telah disepakati pada pertengahan 2021 lalu. Google terkena denda karena memuat salah satu konten dari sebuah organisasi berita.

Google sebagai perusahaan platform pencarian web memonopoli internet karena masyarakat lebih banyak mengunjungi situs berita yang dimiliki Google yang sebenarnya berita- berita tersebut merupakan kumpulan tulisan dari perusahaan pers yang dirugikan hak ciptanya.

Pengumpulan berita-berita menjadi satu ini biasa disebut dengan perbuatan agregasi. Dengan adanya monopoli ini, maka keuntungan yang dimiliki oleh Google meningkat dan seharusnya Google membayar upah yang sepadan.

Diketahui adanya monopoli global hingga 56% yang hanya dikuasai tiga perusahaan saja yaitu Google, Facebook dan Amazon. Sisanya 44% diisi oleh puluhan ribu media massa cetak, radio, televisi dan e-commerce lokal di berbagai negara (Nua, 2021).

Urgensi Regulasi
Hak cipta atas produk berita dari media massa konvensional perlu mendapatkan penghargaan berupa insentif ekonomi. Ini penting agar para stakeholder terkait memiliki konsepsi yang sama terutama untuk menjaga masa depan pers Indonesia yang sehat.

Berkaca dari fenomena di atas, maka pembentukan regulasi tentang Publisher Rights di Indonesia menjadi mendesak setidaknya menimbang tiga hal.

Pertama, media massa sebagai pilar keempat demokrasi harus diselamatkan. Jati diri media massa di Indonesia yang menjunjung tinggi kebebasan pers, nilai-nilai persatuan dan sebagai bagian dari sarana mencerdaskan kehidupan bangsa harus terus dikokohkan.

Mereka tidak boleh kalah dengan platform digital yang terkadang bebas nilai dan tidak mengindahkan nilai-nilai keindonesiaan. Undang-Undang Pers yang berlaku saat ini meskipun belum mampu beradaptasi dengan perkembangan platform digital, namun setidaknya masih memiliki pijakan nilai-nilai moral pancasila.

Kedua, regulasi ini diharapkan menjaga keseimbangan sekaligus menciptakan ekosistem bisnis yang sehat antara media massa konvensional dengan platform digital.

Perusahaan media massa konvensional akan memiliki kepastikan hukum tentang hak cipta atas produk berita yang termuat dalam platform digital dan sebaliknya perusahaan platform digital akan lebih dapat meningkatkan citranya karena ikut memuat berita yang telah memenuhi kaidah jurnalistik.

Seraya dengan ini, perusahaan media massa konvensional semakin dapat meningkatkan profesionalitas baik dari kualitas pemberitaan maupun menjaga netralitas dari berbagai kepentingan.

Ketiga, ini sekaligus menjadi momentum yang baik untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat dalam hal literasi digital. Masyarakat harus diajak kembali meningkatkan budaya membaca koran, dalam konteks ini koran digital (e-paper). Karena bagaimanapun produk pers dalam bentuk koran digital lebih dapat dipertanggungjawabkan karena telah melalui proses redaksi yang ketat.

Perusahaan media massa masih dapat menangkap peluang besar ini dengan memberikan harga terjangkau bagi seluruh kalangan masyarakat, khususnya kaum milineal yang paling gemar menggunakan platform digital. Harus muncul kesadaran di masyarakat bahwa untuk membaca berita dengan kurasi yang tinggi haruslah berbayar.



(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1668 seconds (0.1#10.140)