Pakar Hukum Nilai Pelanggaran SOP Bank Swadesi Bukan Pidana

Rabu, 15 Juli 2020 - 11:57 WIB
loading...
Pakar Hukum Nilai Pelanggaran SOP Bank Swadesi Bukan Pidana
Pelanggaran SOP bank hanya bisa dipidana jika penyidik dapat membuktikan adanya unsur kesengajaan, penyalahgunaan wewenang atau benturan kepentingan yang dilakukan direksi, dewan komisaris, maupun karyawan bank. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pelanggaran standar operasional prosedur (SOP) bank hanya bisa dipidana jika penyidik dapat membuktikan adanya unsur kesengajaan, penyalahgunaan wewenang atau benturan kepentingan yang dilakukan direksi, dewan komisaris, maupun karyawan bank. Jika tidak terbukti maka pelanggaran SOP merupakan pelanggaran administrasi yang tidak dapat dipidana.

Penegasan ini disampaikan sejumlah pakar hukum terkait peraturan perundangan lain sebagaimana dimaksud di dalam pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan. Bunyi Pasal 49 ayat (2) huruf b yakni anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam UU Perbankan dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank diancam pidana. (Baca juga: Kasus Bank Swadesi, Kuasa Hukum Ungkap Kejanggalan Penyidikan Bareskrim)

“Artinya harus ada dulu pelanggaran yang bersifat administratif yang harus ditegakkan dengan hukum administratif terlebih dahulu. Apabila penegakan hukum dengan hukum administratif tidak berjalan, barulah dipakai penyelesaian secara pidana dengan menerapkan sanksi pidana,” kata pakar hukum perbankan Yunus Husen, Rabu (17/7/2020).

Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Traksaksi Keuangan ini mengatakan, norma-norma dalam hukum tata negara dan hukum tata usaha negara harus pertama-tama ditanggapi dengan sanksi administrasi. Begitu juga norma-norma dalam bidang hukum perdata pertama-tama harus ditanggapi dengan sanksi perdata. (Baca juga: Bank Indonesia Proyeksi Pertumbuhan Kredit 2020 Melemah)

“Hanya apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata ini belum mencukupi untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai pamungkas (terakhir) atau ultimum remedium,” tuturnya.

Dalam kasus penetapan 20 tersangka mantan direksi, komisaris, dan pegawai Bank Swadesi yang saat ini telah diakusisi oleh Bank of India Indonesia (BOII), dikatakan Yunus hingga kini belum ada temuan dari pengawas dan regulator bank dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bahwa Bank Swadesi melanggar UU Perbankan dan peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya surat pembinaan (supervisory action) atau sanksi administratif yang dikenakan pengawas kepada Bank.

“Logika sederhananya, jika langkah-langkah yang diperintahkan oleh pengawas bank tidak ada, maka berarti tidak ada pelanggaran yang dilakukan bank,” tegasnya.

Yunus Husein yang dihadirkan penyidik sebagai saksi ahli dalam gelar perkara kasus tersebut di Bareskrim pada pekan lalu memandang, fakta bahwa tidak adanya tindakan pengawasan yang dikenakan kepada bank memiliki konsekuensi berupa tidak adanya pengetahuan dan kehendak para tersangka untuk melakukan tindak pidana yang disangkakan. “Dengan demikian dalam konteks kasus ini pelanggaran SOP bukanlah perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2),” ucapnya.

Pandangan senada disampaikan Pakar Hukum Tata Negara, Refli Harun. Menurut Refli, yang dimaksud peraturan perundangan lainpada pasal 49 ayat (2) huruf b adalah seluruh peraturan yang dibuat oleh negara maupun perusahaan yang mengikat secara hukum.

Namun Refli mengingatkan jika terjadi pelanggaran terhadap suatu peraturan, dalam hal ini melanggar SOP bank, maka harus dibuktikan adanya perbuatan melawan hukum berupa penyalahgunaan wewenang dan jabatan atau benturan kepentingan yang melatarbelakngi pelanggaran tersebut.

Jika ternyata tidak ditemukan bukti-bukti dimaksud maka pelanggaran SOP menurut Refli masuk dalam kategori pelanggaran administrasi yang sanksinya tidak dapat digiring atau dipaksakan ke ranah pidana.

“Pelanggaran SOP harus dapat dibuktikan unsur penyalahgunaan wewenang maupun benturan kepentingan baru bisa dipidana. Sebaliknya jika hanya kesalahan administrasi maka sanksinya pun administrasi,” jelasnya.

Senada, Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menilai SOP bukanlah peraturan lain sebagaimana dimaksud di dlaam pasal 49 ayat (2) huruf b sejauh SOP tersebut belum dituangkan dalam peraturan perbankan dan diundangkan dalam lembaran negara. Margarito menegaskan SOP internal bank tidak bisa dijadikan landasan untuk mempidanakan seseorang. “Tidak bisa. SOP tidak bisa jadi landasan untuk menghukum atau mempidakan orang. Tidak bisa,”sergahnya.

Kasus ini bermula pada Maret dan Juni 2008, di mana debitur Ratu Kharisma mendapatkan fasilitas kredit dari Bank Swadesi sejumlah Rp10,5 miliar dengan agunan berupa tanah seluas 1.520 meter persegi di daerah Seminyak, Bali. Baru membayar angsuran dan bunga Rp300 juta, debitur lalai atas kewajibannya. Tercatat sejak Juni 2009 tidak lagi membayar bunga dan angsuran.

Setelah diberitahukan, peringatan, dan pemutusan kredit, bank mengajukan lelang umum di KPKNL Denpasar. Hasilnya aset tersebut laku dilelang dengan nilai Rp6,386 miliar melalui lima kali proses lelang. Bahkan saat lelang keempat, debitur meminta kreditur melakukan utang hapus Rp5 miliar sesuai putusan hakim dalam gugatan wanprestasi yang mewajibkan debitur membayar utang Rp 5 miliar, selisih dari nominal utang dipotong nilai aset yang dilelang

Namun pihak Rita tidak puas karena nilai lelang jauh di bawah nilai pasar. Setelah melalui proses panjang, akhirnya Rita melaporkan komisaris, direksi, dan karyawan Bank Swadesi ke Polda Bali atas dugaan melakukan tindak pindana perbankan (tipibank) yang saat ini ditangani Bareskrim Polri.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1541 seconds (0.1#10.140)