76 Tahun HMI: Membumikan Paradigma Islam Empowering

Senin, 06 Februari 2023 - 11:59 WIB
loading...
76 Tahun HMI: Membumikan Paradigma Islam Empowering
Riyanda Barmawi, Ketua Bidang Ekonomi Pembangunan PB HMI. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Riyanda Barmawi
Ketua Bidang Ekonomi Pembangunan PB HMI

TEPAT Minggu (5/2/2023), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menapaki usianya yang ke-76 tahun. Waktu yang tidak singkat ini menjadi pembuktian bahwa usia bukan sekedar umur yang menua.

Pengalaman panjang yang berjejak dalam sejarah Republik, menjadi modal utama bagi himpunan untuk tetap istiqamah guna menjawab tantangan dan persoalan yang kian kompleks di era globalisasi. Realitas kontemporer yang tidak lagi sama seperti periode awal HMI didirikan menyisakan pertanyaan.

Apakah hari kelahiran HMI hanya dimaknai sebagai seremoni dan diglorifikasi sedemikian rupa atau moment ini menjadi titik beranjak memperjuangkan cita-cita dan tujuan?

Di bawah revolusi industri generasi keempat, atau kerap disebut dengan cyber physical system, yang menitikberatkan pada otomatisasi serta kolaborasi antarteknologi cyber, telah berhasil mendisrupsi tatanan sosial sehingga batas teritorial kian memudar, menuntut setiap organisasi agar beradaptasi (self-defence) dengan tuntutan zaman. Karenanya romantisme sejarah, atau terjebak ke dalam persoalan yang tidak produktif, seperti membenturkan keislaman dan keindonesiaan sudah seharusnya ditinggalkan.

Pasalnya, kalau berkaca pada embrio lahirnya HMI, keislaman dan keindonesiaan – Islam dan Pancasila – merupakan alasan yang melatari serta memotivasi pembentukan himpunan. Salah satu tujuan dari lahirnya HMI adalah mempertahankan negara Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, di samping menegakkan dan mengembangkan nilai agama Islam.

Hal ini kemudian di pertegas oleh sejarawan HMI Agussalim Sitompul (2002) jika memang pada dasarnya, sejak awal berdirinya, organisasi HMI telah mempunyai pemikiran keislaman dan keindonesiaan.

Keislaman dan keindonesiaan tidak diletakkan dalam posisi yang dikotomis, apalagi harus mempertentangkan keduanya. Keduanya dipahami dalam kerangka saling berkaitan, sebab nilai-nilai keislaman kompatibel dengan Pancasila.

Peniadaan kesenjangan ini menandakan titik temu atas dua nilai esensial yang menjadi basis fondasional perjuangan HMI dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan masyarakat adil makmur. Alih-alih larut dalam perdebatan yang tak berpangkal tentang Islam dan negara, spirit titik temu itu hendaknya jadi modal HMI membumikan agenda keummatan dan kebangsaan yang lebih kontekstual.

Islam Empowering
Melalui pidatonya pada Dies Natalis ke-75 HMI, dengan tema “Arah Baru HMI, Berdaya Bersama Menuju Indonesia Emas di 2045”, Ketua Umum PB HMI Raihan Ariatama menawarkan gagasan Islam Empowering sebagai paradigma keislaman dan keindonesiaan HMI kontemporer. Secara konseptual, gagasan ini hanya kelanjutan dari Islam modernisnya Nurcholis Majid. Hanya saja titik tekan dari Islam empowering terletak pada praksis untuk memperkuat kemandirian, partisipasi, jaringan kerja dan pemerataan.

Gagasan empowering yang ditawarkan HMI ini berangkat dari pemikiran bahwa agama tidak sekadar berperan menjalankan fungsi korektifnya, melainkan diletakkan dalam satu tarikan nafas dengan peran dan fungsi solutifnya dalam mewujudkan cita-cita kebangsaan. Melampaui pembacaan utopis yang meletakkan spirit keislaman hanya sebatas tataran ideasional.

Dimensi pemberdayaan dalam gagasan Islam empowering ini punya cakupan lebih luas. Tidak sebatas pada kesadaran memenuhi kebutuhan dasar, tapi mencakup pengembangan yang imparsial: aspek manusia, sosial dan ekonomi.

Jadi Islam empowering bukan semata-mata tentang membuat masyarakat membangun dirinya dan memperbaiki kehidupan. Lebih dari itu adalah bagaimana keberdayaannya bisa menjawab segala persoalan yang ada, melalui agenda-agenda yang jauh lebih terencana dan kolektif, dengan menumbuhkan gerakan entrepreneurship.

Entrepreneurship merupakan satu solusi alternatif dalam membentengi diri di tengah rentannya perekonomian dari krisis. Setidaknya kelas entrepreneurship juga mempunyai implikasi positif bagi pembangunan ekonomi nasional.

Kalau berkaca pada data Entrepreneurship Global Index, jumlah wirausahawan di Indonesia masih tergolong kecil, bila dibandingkan tiga negara lainnya di ASEAN, seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Kondisi ini jadi tantangan bersama yang harus dipecahkan. Apalagi pada era free market dewasa ini, entrepreneurship mempunyai peran yang sangat vital karena dapat membantu pasar dalam respons perubahan harga dan preferensi konsumen.

Sebagai contoh penggunaan internet yang makin meningkat turut disertai dengan lahirnya layanan-layanan baru melalui aplikasi. Tren baru tersebut tidak terlepas dari kemampuan seorang entrepreneur dalam memanfaatkan potensi dan peluang yang ada.

Berkat kecanggihan teknologi digital dan disertai dengan inovasi yang cepat, aktivitas pasar dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Hanya dengan gadget, seseorang dapat melakukan transaksi jual beli ataupun layanan lainnya. Perkembangan ini yang mesti dijawab HMI pada masa mendatang, melalui aksi nyata menumbuhkan kelas-kelas entrepreneur, utamanya di kalangan kader-kader HMI.

Dalam kerangka Islam empowering, upaya mewujudkan kelas entrepreneur mestinya dipusatkan dalam trayek yang inklusif. Tidak diorientasikan pada kepentingan pribadi atau kelompok semata, melainkan untuk semua. Dengan karakter inklusifitas inilah penguatan entrepreneurship dapat dilakukan dengan kolaborasi dan kerjasama antarelemen.

Bagaimanapun juga entrepreneurship bukan semata-mata tentang harga maupun keuntungan. Yang lebih substansial dalam entrepreneurship adalah menciptakan nilai baru, yakni memberi efek yang berkelanjutan dalam pembangunan ekonomi nasional.

Prinsipnya kerjasama dan kolaborasi dalam kerangka Islam empowering dipahami sebagai proses dan transfer daya dari lingkungan sekitar. Artinya kerjasama dan kolaborasi bukan ditujukan untuk mendapatkan akses istimewa.

Karena kalau terjadi demikian, keistimewaan (privilage) tersebut, rentan menciptakan pelaku usaha yang disebut, dalam konsepsinya Riggs, sebagai “pariah enterpreneurs”. Bukannya membentuk self-Independence, justru dengan akses istimewa itu semakin mempertajam ketergantungan yang pada gilirannya menjadi dalam ruang-ruang kompetisi free market.

Oleh karenanya, kelas-kelas entrepreneur yang terbingkai di dalam Islam empowering, hendaknya memiliki karakteristik tersendiri. Mereka tak hanya dituntut agar lebih menghargai prestasi daripada uang atau semangat dan kerja keras. Namun lebih dari itu para entrepreneur juga harus memiliki wawasan serta perspektif yang jauh ke depan, termasuk mempunyai keterampilan dalam mengorganisir sumberdaya yang dapat menciptakan nilai tambah.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1880 seconds (0.1#10.140)