Pilkada di Tengah Pandemi, KPU Diminta Buat Pemetaan Zona
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada ) Serentak pada 9 Desember 2020 mendatang dilakukan di tengah pandemi COVID-19. Karena itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta melakukan antisipasi sejak dini agar tidak malah terjadi ledakan kasus di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Anggota Komisi II DPR Yanuar Prihatin mengatakan, langkah penting pertama yang harus dilakukan KPU bersama Pemda adalah membuat pemetaan zonasi atau klasifikasi penyebaran COVID-19. "Klasifikasi zona di daerah yang ada pilkada, Pemda harus koordinasi dengan KPU atau sebaliknya. Memetakan dulu. Itu paling dasar supaya treatment di setiap zona itu pas," kata Yanuar, Rabu (15/7/2020).
Dia mencontohkan, di wilayah yang masuk zona hijau, tentu treatment yang dilakukan berbeda dengan wilayah zona kuning atau merah. "Mungkin kita perketat seketat mungkin kalau itu zona merah. Kalau ini tidak dilakukan, takutnya terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, terjadi ledakan di suatu tempat karena keteledoran dari awal," katanya.( )
Kedua, kata Yanuar, antara zonasi merah, kuning, dan hijau, persiapan yang dilakukan harus berbeda pula. Setiap tahapan harus disiapkan dengan sangat rigit dan detail. Misalnya kalau zona hijau protokolnya lebih longgar, sementara di zona merah protokolnya harus super ketat. "Sehingga boleh jadi kedatangan pemilih ke TPS itu sudah diatur jamnya supaya tidak terjadi penumpukan di TPS. Jadi pemilih datang berdasarkan jam yang sudah ditetapkan oleh panitia penyelenggara. Harus serigid itu kalau itu zona merah karena menghindari kerumunan intinya," katanya.
Ketiga, penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi memang akan berakibat pada cara kerja penyelenggara. Menurut Yanuar, bukan tidak mungkin pemungutan suara di satu tempat boleh tidak dilakukan di TPS kalau di wilayah tersebut sudah sangat merah.
"Meskipun itu undang-undang belum di-endorse, kenapa gak pakai kondisi darurat. Petugas yang datang ke rumah. Cuma di undang-undang kan gak ada cantolannya. Dalam situasi darurat tertentu kan harus mengurangi orang, jadi bukan pemilih yang datang, tapi petugas. Undang-undang memang tidak memungkinkan, tapi itu kan bisa dibicarakan," katanya. ( )
Hal terpenting, kata Yanuar, adalah bagaimana masyarakat bisa menyalurkan hak pilihnya dan itu diawasi oleh Bawaslu dan lainnya. "Saya kira itu opsi yang perlu dipertimbangkan pada zona tertentu. Memang agak merepotkan, tapi kan kita harus mengambil pilihan di antara dua hal yang sulit," tutur politikus PKB ini.
Sementara itu, untuk mengantisipasi rendahnya tingkat partisipasi masyarakat untuk datang ke TPS, menurut Yanuar, rancangan, pola, strategi dan teknik untuk sosialisasi pemilu pun harus banyak berubah. Pertama, distribusi informasi harus dicek sejauh mana informasi menyebar ke seluruh warga. "Nggak bisa lagi KPU hanya mengandalkan alat peraga outdoor yang besar itu, belum tentu semua warga aware atau semua warga tahu. Bisa saja lebih masif informasi dari rumah ke rumah, door to door," tuturnya.
Menurut Yanuar, pemberitahuan adanya pemilu pilkada itu penting. Karena itu, distribusi informasi harus lebih merata. KPU juga bisa melibatkan para tokoh masyarakat di setiap wilayah. Misalnya ketua RT atau RW untuk meminta bantuan menyampaikan kepada warga agar bisa terlibat dalam pemilihan.
Anggota Komisi II DPR Yanuar Prihatin mengatakan, langkah penting pertama yang harus dilakukan KPU bersama Pemda adalah membuat pemetaan zonasi atau klasifikasi penyebaran COVID-19. "Klasifikasi zona di daerah yang ada pilkada, Pemda harus koordinasi dengan KPU atau sebaliknya. Memetakan dulu. Itu paling dasar supaya treatment di setiap zona itu pas," kata Yanuar, Rabu (15/7/2020).
Dia mencontohkan, di wilayah yang masuk zona hijau, tentu treatment yang dilakukan berbeda dengan wilayah zona kuning atau merah. "Mungkin kita perketat seketat mungkin kalau itu zona merah. Kalau ini tidak dilakukan, takutnya terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, terjadi ledakan di suatu tempat karena keteledoran dari awal," katanya.( )
Kedua, kata Yanuar, antara zonasi merah, kuning, dan hijau, persiapan yang dilakukan harus berbeda pula. Setiap tahapan harus disiapkan dengan sangat rigit dan detail. Misalnya kalau zona hijau protokolnya lebih longgar, sementara di zona merah protokolnya harus super ketat. "Sehingga boleh jadi kedatangan pemilih ke TPS itu sudah diatur jamnya supaya tidak terjadi penumpukan di TPS. Jadi pemilih datang berdasarkan jam yang sudah ditetapkan oleh panitia penyelenggara. Harus serigid itu kalau itu zona merah karena menghindari kerumunan intinya," katanya.
Ketiga, penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi memang akan berakibat pada cara kerja penyelenggara. Menurut Yanuar, bukan tidak mungkin pemungutan suara di satu tempat boleh tidak dilakukan di TPS kalau di wilayah tersebut sudah sangat merah.
"Meskipun itu undang-undang belum di-endorse, kenapa gak pakai kondisi darurat. Petugas yang datang ke rumah. Cuma di undang-undang kan gak ada cantolannya. Dalam situasi darurat tertentu kan harus mengurangi orang, jadi bukan pemilih yang datang, tapi petugas. Undang-undang memang tidak memungkinkan, tapi itu kan bisa dibicarakan," katanya. ( )
Hal terpenting, kata Yanuar, adalah bagaimana masyarakat bisa menyalurkan hak pilihnya dan itu diawasi oleh Bawaslu dan lainnya. "Saya kira itu opsi yang perlu dipertimbangkan pada zona tertentu. Memang agak merepotkan, tapi kan kita harus mengambil pilihan di antara dua hal yang sulit," tutur politikus PKB ini.
Sementara itu, untuk mengantisipasi rendahnya tingkat partisipasi masyarakat untuk datang ke TPS, menurut Yanuar, rancangan, pola, strategi dan teknik untuk sosialisasi pemilu pun harus banyak berubah. Pertama, distribusi informasi harus dicek sejauh mana informasi menyebar ke seluruh warga. "Nggak bisa lagi KPU hanya mengandalkan alat peraga outdoor yang besar itu, belum tentu semua warga aware atau semua warga tahu. Bisa saja lebih masif informasi dari rumah ke rumah, door to door," tuturnya.
Menurut Yanuar, pemberitahuan adanya pemilu pilkada itu penting. Karena itu, distribusi informasi harus lebih merata. KPU juga bisa melibatkan para tokoh masyarakat di setiap wilayah. Misalnya ketua RT atau RW untuk meminta bantuan menyampaikan kepada warga agar bisa terlibat dalam pemilihan.
(abd)