Nestapa Tenaga Kesehatan, Garda Terdepan tapi Terabaikan

Rabu, 15 Juli 2020 - 08:01 WIB
loading...
Nestapa Tenaga Kesehatan, Garda Terdepan tapi Terabaikan
Angka kematian tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19 di Tanah Air terus bertambah. Hingga kemarin sedikitnya 93 nyawa melayang dari total 1.110 tenaga kesehatan yang terinfeksi. Foto: dok/ANTARA
A A A
JAKARTA - Angka kematian tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19 di Tanah Air terus bertambah. Hingga kemarin sedikitnya 93 nyawa melayang dari total 1.110 tenaga kesehatan yang terinfeksi. Negara perlu lebih serius melindungi pahlawan kemanusiaan garda terdepan ini.

Tragis dan memilukan. Dua kata itu tidak berlebihan untuk menggambarkan nestapa yang dialami petugas kesehatan sejak Covid-19 melanda Indonesia pada awal Maret lalu. Mengambil peran sebagai ujung tombak, petugas kesehatan tidak cukup mendapatkan perlindungan yang layak. Salah satu persoalan klasik adalah masih terbatasnya alat pelindung diri (APD). Jikapun ada, standarnya masih jauh dari aman untuk digunakan menangani pasien dengan risiko tinggi. Kondisi ini yang antara lain dituding sebagai penyebab tingginya jumlah tenaga kesehatan yang terpapar virus dan berakibat pada kematian.

Korban masih terus berjatuhan setiap hari. Kemarin Gugus Tugas Covid-19 Jawa Timur melaporkan sebanyak 295 tenaga kesehatan di daerah ini positif terinfeksi. Dari jumlah itu, 23 di antaranya meninggal dunia. Pada hari yang sama Gugus Tugas Covid-19 Samarinda Kalimantan Timur melaporkan 19 tenaga kesehatan di RUD IA Moeis positif terinfeksi. (Baca: RUU HIP Ingatkan Mantra Soeharto Habisi lawan Politik)

Minimnya kepedulian negara pada tenaga kesehatan juga terlihat pada masalah pemberian insentif. Sejak Maret 2020 pemerintah telah menjanjikan insentif untuk dokter, perawat, dan bidan. Jumlahnya bervariasi. Dokter spesialis mendapatkan Rp15 juta per bulan, dokter umum Rp10 juta per bulan, perawat/bidan Rp7,5 juta, dan tenaga kesehatan lain Rp5 juta. Santunan kematian ditetapkan Rp 300 juta per orang.

Namun, hingga kemarin, cerita tenaga kesehatan yang belum mendapatkan insentif masih bergulir di banyak daerah. Di Jawa Barat pemerintah setempat baru menjanjikan pencairan dalam waktu dekat. Sebanyak 41.000 tenaga kesehatan di daerah ini masih menunggu pencairan insentif dari Pemprov Jabar dan pemerintah pusat. Cerita yang sama datang dari Jawa Tengah. Ratusan tenaga kesehatan di 10 rumah sakit di Banyumas juga belum mendapatkan insentif.

Amnesty International Indonesia menengarai problem yang dialami tenaga kesehatan bagian dari rangkaian kesalahan pemerintah dalam melakukan penanganan Covid-19. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, pandemi ini adalah masalah kesehatan sehingga penyelesaiannya pun harus mengutamakan pendekatan kesehatan, bukan ekonomi.

“Ini banyak dilakukan pemimpin dunia. Musibah kesehatan tapi kenapa dijawab dengan kebijakan ekonomi?” ujarnya kemarin. (Baca juga: Koordinator Humas Meninggal karena Covid-19, Kantor LAN Dikosongkan)

Menurut Usman, hak atas kesehatan, baik untuk tenaga medis maupun pekerja esensial lain, tidak bisa ditawar. Namun faktanya apa yang dialami tenaga kesehatan masih jauh panggang dari api.

“Mereka (tenaga kesehatan) yang di garda depan saja masih diperlakukan seperti itu, bagaimana yang bukan di garda depan? Logikanya kan begitu,” katanya menambahkan.

Dia membenarkan bahwa pemerintah sudah berbuat banyak, termasuk mendistribusikan APD ke seluruh rumah sakit. Tapi faktanya di lapangan itu masih kurang

“Bahkan, jika APD pun sudah cukup, masih ada pertanyaan berikutnya, yakni apakah yang sesuai standar? Sebab saat ini masih ada tenaga kesehatan yang memakai alat pelindung berbahan plastik biasa,” ujarnya.

Fakta saat ini tenaga kesehatan disebut sudah overtime dalam melaksanakan tugas. Tak jarang ada yang tidur di rumah sakit sehingga rawan bagi mereka untuk tertular virus. Padahal seharusnya negara bisa menjamin perlindungan tenaga kesehatan tersebut karena itu sudah diamanatkan UU Kesehatan.

“Dari sisi kondisi kerja ini sudah tidak menyenangkan lagi. Padahal, di level internasional, bekerja di tengah kondisi menyenangkan itu poin penting, hak yang harus dilindungi,” ujarnya.

Tak kalah memprihatinkan adalah kasus intimidasi dan kekerasan yang banyak dialami tenaga medis. Amnesty Internasional Indonesia mencatat ada sejumlah kasus tenaga medis yang ditolak tinggal di kosan karena dinilai bisa membawa virus. Kejadian perampasan jenazah oleh keluarga pasien di rumah sakit yang terjadi di banyak daerah juga bagian dari intimidasi dan kekerasan yang dialami tenaga kesehatan. Ada pula tenaga kesehatan yang diancam karena memperjuangkan haknya. (Baca juga: Diduga Terinfeksi Covid-19, 12.000 Tentara Israel Dikarantina)

“Sangat tidak bisa diterima saat mengetahui bahwa justru pemerintah menghukum para tenaga kesehatan yang menyuarakan kekhawatiran mereka tentang kondisi pekerjaan yang memang mengancam nyawanya,” paparnya.

Sebagai petugas kemanusiaan di garda terdepan, selayaknya penghormatan dan apresiasi yang diperoleh tenaga medis, bukan sebaliknya. Hal ini disampaikan anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay. Dia menyayangkan masih banyaknya stigma dan perlakukan negatif masyarakat terhadap tenaga kesehatan.

“Saya mendengar ada perlakuan yang kurang baik kepada para petugas medis. Itu semestinya tidak boleh terjadi. Justru mereka adalah pahlawan kesehatan,” ucapnya kemarin.

Saleh mengapresiasi saat pemerintah memberikan insentif kepada tenaga medis. Waktu itu sebanyak 78.472 tenaga kesehatan ditargetkan menerima insentif yang totalnya mencapai Rp5,6 triliun. Hingga 29 Juni Kementerian Kesehatan menyatakan baru menyalurkan dana Rp226 miliar untuk 25.311 tenaga kesehatan dan Rp14,1 miliar untuk santunan kematian terhadap 47 tenaga kesehatan. Saleh mengatakan pencairan insentif yang perlu terus didorong agar tepat waktu. Pemerintah menurut Saleh harus serius memberikan hak tenaga kesehatan karena mereka sudah bertaruh nyawa.

“Perlindungan untuk para tenaga medis sangat mendesak. Ini yang belum mendapat jawaban yang memuaskan,” tandasnya. (Baca juga: 8 Provinsi dengan Laju Tertinggi Covid-19 Jadi Perhatian Presiden)

Perlu Pemeriksaan Rutin

Banyaknya tenaga kesehatan yang terinfeksi dan gugur dalam tugas menjadi keprihatinan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). Salah seorang dokter yang juga anggota Dewan Pertimbangan PB IDI Zaenal Abidin mengatakan, salah satu faktor yang menyebabkan banyak dokter tertular virus dan meninggal karena mereka berpindah-pindah rumah sakit dalam bertugas. Ada dokter yang harus berpindah hingga dua atau tiga rumah sakit dalam sehari.

“Mereka harus pindah karena mendampingi konsulen atau mem-follow up pasien. Nah, bisa jadi konsulennya itu sebenarnya membawa virus meski tanpa gejala,” ujarn Ketua Umum PB IDI periode 2012-2015 ini kepada KORAN SINDO. (Lihat videonya: Banjir Bandang di Kabupaten Luwu Hancurkan Akses Jalan Desa)

Untuk mencegah lebih banyak tenaga medis, terutama dokter, yang menjadi korban, Zaenal mengusulkan agar dilakukan pemeriksaan kesehatan berkala kepada tenaga medis. Pemeriksaan rutin perlu dilakukan berkala dan hasilnya diketahui langsung pada hari itu juga. Jika ditemukan tenaga kesehatan yang positif langsung diistirahtakan untuk menjalani isolasi dan perawatan. Tanpa pemeriksaan kesehatan yang rutin, dia curiga ada tenaga kesehatan yang melayani pasien justru saat dia sudah tertular. Selain membahayakan pasien juga membahayakan keluarganya di rumah.

Zaenal mengatakan, sudah ada beberapa rumah sakit yang melakukan pemeriksaan dimaksud namun belum banyak. Menurut dia, pemerintah mestinya tahu kondisi ini dan segera bertindak demi menyelamatkan nyawa tenaga kesehatan. Mengenai anggaran, Zaenal mengatakan seharusnya Kementerian Kesehatan memperjuangakannya. “Kemenkes seharusnya ngotot memperjuangkan anggarannya,” ujarnya. (Kiswondari/Bakti)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1020 seconds (0.1#10.140)