Bijak Memproduksi Konten di Media Sosial
loading...
A
A
A
Konten di jagat media sosial (medsos) seolah kian tak terkontrol. Belakangan ini, kita dikagetkan dengan sederet tayangan di medsos yang jauh dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Ada yang pamer sensualitas dan seksualitas, hoaks, tipu muslihat, hedonisme, nekat, hingga aksi sembrono hingga bertaruh nyawa seperti menghadang truk yang tengah melaju kencang.
Bahkan yang terakhir, para pegiat medsos ini sengaja menyebarkan dengan konten bernuansa eksploitatif dan membahayakan. Ini seperti terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB), nenek-nenek dieksploitasi lewat adegan mandi lumpur (mud bath).
Tayangan yang memanfaatkan platform TikTok ini dilakukan secara live streaming atau langsung. Lantaran hasilnya menggiurkan dan saling menguntungkan, maka aksi ini seperti menjadi tren.
Penggunaan nenek sebagai pemeran (talent) di dunia medsos sejatinya tak jadi masalah. Malah, kadang kehadiran lansia memberi daya tarik tersendiri. Apalagi jika dikemas dengan isu yang kuat atau mendidik.
Ini seperti dilakukan Mbah Minto asal Klaten, Jawa Tengah yang masyhur di platform YouTube. Demikian juga akun Mbah Warno ASMR yang menunjukkan kegigihannya di tengah masa lansia seperti tetap menjahit, mencari rumput dan menciptakan beragam makanan, termasuk yang sudah langka atau tradisional.
Namun yang terjadi di NTB ini bukan demikian. Tidak ada unsur inspirasi yang bernilai positif. Tak heran, aksi nenek mengguyur tubuhnya dengan lumpur itu tak lebih sebagai bentuk mengemis. Lebih tepatnya ngemis online. Aksi ini jelas menggerus nilai-nilai kemanusiaan.
Kita bersyukur, meski telah menyebar dan dikonsumsi publik, pemerintah lewat Kementerian Komunikasi dan Informatika akhirnya mencabut (take down) konten ngemis online ini lewat Surat Edaran dengan Nomor 2 Tahun 2023 tersebut, tak hanya konten yang mengeksploitasi lansia yang dicabut, namun juga anak, penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya.
Fenomena ngemis online pun sebenarnya menjadi jalan pintas sejumlah orang untuk mendapatkan penghasilan lewat medsos. Tak hanya warga NTB, sejumlah pengungsi di Suriah juga memanfaatkan pernah platform TikTok untuk meminta-minta dengan mengeksploitasi kegetiran nasibnya. Dari cara ini, mereka bisa mengantongi hingga Rp15 juta hanya tempo satu jam. Tentu usaha yang menggiurkan, meski di balik itu ada makelar, kreator dan platform yang juga diindikasi turut melakukan eksploitasi.
Meski sudah ada langkah keras, belum ada jaminan konten-konten bernuansa eksploitatif terhadap kelompok rawan ke depan akan hilang. Selain tidak seragamnya kesadaran dan pengetahuan pembuat konten, konsumen medsos di Indonesia juga sangat besar, bahkan khusus TikTok berada di peringkat kedua di dunia. Artinya, ada banyak kepentingan yang berkelindan di dalamnya.
Situasi ini tentu tidak boleh dianggap aman-aman saja. Sebab efek medsos sangat luar biasa. Karakter medsos yang mudah diakses, cepat menyebar, murah dan interaktif membuat pengelolaan konten membutuhkan tantangan tersendiri. Baik pencipta konten, publik maupun platform harus memiliki semangat yang sama untuk mewujudkan isi yang lebih berkualitas dan bermanfaat.
Bahkan yang terakhir, para pegiat medsos ini sengaja menyebarkan dengan konten bernuansa eksploitatif dan membahayakan. Ini seperti terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB), nenek-nenek dieksploitasi lewat adegan mandi lumpur (mud bath).
Tayangan yang memanfaatkan platform TikTok ini dilakukan secara live streaming atau langsung. Lantaran hasilnya menggiurkan dan saling menguntungkan, maka aksi ini seperti menjadi tren.
Penggunaan nenek sebagai pemeran (talent) di dunia medsos sejatinya tak jadi masalah. Malah, kadang kehadiran lansia memberi daya tarik tersendiri. Apalagi jika dikemas dengan isu yang kuat atau mendidik.
Ini seperti dilakukan Mbah Minto asal Klaten, Jawa Tengah yang masyhur di platform YouTube. Demikian juga akun Mbah Warno ASMR yang menunjukkan kegigihannya di tengah masa lansia seperti tetap menjahit, mencari rumput dan menciptakan beragam makanan, termasuk yang sudah langka atau tradisional.
Namun yang terjadi di NTB ini bukan demikian. Tidak ada unsur inspirasi yang bernilai positif. Tak heran, aksi nenek mengguyur tubuhnya dengan lumpur itu tak lebih sebagai bentuk mengemis. Lebih tepatnya ngemis online. Aksi ini jelas menggerus nilai-nilai kemanusiaan.
Kita bersyukur, meski telah menyebar dan dikonsumsi publik, pemerintah lewat Kementerian Komunikasi dan Informatika akhirnya mencabut (take down) konten ngemis online ini lewat Surat Edaran dengan Nomor 2 Tahun 2023 tersebut, tak hanya konten yang mengeksploitasi lansia yang dicabut, namun juga anak, penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya.
Fenomena ngemis online pun sebenarnya menjadi jalan pintas sejumlah orang untuk mendapatkan penghasilan lewat medsos. Tak hanya warga NTB, sejumlah pengungsi di Suriah juga memanfaatkan pernah platform TikTok untuk meminta-minta dengan mengeksploitasi kegetiran nasibnya. Dari cara ini, mereka bisa mengantongi hingga Rp15 juta hanya tempo satu jam. Tentu usaha yang menggiurkan, meski di balik itu ada makelar, kreator dan platform yang juga diindikasi turut melakukan eksploitasi.
Meski sudah ada langkah keras, belum ada jaminan konten-konten bernuansa eksploitatif terhadap kelompok rawan ke depan akan hilang. Selain tidak seragamnya kesadaran dan pengetahuan pembuat konten, konsumen medsos di Indonesia juga sangat besar, bahkan khusus TikTok berada di peringkat kedua di dunia. Artinya, ada banyak kepentingan yang berkelindan di dalamnya.
Situasi ini tentu tidak boleh dianggap aman-aman saja. Sebab efek medsos sangat luar biasa. Karakter medsos yang mudah diakses, cepat menyebar, murah dan interaktif membuat pengelolaan konten membutuhkan tantangan tersendiri. Baik pencipta konten, publik maupun platform harus memiliki semangat yang sama untuk mewujudkan isi yang lebih berkualitas dan bermanfaat.