Jalan Kaki Sumut-Jakarta, Ratusan Petani Tuntut Cabut HGU Lahan PTPN II

Selasa, 14 Juli 2020 - 16:07 WIB
loading...
Jalan Kaki Sumut-Jakarta,...
Sejumlah perwakilan petani mengadukan kasus penyerobotan lahan tersebut kepada Fraksi PKB DPR di Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Selasa (14/7/2020). FOTO/SINDOnews/ABDUL ROCHIM
A A A
JAKARTA - Ratusan petani dari Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut) menggelar aksi jalan kaki (longmarch) untuk bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta. Aksi jalan kaki ini dilakukan sebagai upaya mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) mencabut izin perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 171/2009 lahan seluas 854 hektare yang diberikan kepada PTPN II Deli Serdang. HGU tersebut selama ini menjadi sumber konflik agraria yang banyak merugikan warga Deli Serdang.

Aksi jalan kaki ini dilakukan sejak 25 Juni lalu. Pada Selasa (14/7/2020), sejumlah perwakilan petani mengadukan kasus penyerobotan lahan tersebut kepada Fraksi PKB DPR di Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta. Sementara ratusan petani lainnya hingga saat ini masih di perjalanan menuju Jakarta.

Ketua Fraksi PKB DPR Cucun Ahmad Syamsurijal mengatakan, FPKB mendesak Kementerian ATR-BPN mencabut izin perpanjangan HGU Nomor 171/2009 lahan seluas 854 hektare yang diberikan kepada PTPN II Deli Serdang. "Kami mendesak agar Kementerian Agraria dan Tata Ruang mencabut HGU Nomor 171/2009 karena banyak merugikan para petani di Kawasan Deli Serdang, Sumatera Utara," ujar Cucun saat menerima perwakilan petani Simalingkar dan Sei Mencirim di Ruang Fraksi PKB DPR.( )

Cucun menjelaskan, penerbitan HGU 171/2009 telah banyak diprotes para petani karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Harusnya HGU diterbitkan jika status lahan tidak dalam sengketa. Namun kenyataannya di atas lahan yang hak guna usahanya diberikan kepada PTPN II oleh Kementerian ATR berdiri rumah tapak dan lahan pertanian yang dikelola masyarakat. "Lebih baik HGU tersebut dicabut terlebih dahulu lalu diterbitkan kembali HGU baru yang mengakomodasi kepentingan masyarakat petani di sana," ujarnya.

Cucun mengatakan Kementerian ATR maupun PTPN II tidak bisa mengabaikan fakta jika para petani telah menempati lahan di Kecamatan Pancur Batu tersebut sejak puluhan tahun silam. Mereka telah berdomisili dan mencari nafkah di lahan bekas perkebunan tembakau yang dikelola Belanda di masa penjajahan tersebut. Bahkan dari berbagai dokumen yang ada para petani tersebut mendapatkan SK Landreform tahun 1984 untuk menempati dan mengelola lahan tersebut.

"Fakta-fakta ini tidak bisa ditutupi dan diabaikan dengan intimidasi maupun penggusuran paksa oleh PTPN maupun aparat terkait," tuturnya.(Baca Juga: WALHI Ungkap Ketertutupan Informasi HGU Penyebab Konflik Agraria)

Ironisnya, lanjut Cucun, HGU Nomor 171/2009 yang masih bermasalah tersebut di tahun 2019 diubah oleh Kementerian ATR menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 1938 dan 1939 untuk PTPN II. Rencananya di atas lahan yang berdiri rumah tapak dan lahan pertanian warga Simalingkar akan didirikan Kawasan perumahan komersil. "Ini kan sangat menyakitkan. HGU masih bermasalah dan belum selesai ternyata diterbitkan HGB untuk perumahan komersil di atas lahan yang menjadi sumber konflik," katanya.

Kasus konflik agraria di Desa Sei Mencirim, kata Cucun, lebih menyedihkan lagi. Di Kawasan ini para petani yang telah memegang sertifikat lahannya diambil begitu saja oleh PTPN II. Mereka dengan dikawal ribuan aparat keamanan membuldozer lahan pertanian dan rumah tapak para petani. Hal itu dilakukan di tengah masa pandemi corona (COVID-19) 11 Maret 2020. "Maksud saya kenapa kita tidak mengedepankan sisi kemanusiaan di masa pandemi ini. Kalau toh mereka merasa berhak apa tidak ada acara-cara persuasif yang bisa diterima semua pihak untuk penyelesaiannya," katanya.

Cucun menegaskan, jika lahan yang menjadi sumber konflik PTPN dengan petani Simalingkar dan Sei Mencirim tidak lebih dari 700 hektare. Luasan lahan itu tergolong sangat kecil dibandingkan dengan luas lahan yang dikelola oleh PTPN II. "Luasan lahan yang dituntut petani kecil ini sangat tidak berarti dibandingkan dengan hak Kelola yang dinikmati banyak korporasi besar di negeri ini. Artinya kalau mau duduk bareng PTPN II dan petani saya rasa perselisihan ini akan bisa berakhir dengan win-win solution," katanya.

Wakil Ketua Komisi IV Daniel Johan mengatakan, posisi Fraksi PKB 100% mendukung langkah perjuangan para petani atas lahan yang menjadi sengketa. "Saya sudah komunikasi dengan Wamen ATR Wamen Surya Tjandra atas sengkarut tanah Simalingkar. Ini harus diselesaikan. PTPN harus selesaikan kasus ini dengan Komisi VI," katanya.

Ketua Umum DPN Gerbang Tani Idham Arsyad yang mewakili para petani mengatakan, lahan HGU tersebut selama ini dikelola dan ditempati para petani sejak 1951. Tanah dan lahan pertanian tersebut juga telah mendapatkan legalitas melalui SK Landreform sejak 1984. Bahkan, 36 petani di Sei Mencirim yang ikut tergusur sudah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM).

"Konflik agraria ini selalu terjadi dan trennya semakin tinggi dari tahun ke tahun. Konflik agraria di Deliserdang ini melibatkan petani yang tergabung dalam SPSB dengan PTPN II menyangkut lahan seluas sekitar 854 hektare dan area petani yang tergabung STMB seluas 80 hektare. Persoalan ini harus segera diselesaikan oleh Kementerian ATR/BPN. Jangan sampai menunggu adanya korban kekerasan, baru bertindak," ujar Idham.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2096 seconds (0.1#10.140)