Peringatan Malari: Rizal Ramli hingga Jumhur Hidayat Sepakat Setop Gerakan Penundaan Pemilu

Senin, 16 Januari 2023 - 21:25 WIB
Ratusan aktivis dari berbagai angkatan dan daerah memperingati peristiwa Malapetaka 15 Januari atau Malari di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (16/1/2023). Foto/Istimewa
JAKARTA - Ratusan aktivis dari berbagai angkatan dan daerah memperingati peristiwa Malapetaka 15 Januari atau Malari di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (16/1/2023). Acara itu sekaligus perayaan HUT ke-23 Indonesia Demokrasi Monitor (Indemo).

Peristiwa Malari terjadi pada era Orde Baru saat Presiden Soeharto berkuasa. Kerusuhan berdarah itu bertepatan dengan kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka bertemu Presiden Soeharto.

Gerakan Mahasiswa yang dipelopori Hariman Siregar dari Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) saat itu menolak kedatangan Tanaka dengan alasan Indonesia jangan terlalu bergantung kepada modal asing.





Pendiri Humanika Bursah Zarnubi menjelaskan tema acara di TIM itu adalah “Menolak Lupa: Pertahankan Demokrasi”. Dia mengatakan, tema itu menjadi sangat penting karena saat ini ada upaya-upaya yang mau menyelewengkan demokrasi.

“Ide penundaan pemilu dan perpanjangan 3 periode masa jabatan saat ini kembali digaungkan. Siapa yang menginginkan perpanjangan jabatan adalah mau merusak demokrasi,” kata Bursah.

Sementara itu, Hariman Siregar juga merasa aneh dengan wacana perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode serta penundaan Pemilu 2024. Hariman juga menceritakan saat menemui Bung Hatta bahwa yang dimaksud dapat dipilih kembali dalam UUD 1945 asli itu pun semangatnya adalah dua periode. Karena itu, Hariman merasa aneh saat mendapat wacana tersebut.

Akademisi ilmu politik Sidratahta Mukhtar berpendapat, perpanjangan masa jabatan Presiden merupakan ancaman dalam konsolidasi demokrasi. “Seharusnya setiap Presiden itu mendorong agar demokrasi menjadi lebih matang dan karenanya Presiden harus memberi arahan untuk kematangan demokrasi itu. Hal ini pernah dilakukan oleh Presiden Habibie dan Gus Dur,” katanya.

Akademisi ilmu hukum yang juga aktivis Chudri Sitompul mengingatkan bahwa pemimpin Nazi Adolf Hitler pun dipilih secara demokratis dan menggunakan demokrasi menjadi sangat otoriter. “Karena itulah agar demokrasi tidak diselewengkan, maka esensi demokrasi yang berupa pembatasan kekuasaan dan kontrol masyarakat dan penghormatan kepada hak asasi harus terus dipertahankan dan dikembangkan. Bila ada penyelewengan, maka masyarakat sipil yang harus berdiri di barisan terdepan,” imbuhnya.

Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun menilai ambang batas pencalonan Presiden atau presidential threshold harus dihapuskan. Dia menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) bisa diterbitkan untuk menghapusnya. “Bila desakan dari masyarakat sangat kuat dalam waktu dekat ini pun Presiden bisa keluarkan Perppu itu,” kata Refly.

Tokoh aktivis era 1978 yang beberapa kali masuk pemerintahan Rizal Ramli mengusulkan agar anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) diganti dengan perwakilan partai politik (parpol). Sehingga, masing-masing anggota KPU bisa mengawal suara parpolnya.

Tokoh aktivis era 1980-an Jumhur Hidayat mengatakan kekecewaan semua aktivis tersebut bisa disalurkan dengan ikut bersama-sama turun ke jalan. “Kebetulan beberapa kelompok masyarakat sipil termasuk kaum buruh, petani, masyarakat adat, aktivis lingkungan hidup, mahasiswa, dan sebagainya merencanakan mengepung DPR pada tanggal 14 Februari ini,” pungkasnya.
(rca)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More