Tak Cukup Doktrin Memaafkan Tapi Tidak Melupakan
Sabtu, 14 Januari 2023 - 11:30 WIB
Proses belajar itu tidak untuk meniru mentah-mentah apa yang dilakukan negara lain dalam menyelesaikan kasus HAM masa lalu, namun setidaknya kita memiliki referensi untuk nantinya memutuskan solusi dan langkah terbaik menurut kita sendiri dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Kasus Afrika Selatan yang membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu disebut-sebut bisa menjadi salah satu model penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
Namun dengan segala kompleksitas persoalan HAM yang ada di Indonesia, sepertinya langkah mengadopsi model Afrika Selatan sepertinya juga masih harus diuji.
Di luar model Afrika Selatan, secara teoritis setidaknya ada tiga model penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pertama, yaitu to forget and to forgive (melupakan dan memaafkan; artinya, tidak ada pengadilan dan lupakan masa lalu).
Selanjutnya adalah“never to forget, never to forgive”, (tidak melupakan dan tidak memaafkan). Artinya, peristiwa masa lalu akan tetap diproses secara hukum. Terakhir adalah never to forget but to forgive” (tidak melupakan, tetapi kemudian memaafkan. Artinya, ungkapkan terlebih dulu, sampaikan kebenaran, kemudian ampuni). Penyelesaian model ini merupakan bentuk kompromi.
Lalu model mana yang cocok kita terapkan di Indonesia? Dari ketiga model tersebut dan berdasarkan kondisi yang ada, idealnya pemerintah seharusnya mengambil model kedua untuk mengadili kasus pelanggaran HAM masa lalu secara adil karena bagaimanapun juga Indonesia adalah Negara hukum.
Tetapi, jika akhirnya itu dapat mengundang resisteni pelaku yang akan mempersulit jalannya persidangan, maka Pemerintah minimal mengambil model ketiga di mana tetap ada persidangan untuk membuktian kebenrana walaupun nanti berakhir dengan memaafkan.
Keluarnya pernyataan pemerintah yang mengakui adanya 12 pelanggaran HAM berat masa lalu setidaknya bisa menjadi awal yang baik untuk menuju implementasi langkah-langkah konkrit baik itu bersifat yudisial maupun non yudisial.
Apapun nanti yang ditempuh pemerintah sebagai tindak lanjut pengakuan adanya pelanggaran HAM berat masa lalu, mutlak dibutuhkan political will dari pemerintah untuk tidak berhenti pada doktrin “memaafkan tetapi tidak melupakan”. Lebih dari itu harus diikuti langkah nyata berikutnya menindaklanjuti pengakuan telah terjadi pelanggaran HAM masa lalu.
Namun dengan segala kompleksitas persoalan HAM yang ada di Indonesia, sepertinya langkah mengadopsi model Afrika Selatan sepertinya juga masih harus diuji.
Di luar model Afrika Selatan, secara teoritis setidaknya ada tiga model penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pertama, yaitu to forget and to forgive (melupakan dan memaafkan; artinya, tidak ada pengadilan dan lupakan masa lalu).
Selanjutnya adalah“never to forget, never to forgive”, (tidak melupakan dan tidak memaafkan). Artinya, peristiwa masa lalu akan tetap diproses secara hukum. Terakhir adalah never to forget but to forgive” (tidak melupakan, tetapi kemudian memaafkan. Artinya, ungkapkan terlebih dulu, sampaikan kebenaran, kemudian ampuni). Penyelesaian model ini merupakan bentuk kompromi.
Lalu model mana yang cocok kita terapkan di Indonesia? Dari ketiga model tersebut dan berdasarkan kondisi yang ada, idealnya pemerintah seharusnya mengambil model kedua untuk mengadili kasus pelanggaran HAM masa lalu secara adil karena bagaimanapun juga Indonesia adalah Negara hukum.
Tetapi, jika akhirnya itu dapat mengundang resisteni pelaku yang akan mempersulit jalannya persidangan, maka Pemerintah minimal mengambil model ketiga di mana tetap ada persidangan untuk membuktian kebenrana walaupun nanti berakhir dengan memaafkan.
Keluarnya pernyataan pemerintah yang mengakui adanya 12 pelanggaran HAM berat masa lalu setidaknya bisa menjadi awal yang baik untuk menuju implementasi langkah-langkah konkrit baik itu bersifat yudisial maupun non yudisial.
Apapun nanti yang ditempuh pemerintah sebagai tindak lanjut pengakuan adanya pelanggaran HAM berat masa lalu, mutlak dibutuhkan political will dari pemerintah untuk tidak berhenti pada doktrin “memaafkan tetapi tidak melupakan”. Lebih dari itu harus diikuti langkah nyata berikutnya menindaklanjuti pengakuan telah terjadi pelanggaran HAM masa lalu.
(ynt)
Lihat Juga :
tulis komentar anda