Tak Cukup Doktrin Memaafkan Tapi Tidak Melupakan

Sabtu, 14 Januari 2023 - 11:30 WIB
loading...
Tak Cukup Doktrin “Memaafkan Tapi Tidak Melupakan”
Pelanggaran HAM di masa lalu tetap harus diusut. FOTO/WAWAN BASTIAN
A A A
Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui adanya 12 pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) berat yang terjadi di masa lalu. Hal ini disampaikan RI 1 tersebut seusai menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Rabu 11 Januari 2023.

Adapun ke-12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang laporannya diserahkan kepada Presiden Jokowi siang itu, yakni Pembunuhan Massal 1965, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1998, dan Kerusuhan Mei 1998.

Kemudian Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 3 Mei 1999, Peristiwa Wasior dan Wamena 2001, Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003, serta Peristiwa Penembakan Misters (Petrus) 1982-1985.

Apresiasi layak diberikan dengan keluarnya pernyataan pemerintah yang mengakui adanya pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut. Setidaknya hal itu merupakan langkah maju di mana selama ini terkesan negara ‘cuci tangan’ dan tidak mengakui banyaknya kasus pelanggaran HAM di tanah air.

Bahkan negara seolah-olah diklaim menafikan adanya pelanggaran kasus HAM berat di masa lalu. Dengan kondisi tersebut, jangankan untuk menyelesaikannya, untuk mengakui saja selama ini negara terkesan enggan. Oleh karenanya adanya pengakuan telah terjadi 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut setidaknya menjadi angin segar untuk menuntaskan kasus-kasus HAM masa lalu.

Suara pesimistis dan meragukan juga disuarakan banyak pihak atas keluarnya pengakuan pemerintah atas kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu tersebut. Pengakuan pemerintah tersebut dinggap tidak lebih dari langkah politik yang tak lebih dari bentuk pencitraan.

Bahkan sejumlah pihak juga masih meragukan keseriusan pemerintah mengenai penuntas kasus HAM masa lalu meski sudah ada pengakuan dari pemerintah. Tindak lanjut yang bersifat kongkret masih ditunggu untuk membuktikan bahwa ada keseriusan dalam hal itu,.

Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani misalnya menilai pengakuan pemerintah mengenai adanya 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu hanyalah aksesori politik. Ia menyebut hal itu dilakukan guna memenuhi janji politik yang dikemukakan oleh orang nomor satu di Indonesia tersebut pada tahun 2014. Menuurut Ismail, pengakuan tersebut tidaklah memberikan dampak yang berarti bagi para korban terutama pemenuhan tuntutan keadilan. Menurutnya, pengakuan tersebut hanya menguntungkan secara politis bagi pihak pemerintah.

Terlepas adanya pihak yang mengapresiasi maupun pihak yang meragukan keseriusan pemerintah menuntaskan kasus HAM masa lalu, negara kita setidaknya harus belajar dengan negara lain bagaimana menyelesaikan kasus HAM masa lalu.

Proses belajar itu tidak untuk meniru mentah-mentah apa yang dilakukan negara lain dalam menyelesaikan kasus HAM masa lalu, namun setidaknya kita memiliki referensi untuk nantinya memutuskan solusi dan langkah terbaik menurut kita sendiri dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Kasus Afrika Selatan yang membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu disebut-sebut bisa menjadi salah satu model penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

Namun dengan segala kompleksitas persoalan HAM yang ada di Indonesia, sepertinya langkah mengadopsi model Afrika Selatan sepertinya juga masih harus diuji.

Di luar model Afrika Selatan, secara teoritis setidaknya ada tiga model penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pertama, yaitu to forget and to forgive (melupakan dan memaafkan; artinya, tidak ada pengadilan dan lupakan masa lalu).

Selanjutnya adalah“never to forget, never to forgive”, (tidak melupakan dan tidak memaafkan). Artinya, peristiwa masa lalu akan tetap diproses secara hukum. Terakhir adalah never to forget but to forgive” (tidak melupakan, tetapi kemudian memaafkan. Artinya, ungkapkan terlebih dulu, sampaikan kebenaran, kemudian ampuni). Penyelesaian model ini merupakan bentuk kompromi.

Lalu model mana yang cocok kita terapkan di Indonesia? Dari ketiga model tersebut dan berdasarkan kondisi yang ada, idealnya pemerintah seharusnya mengambil model kedua untuk mengadili kasus pelanggaran HAM masa lalu secara adil karena bagaimanapun juga Indonesia adalah Negara hukum.

Tetapi, jika akhirnya itu dapat mengundang resisteni pelaku yang akan mempersulit jalannya persidangan, maka Pemerintah minimal mengambil model ketiga di mana tetap ada persidangan untuk membuktian kebenrana walaupun nanti berakhir dengan memaafkan.

Keluarnya pernyataan pemerintah yang mengakui adanya 12 pelanggaran HAM berat masa lalu setidaknya bisa menjadi awal yang baik untuk menuju implementasi langkah-langkah konkrit baik itu bersifat yudisial maupun non yudisial.

Apapun nanti yang ditempuh pemerintah sebagai tindak lanjut pengakuan adanya pelanggaran HAM berat masa lalu, mutlak dibutuhkan political will dari pemerintah untuk tidak berhenti pada doktrin “memaafkan tetapi tidak melupakan”. Lebih dari itu harus diikuti langkah nyata berikutnya menindaklanjuti pengakuan telah terjadi pelanggaran HAM masa lalu.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1158 seconds (0.1#10.140)