Indonesia Hadapi Tantangan Ideologi, PDIP Jangan Puas Menang Pemilu dengan 20%
Jum'at, 06 Januari 2023 - 19:25 WIB
Sementara itu, M.Qodari mengatakan berdasarkan kemampuan PDIP sebagai sebuah parpol modern yang dikelola profesional, hampir pasti partai itu menang kembali di Pemilu 2024. Namun, baginya, tantangan PDIP saat ini adalah bagaimana bisa menang dengan raihan suara 30-40%. Salah satu kuncinya adalah membangun sebuah perasaan di hati rakyat, bahwa bila PDIP tak semakin kuat, maka eksisten dirinya serta NKRI akan terancam.
“PDIP jangan puas dengan angka 20%. Harus sasar 30-40%. Sebab kita memang menghadapi tantangan ideologi. Untuk menjaga Republik, Indonesia tetap seperti pada hari ini, maka PDIP harus memastikan punya kekuatan jauh lebih besar menjaga keutuhan bangsa dan negara,” kata Qodari.
Sirojuddin Abbas juga menilai PDIP tak boleh menempatkan diri dalam konteks politik nasional saja, namun harus secara global. Karena banyak kepentingan bertarung dalam konteks global di Indonesia.
“Ini perlu dicermati agar PDIP dan Indonesia bisa melakukan positioning baik, agar kita tak mismatch dalam kancah internasional. Kondisi ini sangat kritikal. Saya berharap diskusi mengenai model pilihan kebijakan ekonomi, peran negara dan parpol, betul-betul membaca arah global, agar kita tak salah langkah. Kalau salah, ekspektasi kita bisa berubah akibat perubahan global,” urai Sirajuddin Abbas.
Sirojuddin Abbas juga menyinggung soal pentingnya PDIP dan partai nasionalis lainnya tak sekadar berusaha mengakomodasi kelompok agama ke dalam dirinya. Namun juga memastikan agar terjadi transformasi terhadap kelompok-kelompok itu.
“PDIP tak cukup hanya mengakomodasi kelompok Islam ke dalamnya. Tapi harus juga melakukan transformasi terhadap kelompok ini, bagaimana keislaman yang dihidupi oleh ideologi PDIP, juga terwujud. Kalau PDIP lebih dalam masuk ke dalam pembentukan model Islam yang transformatif maka itu sangat relevan. Jika tidak, maka pengikisan nilai kenegaraan oleh kelompok tertentu akan sulit teratasi,” beber Abbas.
Sedangkan, Burhanuddin Muhtadi berbicara mengenai bagaimana fenomena demokrasi global yang juga terjadi di Indonesia. Yakni fenomena munculnya personalisasi politik, serta polarisasi dengan menggunakan sentimen sektarian.
Di Indonesia saat ini, kata Burhan, kompetisi antarparpol hanya menyisakan isu pluralisme vs islamisme. Isu regionalisme vs sentralisme dan isu antarkelas, cenderung tak hidup.
“Di sinilah bahaya ketika yang tersisa hanya isu sektarianisme. Itulah basisnya kompetisi parpol saat ini. Orang tak bicara soal model pengembangan ekonomi. Tak ada perbedaan parpol dalam isu ekonomi, budaya, dan sebagainya. Hanya ada menyangkut isu agama misalnya. Kalau tak ada komitmen menjaga pluralisme dan semua parpol larut pada isu sektoral dan sektarian, kita bisa menghadapi kekacauan ke depan,” tegas Burhan.
Burhan juga memberikan gambaran soal pentingnya PDIP merangkul anak muda. Bukan hanya memasuki dunia media sosial yang mereka gandrungi, namun juga terlibat dalam isu-isu kehidupan yang disukai.
“PDIP jangan puas dengan angka 20%. Harus sasar 30-40%. Sebab kita memang menghadapi tantangan ideologi. Untuk menjaga Republik, Indonesia tetap seperti pada hari ini, maka PDIP harus memastikan punya kekuatan jauh lebih besar menjaga keutuhan bangsa dan negara,” kata Qodari.
Sirojuddin Abbas juga menilai PDIP tak boleh menempatkan diri dalam konteks politik nasional saja, namun harus secara global. Karena banyak kepentingan bertarung dalam konteks global di Indonesia.
“Ini perlu dicermati agar PDIP dan Indonesia bisa melakukan positioning baik, agar kita tak mismatch dalam kancah internasional. Kondisi ini sangat kritikal. Saya berharap diskusi mengenai model pilihan kebijakan ekonomi, peran negara dan parpol, betul-betul membaca arah global, agar kita tak salah langkah. Kalau salah, ekspektasi kita bisa berubah akibat perubahan global,” urai Sirajuddin Abbas.
Sirojuddin Abbas juga menyinggung soal pentingnya PDIP dan partai nasionalis lainnya tak sekadar berusaha mengakomodasi kelompok agama ke dalam dirinya. Namun juga memastikan agar terjadi transformasi terhadap kelompok-kelompok itu.
“PDIP tak cukup hanya mengakomodasi kelompok Islam ke dalamnya. Tapi harus juga melakukan transformasi terhadap kelompok ini, bagaimana keislaman yang dihidupi oleh ideologi PDIP, juga terwujud. Kalau PDIP lebih dalam masuk ke dalam pembentukan model Islam yang transformatif maka itu sangat relevan. Jika tidak, maka pengikisan nilai kenegaraan oleh kelompok tertentu akan sulit teratasi,” beber Abbas.
Sedangkan, Burhanuddin Muhtadi berbicara mengenai bagaimana fenomena demokrasi global yang juga terjadi di Indonesia. Yakni fenomena munculnya personalisasi politik, serta polarisasi dengan menggunakan sentimen sektarian.
Di Indonesia saat ini, kata Burhan, kompetisi antarparpol hanya menyisakan isu pluralisme vs islamisme. Isu regionalisme vs sentralisme dan isu antarkelas, cenderung tak hidup.
“Di sinilah bahaya ketika yang tersisa hanya isu sektarianisme. Itulah basisnya kompetisi parpol saat ini. Orang tak bicara soal model pengembangan ekonomi. Tak ada perbedaan parpol dalam isu ekonomi, budaya, dan sebagainya. Hanya ada menyangkut isu agama misalnya. Kalau tak ada komitmen menjaga pluralisme dan semua parpol larut pada isu sektoral dan sektarian, kita bisa menghadapi kekacauan ke depan,” tegas Burhan.
Burhan juga memberikan gambaran soal pentingnya PDIP merangkul anak muda. Bukan hanya memasuki dunia media sosial yang mereka gandrungi, namun juga terlibat dalam isu-isu kehidupan yang disukai.
tulis komentar anda