Indonesia Hadapi Tantangan Ideologi, PDIP Jangan Puas Menang Pemilu dengan 20%
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jelang perayaan usianya yang ke-50, PDI Perjuangan (PDIP) menghadapi berbagai kondisi yang harus dijawab dengan baik. Dari mulai menjaga kepercayaan rakyat, memastikan ideologi dalam tindakan, dan menjaga Indonesia dari gempuran kepentingan luar. Termasuk memastikan anak muda Indonesia tetap mendukung partai politik (parpol) nasionalis.
Hal itu terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) sesi II yang digelar DPP PDIP dengan sejumlah pemuka pendapat (opinion leader) di Kantor Pusat Partai PDIP di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Jumat (6/1/2023).
Opinion leader yang hadir adalah Burhanuddin Muhtadi, M.Qodari, Hendri Satrio, Iwel Sastra, Sirojuddin Abbas, Trias Kuncahyono, Claudius Boekan, Ari Nurcahyo, dan Aiman Witjaksono.
Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto memimpin jajaran partai di dalam pertemuan itu. Hadir Wasekjen Sadarestuwati, dan sejumlah Ketua DPP PDIP seperti Djarot Saiful Hidayat, Eriko Sotarduga, Sri Rahayu, Wiryanti Sukamdani, Mindo Sianipar, I Made Urip, Rokhmin Dahuri, dan Wakil Bendahara Umum Rudianto Tjen. Wakil Ketua Balitpus PDIP Sonny Keraf. Anggota DPR Deddy Yevri Sitorus, Sekjen dan Ketua DPP TMP Restu Hapsari dan Hanjaya Setiawan menjadi peserta juga, bersama Andreas Hugo Pareira sebagai moderator.
“Kami mencoba melakukan banyak dialog untuk menggunakan teori dalam menilai kondisi objektif dan kemudian mengaitkan dengan cita-cita pendiri bangsa demi mewujudkan cita-cita Indonesia Raya,” kata Hasto.
Trias Kuncahyono menyatakan hal yang harus dipastikan seluruh jajaran PDIP adalah kepercayaan rakyat. Trust rakyat itu takkan jatuh dari langit, namun merupakan upaya yang profesional dari partai mewujudkan cita-cita pendirian partai politik yakni adalah kesejahteraan bersama.
Selain itu, PDIP harus memastikan ideologi menjadi pegangan seluruh anggota partai, dan direalisasikan dalam pilihan kebijakan serta tindakan sehari-hari. “Jadi kader harus paham ideologi partai dan benar-benar menghidupinya. Kerap Wong Cilik hanya dijadikan tujuan rebutan kekuasaan. Ini tak boleh dilakukan PDIP. Ingat, Wong Cilik belum tentu miskin. Namun bisa jadi mereka adalah yang tak bisa menyuarakan pendapat, yang terpinggirkan. Ini yang harus disuarakan,” urai Trias.
Sementara itu, M.Qodari mengatakan berdasarkan kemampuan PDIP sebagai sebuah parpol modern yang dikelola profesional, hampir pasti partai itu menang kembali di Pemilu 2024. Namun, baginya, tantangan PDIP saat ini adalah bagaimana bisa menang dengan raihan suara 30-40%. Salah satu kuncinya adalah membangun sebuah perasaan di hati rakyat, bahwa bila PDIP tak semakin kuat, maka eksisten dirinya serta NKRI akan terancam.
“PDIP jangan puas dengan angka 20%. Harus sasar 30-40%. Sebab kita memang menghadapi tantangan ideologi. Untuk menjaga Republik, Indonesia tetap seperti pada hari ini, maka PDIP harus memastikan punya kekuatan jauh lebih besar menjaga keutuhan bangsa dan negara,” kata Qodari.
Sirojuddin Abbas juga menilai PDIP tak boleh menempatkan diri dalam konteks politik nasional saja, namun harus secara global. Karena banyak kepentingan bertarung dalam konteks global di Indonesia.
“Ini perlu dicermati agar PDIP dan Indonesia bisa melakukan positioning baik, agar kita tak mismatch dalam kancah internasional. Kondisi ini sangat kritikal. Saya berharap diskusi mengenai model pilihan kebijakan ekonomi, peran negara dan parpol, betul-betul membaca arah global, agar kita tak salah langkah. Kalau salah, ekspektasi kita bisa berubah akibat perubahan global,” urai Sirajuddin Abbas.
Sirojuddin Abbas juga menyinggung soal pentingnya PDIP dan partai nasionalis lainnya tak sekadar berusaha mengakomodasi kelompok agama ke dalam dirinya. Namun juga memastikan agar terjadi transformasi terhadap kelompok-kelompok itu.
“PDIP tak cukup hanya mengakomodasi kelompok Islam ke dalamnya. Tapi harus juga melakukan transformasi terhadap kelompok ini, bagaimana keislaman yang dihidupi oleh ideologi PDIP, juga terwujud. Kalau PDIP lebih dalam masuk ke dalam pembentukan model Islam yang transformatif maka itu sangat relevan. Jika tidak, maka pengikisan nilai kenegaraan oleh kelompok tertentu akan sulit teratasi,” beber Abbas.
Sedangkan, Burhanuddin Muhtadi berbicara mengenai bagaimana fenomena demokrasi global yang juga terjadi di Indonesia. Yakni fenomena munculnya personalisasi politik, serta polarisasi dengan menggunakan sentimen sektarian.
Di Indonesia saat ini, kata Burhan, kompetisi antarparpol hanya menyisakan isu pluralisme vs islamisme. Isu regionalisme vs sentralisme dan isu antarkelas, cenderung tak hidup.
“Di sinilah bahaya ketika yang tersisa hanya isu sektarianisme. Itulah basisnya kompetisi parpol saat ini. Orang tak bicara soal model pengembangan ekonomi. Tak ada perbedaan parpol dalam isu ekonomi, budaya, dan sebagainya. Hanya ada menyangkut isu agama misalnya. Kalau tak ada komitmen menjaga pluralisme dan semua parpol larut pada isu sektoral dan sektarian, kita bisa menghadapi kekacauan ke depan,” tegas Burhan.
Burhan juga memberikan gambaran soal pentingnya PDIP merangkul anak muda. Bukan hanya memasuki dunia media sosial yang mereka gandrungi, namun juga terlibat dalam isu-isu kehidupan yang disukai.
“Kami pernah survei, isu dan concern kelompok generasi Z dan Milenial beda dengan populasi umum. Ketika ditanya isu apa yang dipikirkan, anak muda sebut pemberantasan korupsi dan lingkungan hidup. Bukan ekonomi yang merupakan jawaban populasi umum. PDIP harus peduli ini, dan juga pada instrumen apa yang buat anak muda peduli pada politik, yakni media sosial. Bisnis sudah memperhatikan ini, tapi dunia politik masih gagap,” beber Burhan.
Ari Nurcahyo menyatakan PDIP harus menjawab temuan survei-survei bahwa pemilihnya mayoritas adalah orang-orang tua. Padahal, di Pemilu 2024 saja, 53% pemilih adalah orang muda. “Perlu perhatian PDIP soal generasi muda, generasi Z dan milenial,” kata Ari.
Iwel Sastra, yang merupakan pemerhati marketing politik, mendukung agar PDIP harus memastikan ada cara-cara kreatif agar popularitas calon pemimpin partai itu bersifat organik. Sekaligus juga memastikan calon membiasakan kampanye ide, bukan sekadar gimmick.
“Kemunculan mereka harus dipastikan tak sekadar gimmick atau joget saja, tapi harus mulai memunculkan pemikirannya. Ini tantangan khususnya di era sosial media ini. PDIP juga harus membangun rasa bangga dan hilangnya rasa takut masyarakat untuk terbuka mendukung PDIP,” kata Iwel.
Claudius Boekan mendorong agar PDIP memikirkan kemenangan 2024 bukan hanya kemenangan di pemilu legislatif, namun juga pemilu presiden. “Sebab akan sulit memastikan berjalannya ideologi dalam pemerintahan apabila pemilu legislatif menang tapi pemilu presiden kalah, misalnya,” kata Boekan.
Hendri Satrio melihat PDIP akan selalu disasar. Sebab siapa pun yang ingin menguasai Indonesia, maka ia harus bisa menguasai PDIP. “Saya sebagai rakyat menitipkan Indonesia ke PDIP karena merupakan tonggak penjaga Indonesia. Saya juga ajak PDIP pada jalan kepatutan dan kewarasan,” kata Hendri.
Hal itu terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) sesi II yang digelar DPP PDIP dengan sejumlah pemuka pendapat (opinion leader) di Kantor Pusat Partai PDIP di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Jumat (6/1/2023).
Opinion leader yang hadir adalah Burhanuddin Muhtadi, M.Qodari, Hendri Satrio, Iwel Sastra, Sirojuddin Abbas, Trias Kuncahyono, Claudius Boekan, Ari Nurcahyo, dan Aiman Witjaksono.
Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto memimpin jajaran partai di dalam pertemuan itu. Hadir Wasekjen Sadarestuwati, dan sejumlah Ketua DPP PDIP seperti Djarot Saiful Hidayat, Eriko Sotarduga, Sri Rahayu, Wiryanti Sukamdani, Mindo Sianipar, I Made Urip, Rokhmin Dahuri, dan Wakil Bendahara Umum Rudianto Tjen. Wakil Ketua Balitpus PDIP Sonny Keraf. Anggota DPR Deddy Yevri Sitorus, Sekjen dan Ketua DPP TMP Restu Hapsari dan Hanjaya Setiawan menjadi peserta juga, bersama Andreas Hugo Pareira sebagai moderator.
“Kami mencoba melakukan banyak dialog untuk menggunakan teori dalam menilai kondisi objektif dan kemudian mengaitkan dengan cita-cita pendiri bangsa demi mewujudkan cita-cita Indonesia Raya,” kata Hasto.
Trias Kuncahyono menyatakan hal yang harus dipastikan seluruh jajaran PDIP adalah kepercayaan rakyat. Trust rakyat itu takkan jatuh dari langit, namun merupakan upaya yang profesional dari partai mewujudkan cita-cita pendirian partai politik yakni adalah kesejahteraan bersama.
Selain itu, PDIP harus memastikan ideologi menjadi pegangan seluruh anggota partai, dan direalisasikan dalam pilihan kebijakan serta tindakan sehari-hari. “Jadi kader harus paham ideologi partai dan benar-benar menghidupinya. Kerap Wong Cilik hanya dijadikan tujuan rebutan kekuasaan. Ini tak boleh dilakukan PDIP. Ingat, Wong Cilik belum tentu miskin. Namun bisa jadi mereka adalah yang tak bisa menyuarakan pendapat, yang terpinggirkan. Ini yang harus disuarakan,” urai Trias.
Sementara itu, M.Qodari mengatakan berdasarkan kemampuan PDIP sebagai sebuah parpol modern yang dikelola profesional, hampir pasti partai itu menang kembali di Pemilu 2024. Namun, baginya, tantangan PDIP saat ini adalah bagaimana bisa menang dengan raihan suara 30-40%. Salah satu kuncinya adalah membangun sebuah perasaan di hati rakyat, bahwa bila PDIP tak semakin kuat, maka eksisten dirinya serta NKRI akan terancam.
“PDIP jangan puas dengan angka 20%. Harus sasar 30-40%. Sebab kita memang menghadapi tantangan ideologi. Untuk menjaga Republik, Indonesia tetap seperti pada hari ini, maka PDIP harus memastikan punya kekuatan jauh lebih besar menjaga keutuhan bangsa dan negara,” kata Qodari.
Sirojuddin Abbas juga menilai PDIP tak boleh menempatkan diri dalam konteks politik nasional saja, namun harus secara global. Karena banyak kepentingan bertarung dalam konteks global di Indonesia.
“Ini perlu dicermati agar PDIP dan Indonesia bisa melakukan positioning baik, agar kita tak mismatch dalam kancah internasional. Kondisi ini sangat kritikal. Saya berharap diskusi mengenai model pilihan kebijakan ekonomi, peran negara dan parpol, betul-betul membaca arah global, agar kita tak salah langkah. Kalau salah, ekspektasi kita bisa berubah akibat perubahan global,” urai Sirajuddin Abbas.
Sirojuddin Abbas juga menyinggung soal pentingnya PDIP dan partai nasionalis lainnya tak sekadar berusaha mengakomodasi kelompok agama ke dalam dirinya. Namun juga memastikan agar terjadi transformasi terhadap kelompok-kelompok itu.
“PDIP tak cukup hanya mengakomodasi kelompok Islam ke dalamnya. Tapi harus juga melakukan transformasi terhadap kelompok ini, bagaimana keislaman yang dihidupi oleh ideologi PDIP, juga terwujud. Kalau PDIP lebih dalam masuk ke dalam pembentukan model Islam yang transformatif maka itu sangat relevan. Jika tidak, maka pengikisan nilai kenegaraan oleh kelompok tertentu akan sulit teratasi,” beber Abbas.
Sedangkan, Burhanuddin Muhtadi berbicara mengenai bagaimana fenomena demokrasi global yang juga terjadi di Indonesia. Yakni fenomena munculnya personalisasi politik, serta polarisasi dengan menggunakan sentimen sektarian.
Di Indonesia saat ini, kata Burhan, kompetisi antarparpol hanya menyisakan isu pluralisme vs islamisme. Isu regionalisme vs sentralisme dan isu antarkelas, cenderung tak hidup.
“Di sinilah bahaya ketika yang tersisa hanya isu sektarianisme. Itulah basisnya kompetisi parpol saat ini. Orang tak bicara soal model pengembangan ekonomi. Tak ada perbedaan parpol dalam isu ekonomi, budaya, dan sebagainya. Hanya ada menyangkut isu agama misalnya. Kalau tak ada komitmen menjaga pluralisme dan semua parpol larut pada isu sektoral dan sektarian, kita bisa menghadapi kekacauan ke depan,” tegas Burhan.
Burhan juga memberikan gambaran soal pentingnya PDIP merangkul anak muda. Bukan hanya memasuki dunia media sosial yang mereka gandrungi, namun juga terlibat dalam isu-isu kehidupan yang disukai.
“Kami pernah survei, isu dan concern kelompok generasi Z dan Milenial beda dengan populasi umum. Ketika ditanya isu apa yang dipikirkan, anak muda sebut pemberantasan korupsi dan lingkungan hidup. Bukan ekonomi yang merupakan jawaban populasi umum. PDIP harus peduli ini, dan juga pada instrumen apa yang buat anak muda peduli pada politik, yakni media sosial. Bisnis sudah memperhatikan ini, tapi dunia politik masih gagap,” beber Burhan.
Ari Nurcahyo menyatakan PDIP harus menjawab temuan survei-survei bahwa pemilihnya mayoritas adalah orang-orang tua. Padahal, di Pemilu 2024 saja, 53% pemilih adalah orang muda. “Perlu perhatian PDIP soal generasi muda, generasi Z dan milenial,” kata Ari.
Iwel Sastra, yang merupakan pemerhati marketing politik, mendukung agar PDIP harus memastikan ada cara-cara kreatif agar popularitas calon pemimpin partai itu bersifat organik. Sekaligus juga memastikan calon membiasakan kampanye ide, bukan sekadar gimmick.
“Kemunculan mereka harus dipastikan tak sekadar gimmick atau joget saja, tapi harus mulai memunculkan pemikirannya. Ini tantangan khususnya di era sosial media ini. PDIP juga harus membangun rasa bangga dan hilangnya rasa takut masyarakat untuk terbuka mendukung PDIP,” kata Iwel.
Claudius Boekan mendorong agar PDIP memikirkan kemenangan 2024 bukan hanya kemenangan di pemilu legislatif, namun juga pemilu presiden. “Sebab akan sulit memastikan berjalannya ideologi dalam pemerintahan apabila pemilu legislatif menang tapi pemilu presiden kalah, misalnya,” kata Boekan.
Hendri Satrio melihat PDIP akan selalu disasar. Sebab siapa pun yang ingin menguasai Indonesia, maka ia harus bisa menguasai PDIP. “Saya sebagai rakyat menitipkan Indonesia ke PDIP karena merupakan tonggak penjaga Indonesia. Saya juga ajak PDIP pada jalan kepatutan dan kewarasan,” kata Hendri.
(cip)