Menakar Perppu Cipta Kerja

Senin, 02 Januari 2023 - 08:55 WIB
Secara politis latar belakang ekonomi ini dipandang serius karena kondisi tersebut diungkapkan dalam pidato pertama Presiden Joko Widodo saat dilantik pada periode kedua masa jabatannya. Demikian pula pemerintah dalam berbagai forum selalu mengatakan bahwa UUCK merupakan game changer bagi dunia investasi dan akan ada banyak kemudahan bagi investor, sebaliknya dalam berbagai kesempatan pemerintah juga menyampaikan bahwa UUCK akan membawa keterserapan angkatan kerja yang lebih tinggi sehingga angka pengangguran akan berkurang secara drastis.

Persoalannya adalah secara formal pada saat disusunnya UUCK dalam Undang-Undang 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) belum dikenal metode pembuatan perundangan model omnibus, selanjutnya UU PPP telah diperbaharui dengan Undang-Undang 15 tahun 2019 kondisi inilah yang oleh MK melalui Putusan MK Nomor 91/PUU -XVIII/2020 dinyatakan bahwa UUCK inkonstitusional bersyarat karena mengandung cacat formal.

Dampak Ekonomi

Putusan MK tersebut perlu dipahami dengan pendekatan economic analysis of law yakni pendekatan mengenai dampak ekonomi dari Putusan MK tersebut, khususnya pada amar Putusan MK Nomor 91/PUU -XVIII/2020 ketujuh yakni “Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”.

Kondisi inilah yang dipandang menyebabkan ketidakpastian hukum mengingat di satu sisi UUCK masih dinyatakan berlaku namun sebaliknya ada pembatasan pada amar ketujuh Putusan MK Nomor 91/PUU -XVIII/2020 sehingga kondisi ini dipandang akan menyebabkan hambatan bisnis (business interruption) yang disebabkan ketidakpastian hukum. Dalam hal ini seperti yang diungkapkan pemerintah misalnya dalam penyusunan upah minimum menggunakan aturan yang berbasis pada UUCK.

Secara prosedural formal dalam hal penerbitan Perppu 2/2022 presiden dapat dibenarkan karena Presiden memiliki norma subjektif untuk menilai keadaan negara mendesak maupun genting. Meskipun selanjutnya Perppu tetap harus diajukan ke DPR untuk disahkan menjadi Undang-Undang (UU) atau dianulir.

Demikian juga dalam kaitannya dengan amar ke enam Putusan MK Nomor 91/PUU -XVIII/2020 “Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan 417 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen”, dapat dimaknai bahwa penerbitan Perppu 2/2022 adalah bentuk perbaikan sebagaimana diperintahkan dalam Putusan MK Nomor 91/PUU -XVIII/2020.

Demikian juga dalam hal ini penting bagi seluruh elemen untuk memahami esensi dan urgensitas dari aturan cipta kerja itu sendiri apapun bentuk formalnya. Seluruh elemen masyarakat perlu kembali pada filosofis (legal spirit) dan esensi dari pembentukan aturan cipta kerja dibanding terus menerus berpolemik dengan perspektif legalistik mengenai bentuk formal dan keabsahan mekanisme formal pembentukan perundangan cipta kerja itu sendiri.
(ynt)
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More