Wajah Janus Tahun 2023
Kamis, 29 Desember 2022 - 10:51 WIB
Arah Politik 2023
Partai politik kontestan Pemilu 2024 sudah resmi memiliki nomor urut. Artinya akan ada aktivitas yang intensif dan masif sepanjang 2023 terhubung dengan pemasaran politik. 17 Partai akan berebut perhatian, untuk meningkatkan keterkenalan, penerimaan dan keterpilihan mereka di basis pemilih.
Oleh karenanya sudah pasti beragam kanal warga akan mulai disesaki pesan-pesan partai politik dengan ragam strateginya. Publisitas politik, kerja public relations politik, kampanye, bahkan juga propaganda. Tujuannya jelas memperoleh suara signifikan di perhelatan pemilu mendatang.
Demikian pula dengan capres/cawapres. Awal tahun hingga pertengahan, akan menjadi momentum mengonsolidasikan dukungan menjadi usungan resmi di KPU pada November 2023. Artinya, bukan lagi di tahap penjajakan yang akan kita temukan, melainkan kepastian paket pasangan, deklarasi dan pengusungan resmi. Oleh karena itulah rivalitas akan meningkat tajam, dan biasanya akan muncul gesekan baik di level elite maupun level akar rumput.
Di tengah situasi yang memunculkan banyak paradoks di mana semua pihak perlu memitigasinya. Proses pemilu dapat menjadi determinan lahirnya smoldering crisis. Yakni krisis yang sesungguhnya terjadi dan sedari awal potensi krisis sesungguhnya sudah teridentifikasi.
Merujuk pada pandangan Michael Regester dan July Larkin, Risk Issues and Crisis Management (2000:48), krisis tidak serta-merta ada, tetapi berjalan dari isu potensial, lalu muncul menjadi aktual yang diketahui khalayak luas terlebih mendapatkan liputan media yang masif, dan krisis pun memuncak.
Dalam konteks pemilu, potensi-potensi krisis penyelenggaraan pemilu sesungguhnya sudah teridentifikasi. Misalnya keberpihakan penyelenggara pemilu, kontestan baik parpol maupun capres/cawapres yang tidak taat aturan main, politik uang, kekerasan dan intimidasi, dan lain-lain.
Oleh karena pemilu itu kerja bersama seluruh komponen bangsa, maka harus ada tanggungjawab sosial bersama-sama dalam menciptakan situasi politik yang kondusif dan tidak terjebak pada pragmatisme politik kekuasaan yang menghalalkan segala macam cara. Mitigasi situasi politik destruktif harus benar-benar direncanakan, diimplementasikan sekaligus dievaluasi sepanjang tahapan.
Pemilu memang menghadirkan wajah optimisme. Bagi parpol optimistis untuk bisa melampaui parliamentary threshold hingga menjadi kekuatan nyata di DPR RI. Para caleg punya optimisme serupa mereka lolos menjadi wakil rakyat di berbagai tingkatan.
Bagi capres/cawapres juga optimis bisa menarik simpati publik dan mengonversinya menjadi suara di bilik suara. Rakyat biasanya juga memiliki optimisme, pemilu bisa melahirkan banyak perubahan baik di masa mendatang. Baik dari representasi wakil mereka di DPR, DPD maupun capres/cawapres yang dikehendaki.
Partai politik kontestan Pemilu 2024 sudah resmi memiliki nomor urut. Artinya akan ada aktivitas yang intensif dan masif sepanjang 2023 terhubung dengan pemasaran politik. 17 Partai akan berebut perhatian, untuk meningkatkan keterkenalan, penerimaan dan keterpilihan mereka di basis pemilih.
Oleh karenanya sudah pasti beragam kanal warga akan mulai disesaki pesan-pesan partai politik dengan ragam strateginya. Publisitas politik, kerja public relations politik, kampanye, bahkan juga propaganda. Tujuannya jelas memperoleh suara signifikan di perhelatan pemilu mendatang.
Demikian pula dengan capres/cawapres. Awal tahun hingga pertengahan, akan menjadi momentum mengonsolidasikan dukungan menjadi usungan resmi di KPU pada November 2023. Artinya, bukan lagi di tahap penjajakan yang akan kita temukan, melainkan kepastian paket pasangan, deklarasi dan pengusungan resmi. Oleh karena itulah rivalitas akan meningkat tajam, dan biasanya akan muncul gesekan baik di level elite maupun level akar rumput.
Di tengah situasi yang memunculkan banyak paradoks di mana semua pihak perlu memitigasinya. Proses pemilu dapat menjadi determinan lahirnya smoldering crisis. Yakni krisis yang sesungguhnya terjadi dan sedari awal potensi krisis sesungguhnya sudah teridentifikasi.
Merujuk pada pandangan Michael Regester dan July Larkin, Risk Issues and Crisis Management (2000:48), krisis tidak serta-merta ada, tetapi berjalan dari isu potensial, lalu muncul menjadi aktual yang diketahui khalayak luas terlebih mendapatkan liputan media yang masif, dan krisis pun memuncak.
Dalam konteks pemilu, potensi-potensi krisis penyelenggaraan pemilu sesungguhnya sudah teridentifikasi. Misalnya keberpihakan penyelenggara pemilu, kontestan baik parpol maupun capres/cawapres yang tidak taat aturan main, politik uang, kekerasan dan intimidasi, dan lain-lain.
Oleh karena pemilu itu kerja bersama seluruh komponen bangsa, maka harus ada tanggungjawab sosial bersama-sama dalam menciptakan situasi politik yang kondusif dan tidak terjebak pada pragmatisme politik kekuasaan yang menghalalkan segala macam cara. Mitigasi situasi politik destruktif harus benar-benar direncanakan, diimplementasikan sekaligus dievaluasi sepanjang tahapan.
Pemilu memang menghadirkan wajah optimisme. Bagi parpol optimistis untuk bisa melampaui parliamentary threshold hingga menjadi kekuatan nyata di DPR RI. Para caleg punya optimisme serupa mereka lolos menjadi wakil rakyat di berbagai tingkatan.
Bagi capres/cawapres juga optimis bisa menarik simpati publik dan mengonversinya menjadi suara di bilik suara. Rakyat biasanya juga memiliki optimisme, pemilu bisa melahirkan banyak perubahan baik di masa mendatang. Baik dari representasi wakil mereka di DPR, DPD maupun capres/cawapres yang dikehendaki.
Lihat Juga :
tulis komentar anda